2. I'm The Best°

2097 Kata
Pagi hari di Kediaman keluarga Yamazaki biasanya damai dan tenang, tetapi untuk hari ini tidak demikian keadaannya. Amano Marco Yamazaki alias Ambrosio Marc-Olivier duduk bersila dan tangan terlipat di d**a. Ia memiringkan kepala sedikit menghindari cangkir teh yang dilempar ke arahnya. Pyarr! Cangkir porselin itu hancur membentur dinding kayu di belakangnya. Brak!! Kotaro memukul permukaan meja tulisnya dan berdiri sambil menunjuk putra sulungnya itu. "Kau berani menghindar, Amano? Kian hari kau semakin kurang ajar!!" Ia mengepalkan tinjunya ke meja. Pundaknya turun naik mengatur napas. Ia melirik sekilas pada Eiji Yamaguchi yang tampak geram menatap Ambrosio yang duduk di seberangnya. Eiji adalah pimpinan Klan Yamaguchi dan usianya sepantaran dengan Kotaro, sekitar 50 tahunan. "Empat belas klan, Amano, kau telah membantai empat belas calon pemimpin klan dan 30 lainnya hanya dalam satu malam. Apa yang kau lakukan? Apa kau mau memulai peperangan antar klan? Hah?" Tanpa mengalihkan pandangannya, Kotaro meraih teko teh dan melemparnya ke arah Ambrosio. Pelayan laki-laki di sisinya berusaha mencegah tetapi gerakan Kotaro lebih cepat, sehingga pemuda itu hanya bisa melongo. Ambrosio tak perlu beranjak dari tempatnya. Ia hanya perlu memiringkan tubuhnya dan teko itu membentur dinding, hancur berkeping-keping seperti cangkir pasangannya. Teh yang masih panas berceceran di lantai. Ambrosio duduk tegap seperti semula lalu menyesap tehnya dengan tenang. Hiro yang juga berada di ruangan itu segera menyela, "mereka yang memulainya lebih dulu, Otou-sama. Jika Onii-san tidak melawan, ia yang akan mati dihabisi mereka." "Aku tidak menyuruhmu bicara!" teriak Kotaro pada putra keduanya itu. Patung kayu seukuran genggaman tangan melesat ke arah Hiro dan mengenai kepalanya. Bletak!! "Ooucchh!!" erang Hiro. Ia tertunduk hingga ke bawah meja teh dan memegangi dahinya. Tidak seperti Ambrosio yang keras hati, Hiro tidak segan berlagak sebagai korban agar ayahnya berhenti marah-marah. Kotaro terkejut dalam hati karena tak menyangka Hiro tidak menghindar. Seburuk apa pun kelakukan anak-anaknya, ia tetap menyayangi mereka sampai ke tulang. Ia terduduk dan menunjuk Ambrosio dengan tangan gemetaran karena menahan marah. "Kau .... Ugh, anak ini ... huh!" Kotaro tak sanggup bicara lagi. Ambrosio meletakkan cangkir tehnya dan menghunuskan tatapan tajam pada Eiji Yamaguchi. "Daripada membuang tenaga memarahiku, kenapa kita tidak mendengarkan penjelasan dari Eiji-sama? Vila itu adalah miliknya dan jamuan itu juga diatur olehnya. Bukankah ia tersangka utama dalang kejadian ini?" Pria tua itu tersentak. " Kau ...." Eiji tidak melanjutkan, malah memutar tubuhnya bersujud ke arah Kotaro. "Komicho-sama, acara itu diselenggarakan tiap tahun dan tak pernah ada kejadian apa pun. Anak-anak muda itu seharusnya berkumpul agar saling akrab dan mempererat persaudaraan. Terjadinya insiden ini, aku yakin pasti ada yang memprovokasi mereka." Eiji melirik tajam pada Ambrosio. Pemuda itu duduk bersedekap dengan mata terpejam. "Marco-sama tidak pernah ikut dalam acara itu, tetapi kali ini ia hadir dan lihat apa yang terjadi? Semua pemuda itu mati sia-sia," geram Eiji. Kotaro bersedekap dan berdehem. Hari itu sebenarnya Ambrosio sudah menolak, tetapi ia memaksanya. Ia ingin anaknya itu bergaul seperti pemuda lainnya. Namun yang terjadi malah tragedi. Sekarang bagaimana caranya meredam kemarahan klan lain akibat kejadian ini? Melihat Kotaro bergeming, Eiji menggertak lagi, "kau sengaja menyimpan senjata rahasia untuk menghabisi anak-anak itu, kau sudah merencanakan semua ini. Kau ingin menyingkirkan mereka agar tidak ada yang berani menantangmu di kemudian hari. Kau sungguh licik Marco-sama!" Ambrosio membuka matanya dan sorot sinis terpancar dari mata hitam kelam itu. Ia menarik benang logam dari sela lengan yukatanya. "Maksudmu benda ini? Kau sebut benda ini senjata?" Ambrosio merentangkan benang itu lalu menyalakan macis di genggamannya. Begitu lidah api menyentuh benang itu langsung putus. "Jika benang ini tidak ada, aku mungkin menjadi daging cincang dan dimasak sebagai hidangan makan malam. Aku tidak melakukan sesuatu yang salah, aku hanya melindungi diriku." Eiji tersentak melihat benda sehalus itu bisa memenggal puluhan kepala ternyata tidak sekuat dugaannya. Melihat ekspresi tak terduga itu, Ambrosio melanjutkan, "dan perlu kau catat, Eiji-sama, aku tidak menggunakan senjataku untuk membunuh mereka karena kalian menyita senjataku. Pedang itu milik Kankuro Yoshimitsu. Mereka membawa senjata-senjata itu ke dalam ruang makan. Aku sudah memperingatkan mereka agar tidak menyerangku, tetapi mereka bersikeras. Mereka bahkan meracuniku agar aku lemah." "Kau berbohong!" bantah Eiji. "Mereka semua juga diracuni. Jika tidak mati karena pedangmu, mereka juga akan mati karena racun itu. Kau masih hidup karena kau tahu ada racun dalam minuman itu, kau pasti telah mengobati dirimu sendiri karena kau yang meracuni mereka!" "Ini mulai membuatku kesal," keluh Ambrosio. "Jika aku sudah meracuni mereka semua dan mereka pasti mati, buat apa aku bersusah payah membunuh mereka dengan tanganku. Bukankah lebih baik aku berendam di air hangat dan menunggu racun bereaksi hingga mereka semua meregang nyawa?" Eiji terdiam dengan muka masam. Ambrosio berkata, "lagi pula mereka berkata akan melakukan segala cara untuk membunuhku dan tidak akan membiarkanku keluar hidup-hidup, jadi aku hanya melakukan apa yang mereka ingin lakukan padaku." Eiji bergumam geram, "kau pintar sekali, membunuh mereka semua agar tidak ada saksi yang berbicara mengenai kebohonganmu." Hiro mengangkat tangan. "Itu tidak benar, aku ada di sana dan melihat seluruh kejadiannya. Onii-san tidak berbohong," ujarnya. Eiji dan Kotaro langsung melayangkan tatapan tajam, membuat Hiro gelagapan. "A-aku ..., Onii-san menyuruhku berlatih mengintainya tanpa terdeteksi dan kurasa aku cukup berhasil karena tidak ada seorang pun yang menyadari keberadaanku di tempat itu." Eiji meringis tak suka melihat kedua putra Keluarga Yamazaki itu saling mendukung dan ia takut perkataan selanjutnya hanya akan semakin menyudutkan pihak Yamaguchi. Klan lain bisa berasumsi ia mendalangi kejadian ini karena dengan kematian calon pewaris klan lain maupun kematian Marco-sama, yang paling diuntungkan adalah pihaknya sendiri, Klan Yamaguchi. Kotaro berdehem lagi agar orang-orang memperhatikannya. "Eiji-san," ujarnya dengan tenang, "kejadian ini, selidiki dengan saksama dan hati-hati karena menyangkut nama baik para klan. Sebelum ada penjelasan dan bukti kuat, kita tidak bisa menuduh sembarangan. Aku akan bicara pada ketua klan lain agar tenang dulu dan tidak bertindak gegabah karena bisa jadi ada pihak lain yang sedang berusaha mengadu domba kita. Bagiku sudah jelas ada yang ingin mencelakai anakku dan aku tidak suka hal itu. Aku pun tidak akan membiarkan hal ini begitu saja. Aku akan membentuk tim yang diketuai oleh Amano untuk membantumu menyelidiki kejadian ini dan tidak akan berhenti sampai kasus ini tuntas." Ambrosio membuang muka ketika namanya disebut sebagai ketua tim. Ayahnya itu selalu membuatnya terlibat dalam hal yang tidak disukainya. "Hai, Komicho-sama!" ujar Eiji sambil membungkukkan badan. "Aku harap kasus ini segera terungkap dan pelakunya mendapatkan balasan yang setimpal. Keluarga korban berhak mendapatkan keadilan demi ketenangan arwah anak-anak mereka," ujarnya lagi sambil menunduk dalam, tetapi menyempatkan melirik tajam pada Ambrosio. Eiji pamit pulang lalu undur diri dari ruangan itu. Tertinggal Kotaro dan Kioshi, pelayannya sekaligus ahli meracik ramuan herbal, Ambrosio dan Hiro yang duduk di depan meja kecil jamuan teh masing-masing. Kotaro menatap kedua anaknya itu bergantian dan amarahnya memuncak melihat Ambrosio duduk dengan tenang bak patung biksu bermeditasi. Baki peralatan tehnya langsung melayang ke arah Ambrosio. Lelaki itu malah melompat dan berdiri tegak di tengah ruangan. "Anak ini!" bentak Kotaro. "Kenapa kau mesti membunuh mereka semua?" Beragam pena dan kuas melesat. Dengan mudah Ambrosio berkelit sehingga benda-benda itu terus melayang ke arah Hiro. Hiro gelagapan tetapi berhasil menghindar dengan bergulung ke samping. Kotaro segera melompat dan menyerang Ambrosio dengan jurus cakar harimau. "Aku tahu kau yang terhebat, tetapi kau tidak perlu membunuh mereka semua, seharusnya kau membuat mereka lumpuh atau cedera saja," omelnya sambil melancarkan serangan-serangan mematikan. Ambrosio tentu saja mengelak dari serangan itu tanpa susah payah. "kalau sudah jadi mayat, siapa yang bisa kita interogasi?" "Otou-sama, Otou-sama, jangan emosi, ingat kesehatanmu, Otou-sama!" peringat Hiro sambil berkelit dari cakaran Kotaro karena berusaha mendekati mereka. Tak ada satu pun serangannya mengenai Ambrosio membuat Kotaro makin kesal. "Anak durhaka!" teriaknya geram. Ruangan dibuat gaduh oleh suara perkelahian dan benda-benda berjatuhan. Pintu geser dibuka dan tampak seorang wanita berkimono biru dengan motif bunga-bunga warna putih berdiri di ambang pintu bersama seorang anak laki-laki bersetelan yukata imut warna biru malam. Rupa anak kecil berusia 3 tahun itu sekilas perpaduan antara Hiro dan Ambrosio dalam bentuk yang lebih kecil. Rambut hitam cepak dengan poni menutupi dahi sebatas alis dan mata hitam yang menyorot polos. Melihat kedatangan dua orang itu, seketika perkelahian terhenti. "Sayang, bisa kau tunda dulu marah-marahnya? Tetsuya-kun ingin bermain denganmu," ucap wanita itu, Kaori, istri Kotaro, dengan senyum lebar penuh arti terkembang di bibirnya. Kotaro segera menurunkan kuda-kudanya dan bersiap menyambut Tetsuya yang berlari kecil ke arahnya. "Uohh, cucu tersayangku!" seru Kotaro riang sambil mendekap Tetsuya dan mengangkat anak itu ke dadanya. Tetsuya menangkup kedua pipi Kotaro dengan tangan mungilnya. "Ojii-san!" Kakek, ucap anak itu. Kotaro, Ambrosio dan Hiro terbelalak mendengar suara dari mulut mungil itu. Tetsuya jarang sekali bicara, sehingga sepatah kata darinya sangat berharga. Kotaro tak percaya mendengarnya. "Barusan kau bilang apa, Tetsuya? Kau memanggilku Ojii-san? Coba panggil Ojii-san lagi!" cecarnya. "O ...." Tetsuya langsung menutup mulut lalu merengek tak jelas sambil menarik-narik pundak Kotaro dan menunjuk ke arah pintu, meminta Kotaro membawanya keluar. Kotaro mendelik tajam pada Ambrosio. "Kau beruntung diselamatkan anakmu ini, Amano," ujarnya lalu berjalan ke luar ruangan sambil membawa Tetsuya di lengannya. Kioshi mengiringi mereka. Sementara Kaori berdiri di depan pintu, memandangi Kotaro dan Tetsuya menjauh. Ambrosio merapikan yukatanya lalu berjalan ke luar ruangan jamuan teh beriringan dengan Hiro. "Okaa-san, arigatou," ucap Ambrosio sambil membungkukan punggungnya sedikit di hadapan Kaori. "Iie, daijōbudesu," balas Kaori. Wanita paruh baya itu lalu tertawa lembut. "Memang Tetsuya sendiri yang tiba-tiba ingin menemui kakeknya. Anak itu mungkin punya perasaan ayahnya sedang dalam kesulitan." Bibir Ambrosio terkatup rapat, merasa terintimidasi karena dirinya diselamatkan anak kecil yang bicara saja belum bisa. "Tetsuya mungkin mengalami keterlambatan bicara, tetapi instingnya terhadap kondisi di sekelilingnya sangat sensitif. Lagi pula aku sedikit lega ia bisa akrab dengan Kotaro. Anakmu persis sepertimu, Amano, tidak suka ada orang asing didekatnya. Tidak terhitung sudah berapa banyak pelayan dibuat cedera dengan shuriken-nya. Apakah tidak terlalu dini bagi Tetsuya memegang senjata? Aku hanya khawatir ia melukai dirinya sendiri." Ambrosio tidak menjawab. Hiro merangkul pundak Ambrosio dan berkata pada ibunya, "Jangan khawatirkan hal itu, Okaa-san. Jika orang tua lain memberi bekal anaknya makanan dan minuman, Onii-san akan membekali anaknya dengan senjata rahasia. Anak itu sudah dilatih menghadapi bahaya sejak dalam perut ibunya, jadi, jangan terlalu dipikirkan." Kaori langsung teringat. "Oh, iya, ngomong-ngomong soal ibunya Tetsuya, Sisilia-chan sudah hampir enam bulan tidak pulang, apa pekerjaannya begitu menyita waktu sehingga dia tidak bisa cuti barang sebentar, setidaknya untuk menjenguk anaknya." Ambrosio sedikit menundukkan kepala ketika bicara lagi dengan ibu tirinya itu. "Karena itu, Okaa-san, aku sangat berterima kasih kau membawa Tetsuya datang tepat waktu karena aku harus pergi menjemput Sisilia. Dia pulang hari ini." "Oh?" Kaori sedikit kaget mendengarnya, lalu ia tertawa penuh pengertian dan menepuk-nepuk pundak Ambrosio. "Oh, pantas saja kau sepertinya berenergi sekali, hehe ..., ya sudah, pergilah, cepat jemput dia sebelum Kotaro memanggilmu lagi." Ambrosio berlalu diikuti Hiro. ketika melintasi koridor dan tak ada orang lain di sekitar mereka, Hiro memberanikan diri bicara, "Onii-san, mengenai kejadian semalam, apa kau sudah mengetahui mereka berencana membunuhmu?" "Tidak," jawab Ambrosio dengan pandangan lurus ke depannya. "Aku hanya terbiasa bersiaga untuk menghadapi segala situasi. Banyak orang menginginkan kematianku." "Tapi kau juga menyuruhku mengintai di tempat itu. Bagaimana kau bisa kebetulan sekali?" "i***t," maki Ambrosio dengan wajah datar. "Itu memang untuk melatihmu. Dengar Hiro, untuk bertahan hidup jika kau tidak hebat dalam berkelahi, maka setidaknya kau harus hebat dalam melarikan diri. Jika kau tidak bisa melarikan diri, maka kau harus bisa menyembunyikan dirimu. Berkamuflase. Dalam situasi apa pun kau harus bisa menyesuaikan diri dengan sekitarmu, mencari cara untuk melindungi dirimu." Hiro diam sebentar berusaha mencerna maksud Ambrosio. Jadi karena hebat berkelahi Ambrosio nekat datang ke pesta itu, membaur bersama pria-pria mabuk lainnya lalu menghabisi mereka? "Lalu kenapa kau datang ke acara itu? Padahal kau bisa saja mangkir atau bersikeras tidak pergi seperti biasanya, Otou-sama paling hanya marah-marah sebentar." "Aku hanya ingin melihat orang-orang macam apa yang berani menggunjingkanku. Mereka berani mengomentari soal istriku sementara mereka sendiri tidak bisa menjaga komitmen. Mereka anggap apa istri mereka yang ada di rumah? Pria yang tidak bisa menghormati istri mereka tidak layak mendapat rasa hormatku." Hiro terperangah. "Woh, Onii-san, memang benar, kau ini pria terbaik yang pernah kukenal. Tak mengherankan kau sanggup bertahan terpisah berbulan-bulan dari Sisilia. Sisilia bahkan bekerja di tempat yang sangat jauh. Apa kau sengaja melakukan itu untuk melatih daya tahanmu?" Antara ya dan tidak. Ambrosio tidak menjawab. Segi positifnya Sisilia bekerja di Laboratorium Penelitian Xin Corp di Kutub Utara, di tempat itu Sisilia terisolasi dan aman dari marabahaya yang mungkin mengincar istrinya. Segi positifnya lagi, dengan abstinesi, energi jutsu-nya terjaga dan selalu optimal, karena itu ia menjadi hebat dan tak terkalahkan. Sisi negatifnya, ya tentu saja ia tidak leluasa menyalurkan birahinya. Hal itu menjadi tantangan baginya dan sebagai pria terbaik, ia tidak akan kalah dari tantangan apa pun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN