Sekuat apapun aku menahan emosi, tetap saja rasa marah ini lagi-lagi tak dapat terbendung. Dengan menguatkan hati, aku mencoba untuk berontak.
“Lho? Bukannya Clara lebih berduit daripada aku? Mas kan bisa minta dari dia.” Keketusanku mulai keluar. Tak dapat disembunyikan dalam tutur kata lembut lagi.
“Besok kami akan liburan ke Abu Dhabi. Makanya hari ini nggak kerja. Ambil cuti dua belas hari. Lagipula, Clara baru saja membelikan satu condominium di dekat mal besar tengah kota. Aku nggak enak minta terus.” Dengan enteng bajing lompat itu berceloteh. Tak ada beban sedikit pun. Dasar tidak punya otak!
“Kalian berdua ingin liburan? Wow! Hebat banget.” Aku berdecak sebal. Kedua tangan kulipat di d**a.
“Jangan iri, Van. Apa nggak cukup aku kasih kamu mobil mewah itu?”
“Aku nggak pernah minta! Kamu sendiri yang nyuruh untuk make.” Sebal bukan kepalang. b******n ini benar-benar culas.
“Ayolah, Van. Kalau bisa sebelum puasa, uang tiga puluh juta itu udah di tangan. Nanti kuganti dengan menyicil.” Mas Irsyad terus memelas.
Jelas saja aku begitu jijik mendengarkannya. Sudah gila laki-laki ini.
“Ngomong-ngomong, kalian berdua ini kok santai banget wara-wiri berdua. Sampai mau ke luar negeri pula. Apa nggak takut atasanmu tau kalau kalian ada affair? Setauku, instansi kalian melarang keras staf saling pacaran apalagi sampai menikah.” Aku melanjutkan pembicaraan sambil melepaskan genggaman tangannya.
Mas Irsyad terdiam. Dia memicit pangkal hidungnya sambil menunduk.
“Itu yang aku bingung. Setelah lebaran, Clara bahkan minta dinikahi resmi. Jika itu terjadi, maka salah satu dari kami harus mundur. Namun, kupastikan bukan Clara yang resign. Dia baru saja sebulan yang lalu dipromosikan sebagai Kasie Operasional.” Mata Mas Irsyad tiba-tiba berubah penuh binar.
Aku menelan ludah. Tak yakin sedang berhadapan dengan manusia berakal sehat. Otak Mas Irsyad pastilah telah ditukar dengan seonggok bangkai oleh seorang alien yang diam-diam menyelinap ke kamar tengah malam. Sungguh, aku takjub melihat liciknya pemikiran lelaki ini. Tahun demi tahun dia telah berubah drastis bahkan sampai pada titik paling mengenaskan.
Rasanya, aku sungguh tak sanggup lagi untuk berlama-lama mendampingi lelaki kardus ini. Mungkin, saat inilah batas kesabaranku habis.
Di saat pikiranku kalut dan hampir meledak bagai bom atom Hiroshima-Nagasaki, sekuat tenaga aku mencoba untuk berpikir jernih. Sabar dan bermain dengan cara paling elegan. Tidak, Mas Irsyad tak boleh memukul serta menghinakan harga diriku lagi. Tubuh ini haram untuk diinjaknya kembali.
“Oke, Mas. Atur saja semuanya. Masalah SK, setelah kalian pulang dari Abu Dhabi, aku akan urus pencairan dana pinjaman di bank.” Aku menghela napas panjang. Mengucapkan kata-kata barusan, sungguh lebih berat daripada mengangkut bongkahan belerang menuruni lereng yang terjal.
“Van? Apakah kamu bercanda?” Mata Mas Irsyad membelalak. Wajahnya syok. Namun, lebih tepatnya bahagia bukan kepalang. Seakan baru saja menang lotre milyaran.
Aku mengangguk. Mencoba mengulas senyum. Berat, sungguh sulit sebenarnya. Tentu saja kata-kata ini hanya akal-akalanku saja. Mana sudi aku menggadaikan SK hanya untuk mengumrohkan mertua jahat seperti Mama. Big sorry!
Dengan serta-merta, Mas Irsyad memeluk tubuhku erat. Berkali-kali dia mendaratkan kecupan. Jijik. Itulah yang kurasa.
“Hentikan, Mas. Nggak perlu seheboh ini. Sudah kewajibanku untuk membahagiakan kalian, terutama kamu.” Rasa mual menyergap. Ingin muntah ketika menyadari bibirku sanggup mengucapkan hal menjijikan tadi.
“Vana, kamu benar-benar berubah. Andai saja dari dulu kamu seperti ini. Nggak berontak, nggak ngelawan suami dan mertua. Pasti aku nggak bakal jatuh kepelukan Clara. Namun, semuanya sudah terlambat. Aku minta maaf ya, kalau ini membuatmu sakit.” Mas Irsyad memasang wajah menyesal. Omong kosong! Lelaki gila. Setelah mendapat apa yang diinginkan, dia pasti berubah sebaik malaikat. Menebar senyum serta kata-kata indah bak puisi di apel malam Minggu. Basi!
“Oke. Mas teruskan saja dulu. Aku mau istirahat sebentar. Apa Clara menginap?”
Mas Irsyad mengangguk. Tandanya, perempuan jalang itu akan tidur di rumah ini sampai besok pagi menjelang keberangkatannya ke Abu Dhabi-Dubai.
“Lepas rehat sejam, aku akan buatkan makan malam. Sekalian bikin cheese cake juga untuk bekal kalian di pesawat nanti.”
Mendengar tawaran spesial dariku, Mas Irsyad terlihat begitu semringah. Matanya membelalak penuh binar.
“Makasih, Van, sekali lagi. Kamu istri terbaikku.”
Terbaik ndasmu pitak!
***
Aku bergegas ke lantai dua. Mengambil sehelai daster kering dan pakaian dalam yang masih berada dijemuran, kemudian mandi dan bertukar baju dengan yang kuambil barusan.
Di dalam kamar yang biasa digunakan untuk tamu menginap, aku berusaha meredam emosi. Segala kemarahan dan rasa muak kulawan untuk tidak merusak hari ini. Sejengkel apapun, aku harus tenang. Rencana yang kususun sejak insiden malam berdarah itu, tak boleh rusak begitu saja hanya karena amarah. Tenang, itulah kunci utamanya.
Aku mengecek ponsel. Membuka sebuah aplikasi yang telah terinstal sehari setelah Mas Irsyad membantaiku di hadapan Clara.
Saat melihat sebuah video terputar lewat aplikasi tersebut, aku tersenyum kecil. Senyuman itu bahkan berubah jadi kekehan yang kelamaan menjelma tawa keras. Lucu. Sungguh, ini akan menjadi senjata ampuhku. Kita lihat saja tanggal mainnya.
Usai menonton beberapa adegan yang cukup membuat mual hingga tertawa geli, aku buru-buru turun ke bawah untuk memasak makan malam. Adiva dan Raina juga pasti sudah terbangun karena hari mulai gelap.
Saat menuruni anak tangga, kehadiran Clara membuatku tercegat. Dengan santainya, perempuan itu mengenakan celana pendek sepaha plus tangtop super ketat yang membuat udelnya nyeplak. Perempuan itu sedang menggendong Raina. Sedang Adiva menggenggam tangan kirinya.
“Eh, itu Mama sudah bangun.” Clara tersenyum ke arahku. Seakan kami ini adalah dua orang sahabat yang saling sayang. b******n, di mana hati perempuan jalang ini? Apakah merebut suami orang merupakan hal yang biasa baginya?
Meski muak, aku terpaksa untuk membalas senyumnya. Kakiku cukup gemetar menuruni anak tangga. Tiba-tiba, rasa marah kembali menyergap. Ingin sekali aku memukul kepalanya, lalu mengunci perempuan itu ke dalam gudang yang pengap. Tikus-tikus kotor pasti senang dengan kehadirannya.
“Adiva, Raina? Udah bangun, ya?” Aku mendatangi kedua buah hati. Raina langsung minta turun dari gendongan Clara dan menghambur ke arahku. Setali tiga uang dengan sang adik, Adiva pun tak mau ketinggalan.
“Ma, kakak laper. Mau makan.” Adiva merengek.
Aku langsung mengangguk. Mengiyakan permintaan mereka.
“Tante Clara masakin, ya? Kalian mau makan apa?” Clara berkata dengan lembut—mencoba mencari perhatian anak-anak.
“Nggak. Kakak mau masakan Mama aja.” Adiva berteriak nyaring. Wajahnya berubah galak.
Aku mencebik kecil, lalu tertawa sambil mengusap rambut Adiva. “Oke. Mama yang akan masakin. Kakak tenang aja.”
Adiva dan Raina terus menguntiti kemana aku pergi. Sementara itu, Clara terdiam berjalan di belakang kami.
Sebanrnya, aku enggan bercakap panjang lebar dengan perempuan itu. Melihat mukanya saja membuat malas. Namun, akhirnya aku berbalik badan, memutuskan untuk menegurnya.
“Cla, besok pesawatnya jam berapa?” Aku berusaha untuk mencairkan suasana. Tak apalah walau hati ini sebenarny berat dan malas.
“Tujuh belas lima-lima pesawatnya berangkat, Mbak. Kami berangkat dari rumah ke bandara jam empat belas siang. Takut macet.” Clara menjawab dengan nada yang terdengar takut-takut. Ada rasa kikuk terpancar dari gelagatnya.
“Oh begitu. Mau dibuatkan bekal apa selain cheese cake? Biar aku siapkan pagi-pagi sekali sebelum berangkat ke sekolah untuk mengurus surat pernyataan melaksanakan tugas.”
“Apa saja Mbak. Yang tidak merepotkan.”
Aku tersenyum saja mendengarkan ucapan Clara. Semuanya tentu saja selalu merepotkan jika berhubungan denganmu dan Mas Irsyad.
***
Makan malam kali ini, Mas Irsyad sudah terlihat luwes dalam memperlakukan Clara sebagai istri sirinya (entahlah, benar atau tidak masalah pernikahan siri tersebut). Perempuan itu duduk dengan tenang di sisi kiri Mas Irsyad, berhadapan langsung denganku. Sementara aku duduk di sisi kanan Mas Irsyad, mendampingi Raina dan Adiva.
“Besok Papa akan berangkat ke luar negeri sama tante Clara untuk urusan kantor. Kakak sama Adek harus akur, ya. Nggak boleh berantem.” Mas Irsyad mulai membuka suara. Sekilas, lelaki itu tampak tersenyum mesra pada Clara.
Tentu saja aku jijik melihatnya. d**a ini lumayan terasa sesak. Cemburu, sudah pasti. Namun, sebisa mungkin aku menepisnya. Rasa itu tak pantas muncul untuk seorang b******n seperti Mas Irsyad.
“Papa bawakan kakak dan adek oleh-oleh, ya!” Adiva berseru nyaring. Dia langsung beradu tos dengan adiknya—Raina.
Anak-anakku begitu happy saat permintaannya diiyakan oleh Mas Irsyad. Duh, Nak. Andai kalian tahu jika kepergian papamu itu untuk berbulan madu dengan selingkuhannya.
“Ma, kamu jaga anak-anak, ya. Hati-hati di rumah. Kalau ada apa-apa, telepon saja Syahnaz atau Syifa. Minta bantuan pada mereka.”
Aku menelan ludah. Syahnaz dan Syifa? Apa aku tidak salah dengar? Sejak kapan dua iparku itu mau peduli dengan urusan kami? Kecuali peduli untuk melemparkan nyinyir dan kejulidan.
“Oke.” Aku tak mau banyak bicara. Hanya satu kata itu saja yang meluncur.
“Oh, ya. Adiva dan Raina. Apa kalian mau adik baru? Mau cewek atau cowok?” Tiba-tiba saja, suara Clara terdengar.
Cepat aku melihat ke arahnya. Senyumannya begitu manis. Sorot matanya begitu berbinar, menanti jawaban dari Adiva dan Raina.
“Mau! Kakak mau adek cowok.” Adiva menjawab dengan polosnya. Kepalanya mengangguk berkali-kali.
“Tuh, Mas. Denger. Adiva pengen adek cowok.” Clara menyikut Mas Irsyad. Wajahnya tampak semringah.
Darahku rasanya mendidih. Clara sudah mulai lancang sekarang. Bahkan dia terang-terangan mengatakan hal sedemikian rupa di hadapan anak-anakku.
“Ya, boleh. Semoga Allah kasih rejeki.” Santai sekali Mas Irsyad menggenggam tangan Clara. Membuat mataku seolah mau copot kala melihatnya.
Demi Tuhan, jiwa pemberontakku ciut. Ingin sekali saat itu juga aku melempar mangkuk besar berisi sup ayam ke hadapan Mas Irsyad dan Clara. Menumpahkan segala kemarahan. Namun, semua hanya sebatas angan saja. Tak kuasa aku melakukannya.
Oke, Irsyad dan Clara. Permainan kalian sepertinya sudah semakin keterlaluan. Kita lihat saja besok. Saat kalian pergi, tentu saja semua sudah menjadi abu. Penyesalan hanya akan menjadi bunga yang tertabur pada gundukan kesedihan kalian nantinya. Aku jamin itu.