Sepanjang perjalanan menuju daycare, tak henti aku memikirkan Lian. Mulai dari senyum, jabat tangan, hingga cara menyelah kick-starter vespa tua miliknya. Seperti ada getar aneh di dalam d**a. Apakah aku telah terkena sindrom ‘sangkar yang lama tak dikunjungi’? Sehingga membuat jantung ini mudah berdetak tak keruan hanya karena kebaikan seorang lelaki yang padahal sama sekali tak kukenal.
Ah, lupakan. Semua tidak penting. Masalah perasaan yang akan muncul di kemudian hari, kuserahkan pada semesta yang telah mempertemukan. Biarkan saja bergulir seiring dengan berjalannya waktu.
Aku menyetir dengan setengah tak dapat berkonsentrasi. Berkali kutepis, bayang wajah Lian terus menghantui. Namun, akhirnya semua berakhi saat aku menjumpai Adiva dan Raina yang menunggu dengan sabar sambil bermain ayunan bersama ibu guru.
“Mama!” Keduanya bersorak riang. Seolah baru saja mendapat sekontainer coklat dan permen warna-warni.
“Halo, Sayang. Maafkan Mama terlambat menjemput.” Aku memeluk Adiva dan Raina. Mereka mendapat bonus kecupan hangat di pipi masing-masing.
“Bu Hilda, maaf saya agak terlambat. Tadi ada sedikit kendala di jalan.” Senyum terulas untuk wanita muda yang menjadi pengasuh di daycare.
“Tidak apa-apa, Bu Livana. Lagi pula yang lainnya juga masih ada yang belum dijemput. Namun, Adiva dan Raina lagi nggak mau main bareng di dalam. Pengen nunggu di luar sambil main ayunan katanya.” Wanita berkacamata dengan blus panjang merah muda itu mengulas senyum manis.
Setelah mengobrol sebentar, aku berpamitan dengan sang pengasuh. Lalu, kami bertiga melanjutkan perjalanan dan memutuskan untuk singgah di restoran cepat saji. Sekali-kali tidak mengapa jika membawa anak-anak makan junkfood. Hitung-hitung sebagai tebusan rasa bersalahku terlambat menjemput.
“Mama, kakak mau ayam goreng sama oren jus. Beli mainannya juga. Boleh kan?” Adiva mengerjap manja. Minta dituruti keinginannya.
Aku mengangguk, kemudian menuntun Adiva dan Raina untuk duduk di kursi.
“Mama pesankan. Kalian tunggu di sini, ya.” Cepat kakiku melangkah. Tak ingin membuat keduanya menunggu lama.
Saat aku tengah berdiri mengantre, betapa kagetnya diri ini. Sesosok lelaki yang sepanjang jalan memenuhi isi kepala, muncul. Dia baru saja berganti shift dengan rekannya, berdiri di depan mesin kasir yang berada di front pertama, persis tempatku mengantre. Tubuhnya terbalut seragam restoran cepat saji yang didominasi warna merah. Terpampang jelas papan nama menempel di atas saku seragamnya. Lian Afifudin.
Setelah seorang gadis berseragam SMA selesai memesan dan bergeser ke samping untuk menunggu makanannya tiba, kini tiba giliranku. Dengan cepat aku menyebut beberapa menu untuk makan siang kami bertiga.
Sesaat kami saling tatap. Sedikit gugup aku mengeluarkan dompet kala Lian menyebutkan nominal yang harus dibayar.
“Ini.” Aku menyerahkan selembar pecahan seratus ribuan dan selembar lagi pecahan lima puluh ribuan.
“Kerja di sini?” Aku mengumpulkan nyali untuk bertanya saat Lian mengambil beberapa lembar pecahan seribu untuk diberikan padaku.
“Iya. Hari terakhir. Besok sudah berhenti.” Lian tersenyum. Memberikan kembalian dan struk dengan sopan.
“Terima kasih.” Aku bergeser. Menanti makanan yang kupesan datang.
Tak lama, satu nampan berisi makanan serta tiga cup besar minuman datang.
“Selamat menikmati.” Lian menyodorkan nampan sambil kembali tersenyum.
“Makasih sekali lagi. Yuk, gabung. Aku bawa dua anakku.” Aku berbasa-basi.
Wajah Lian terlihat sedikit kaget. Tampak dari kedua alisnya yang terangkat. Namun, dia cepat-cepat mengangguk, lalu beralih pada pekerjaannya.
“Halo, Sayang. Maaf membuat Kakak dan Adek lama menunggu. Ini, Mama bawakan makanannya.”
Adiva dan Raina berseru kencang. Dua gadis kecil itu langsung menyambar gelas styrofoam yang kubawa. Dengan semangat, keduanya menyedot jus oren yang segar.
Aku sangat bahagia melihat dua buah hati makan dengan lahapnya. Tanpa terasa, beban yang membelenggu kejiwaanku akhir-akhir ini, rasanya menguap begitu saja. Saat Adiva dan Raina tenggelam dalam kenikmatan santap siang, aku sesekali diam-diam memperhatikan Lian yang sedang bekerja. Lelaki itu terlihat sopan dan ramah ketika melayani pelanggan. Senyum manisnya tak pernah luput dari bibir merahnya. Sosok pekerja keras yang giat bekerja.
Dalam diam, aku membatin. Betapa bersyukurnya seorang wanita yang bisa mendapatkan Lian. Ah, jangan-jangan dia sudah beristri dan memiliki anak sepertiku. Pasti istri dan anaknya sangat bahagia memiliki sosok lelaki pelindung yang baik hati dan pekerja keras.
***
Usai makan siang, kami bertiga pulang ke rumah. Setelah mengendara sekitar dua puluh menit, akhirnya kami tiba di depan rumah.
Betapa tercengangnya aku kala melihat sebuah sedan hitam yang biasa dikemudikan Clara, parkir di halaman.
Apakah mereka berdua sedang asyik-masyuk di dalam? Begitu pikirku.
Cepat-cepat aku membuka kunci rumah. Suasana lengang. Tak ada siapa pun tampak di dalam.
Adiva dan Raina cepat-cepat kubawa ke kamar mereka. Setelah menggantikan pakaian, keduanya kusuruh untuk tidur siang walau hari sudah lumayan sore.
“Setelah tidur, nanti malam kita nonton The Little Pony.” Begitu janjiku untuk mengiming-imingi keduanya agar mau tidur.
Tanpa memakan banyak waktu, Adiva dan Raina kompak terpejam dan tidur dengan nyenyak. Setelah memastikan bahwa keduanya sudah larut dalam mimpi, segera aku keluar. Mengecek keadaan rumah dan keberadaan Mas Irsyad.
Ruang tamu lengang. Dapur kosong. Aku segera menuju kamar tidur kami. Namun, betapa kagetnya. Kenop tak dapat dibuka. Terkunci dari dalam.
“Mas! Buka pintunya!” Aku mengetuk berulang kali. Namun, beberapa saat tak ada jawaban.
“Mas!” Setengah berteriak aku memanggil. Tak lama, suara langkah terdengar mendekat.
“Baru pulang?”
Jantungku seakan mau meledak. Sakit hati ini luar biasa. Tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Mas Irsyad keluar dalam keadaan bertelanjang d**a. Rambutnya masai, dengan mata yang sipit khas orang baru bangun tidur. Yang tak kalah mengagetkan, seorang wanita tidur lelap dalam dekapan selimut tebal yang biasa kami pakai berdua.
Sebisa mungkin aku mengontrol diri agar tak meledak dan memancing pertikaian dengan pasangan iblis ini.
“Lanjut saja dulu, Mas. Aku istirahat dan mandi di kamar atas aja.” Cepat aku balik kanan dan berniat untuk pergi.
Namun, tanpa diduga Mas Irsyad mencegat. Tangannya menarik lengan kiriku. Aku tergemap. Bergidik ngeri takut terjadi hal yang tak diinginkan.
“Itu juga kamarmu. Kalau mau tidur bertiga, boleh aja.” Mas Irsyad menyeringai bagai srigala licik kelaparan.
Bajingan! Dasar otak sampah. Dipikirkan aku sudi tidur di atas ranjang yang sama dengan kalian berdua? Najis ijis cuih!
“Nggak, Mas. Aku mau sendiri di atas aja. Ada yang mau kukerjakan juga.”
“Oh, ya. Bagaimana acara tadi pagi? Mana SK-mu?”
Dadaku ingin meledak untuk kesekian kalinya. Sekarang Mas Irsyad malah menanyakan SK. Ada apa ini? Apakah b******n ini sedang menyusun rencana busuk? Tidak! Aku tak akan membiarkan dia merampas barang berharga milikku ini.
“Ada. Di tas. Kenapa, Mas?” Sekuat tenaga aku berusaha untuk tenang dan tak terlihat gentar.
“Syahnaz dan Syifa sudah mengumrohkan Mama tahun yang lalu. Ramadhan kali ini giliranku. Aku pinjam SK-nya nanti. Tiga puluh juta aja. Nggak banyak.”
Seakan mendengarkan tiupan sangkakala, ruhku seakan luruh dari tubuh. Rasa ngilu menghujam hingga ke ujung rambut.
Mas Irsyad, kamu ini sebenarnya manusia atau iblis? Di mana hati dan perasaanmu?