Part 10. Jerat Cinta Si Pelakor

1538 Kata
Sore itu kantor sudah mulai sepi. Jam sudah menunjukkan jam tujuh malam kurang sepuluh menit, seperti biasa hanya menyisakan beberapa staf yang lembur dan pekerja kebersihan shift malam yang bertugas. Lampu-lampu ruangan direksi meredup, hanya cahaya jingga senja dari jendela besar yang masih menembus masuk. Fred menyandarkan punggung lelahnya di kursinya yang nyaman, jas sudah ia lepaskan, dasi sudah dia longgarkan dan kancing kemeja bagian atasnya terbuka. Wajah yang tetap tampan di usia awal lima puluh itu nampak lelah setelah seharian rapat. Zefa mengetuk pintu ruangan Fred. Dia melangkah pelan membawa satu gelas jahe hangat untuk Fred beserta map terakhir yang perlu ditandatangani. Setelah meletakkannya di meja, gadis ini tidak langsung pergi. Dia tetap berdiri di depan meja Fred, lalu berkata dengan suara tenang, lembut, seakan sekadar mengingatkan walau wajahnya tak kalah lelah. “Pak Fred sudah sholat magrib-kah? Mumpung masih ada waktu sepuluh menit lagi. Sudah malam Pak, jangan lupa kalau di rumah ada bu Nuraini yang menanti. Bukankah seorang suami yang baik itu, maka ridha Allah selalu menyertainya kan?” kata Zefa, kembali menjalankan perannya sebagai personal assistant sekaligus calon ‘pelakor syariah’. Fred pejamkan mata dan membuang napas lelah. Seharusnya apa yang dikatakan Zefa membuatnya menutup jarak dan kembali mengingat istrinya. Dia harus kembali menjaga batas profesional sebagai atasan dan asisten saja. Namun yang Fred rasakan justru sebaliknya, dadanya menghangat dan beban yang menyesakkan perlahan hilang. Fred menatap Zefa, matanya nampak kerinduan pada perhatian yang pernah dia rasakan, yang pernah diberikan oleh seseorang. “Zefa…” suaranya lirih, “kau tahu tidak betapa kalimat sederhana itu sangat berarti bagiku. Kamu benar-benar bisa memahami kegelisahan dan lelahku.” Fred masih duduk di kursinya, kembali pejamkan matanya dan membiarkan kalimat lembut Zefa bergema dalam kepalanya. Napasnya lebih tenang, wajah kerasnya melunak, “terima kasih, Zefa,” lanjutnya lagi dengan lirih, hampir seperti sebuah bisikan syukur. “Untuk?” tanya Zefa walau tahu apa yang sebenarnya dimaksud oleh Fred. “Karena kamu membuatku merasa dihargai.” “Itu juga tugas saya, Pak. Saya permisi pulang, sebaiknya Pak Fred juga segera pulang agar bisa istirahat dan bertemu bu Nuraini di rumah. Siapa tahu beliau sudah menanti Bapak kan?” Zefa mengangguk, menunduk sopan, lalu pamit dengan langkah pelan dan elegan. Dia membelakangi Fred sehingga Fred tidak bisa lihat di wajahnya, sebuah senyum tipis terukir, seolah malam itu memang berpihak padanya. Andai saja kamu mencintai anak dan istri pertamamu dengan tulus, kamu pasti akan selalu merasa dihargai oleh mereka yang tidak silau oleh hartamu, pak Fred. Sayangnya, kamu bahkan lupa pada darah dagingmu sendiri. Zefa merasa kasian pada Amara yang sama sekali tidak diingat oleh ayah kandungnya. Usai Zefa menutup pintu, Fred mendesah lelah. Pernikahannya dengan istri keduanya yang selisih umur lima belas tahun, tidak sedang dalam kondisi baik-baik saja menurutnya. Padalah mereka menikah baru menginjak tahun keempat. Masing-masing sibuk hingga mereka jarang bertemu. Ditambah lagi kehadiran Zefanya yang perlahan namun pasti, mampu membuatnya lebih betah berada di kantor, dibanding di rumah mewahnya. Lambat laun, Zefa mampu mengikis perhatiannya pada Nur. Tangan kanan Fred ada di keningnya, sesekali jemarinya memijat lembut pelipis bermaksud hilangkan pusing yang mendera juga pikiran aneh yang menyusup dua mingguan ini. Dia bermonolog, mencoba mencari jawaban dari diri sendiri apa yang dia rasakan. Kenapa aku merasa begini? Entah kenapa setiap kata yang keluar dari bibir Zefa seolah jadi penyemangat. Dia mengingatkanku pada Allah, tentang pride sebagai seorang suami, tentang rumah tangga yang harus dijaga harmonis. Ironisnya, kenapa aku justru menemukan ketenangan itu dari dirinya, bukan dari istriku? Zefa, gadis itu lebih cocok menjadi anakku. Tapi dia sungguh dewasa dan menenangkan diriku, mampu menghilangkan dahagaku atas pencarian makna hidup ini. Sebagai seorang personal assistant, Zefa sangat profesiona dan sama sekali tidak bersikap menggodaku justru dia menjaga jarak. Dia menunduk penuh hormat, juga sikap dan tatapan matanya penuh dengan kepedulian. Sebuah kepedulian kecil yang terasa tulus. Atau… apakah aku yang bodoh sehingga mudah sekali diperdaya oleh perhatian kecil yang seharusnya biasa saja? Ya Allah, aku takut. Aku takut jika hatiku yang lelah ini benar-benar goyah. Aku takut kalau aku mulai membandingkan antara Zefanya dan istriku, dan akhirnya aku kalah dalam godaan yang tersembunyi di balik perhatian nan lembut itu? Ini menakutkanku lebih dari apa pun. Gadis itu, sepertinya tidak mungkin mempunyai perasaan khusus untukku yang lebih pantas menjadi papanya. Bagaimana mungkin aku, lelaki yang beruban ini, bisa merasa begitu dihargai oleh seorang gadis muda, sementara di rumahku sendiri perhatian dari istriku mulai hilang? Apa yang harus kulakukan? Apakah ini salah istriku atau salahku yang terlalu menuntut? Atau mungkinkah Zefa memang pandai memainkan perannya sebagai seorang asisten yang profesional? * Keesokan hari, ada rapat di luar yang harus dihadiri oleh Fred juga Javier di Hotel Mulaii. Tentu saja Zefa mengikuti bak bayangan Frederik. Usai rapat panjang yang melelahkan lahir batin, Fred mendesah lega di kursi lounge restoran. Javier sedang pamit ke kamar mandi. Zefa yang tahu diri, hendak memisahkan diri dan duduk terpisah di meja lain, namun Fred menahannya, “kenapa pindah? Duduk di sini saja, Zefa, temani aku.” Zefa menurut, dia duduk di hadapan Fred. Zefa berpura mengaduk mocktail halalnya yang segar. “Kamu tahu Zefa, selama ini aku terlalu sibuk dengan pekerjaan, dengan angka-angka, dengan nominal profit,” ucap Fred, suaranya pelan tiba-tiba membuka percakapan. “Aku lupa kalau ada hal lainl yang lebih penting, makan tepat waktu, tidak lupakan sholat, konsumsi hanya yang halal tapi kamu ada untuk selalu mengingatkanku.” Zefa mendongak, menatap langsung ke Fred dengan tatapan teduh yang sengaja ia jaga tetap netral, “itu bukan hal besar, Pak. Semua orang pasti butuh diingatkan. Lagipula saya juga akan dapat pahala kalau mengingatkan Bapak pada kebaikan bukan?” “Sebelum kamu hadir di Aurevia, hidupku kacau, ibadahku kacau. Aku terlalu mengejar duniawi hingga lupakan akhirat padahal umurku sudah segini.” Fred berkata jujur, “kamu perhatikan tidak, Zefa, dua mingguan ini alhamdulilah proyek-proyek kita selalu berhasil. Kurasa itu ada andilmu karena mengingatkanku untuk kembali ke agama.” “Bapak terlalu melebihkan. Saya ini hanya seorang asisten. Saya memang bertugas untuk mendukung kesuksesan Bapak. Tapi ada satu hal yang tidak boleh Bapak lupakan loh ya,” kata Zefa. Fred mengerutkan keningnya, “eh apa itu? Apakah aku melupakan sesuatu?” Zefanya tersenyum sangat manis, “Bapak harus ingat kalau di rumah ada istri Bapak yang setia menunggu. Dialah yang seharusnya menerima hadiah mahal, perhiasan, tas mewah, bukan saya, tapi bu Nuraini karena dialah yang lebih utama.” Kata-kata itu meluncur lembut, penuh dengan topeng keikhlasan. Seakan-akan Zefa benar-benar murni hanya mengingatkan. Namun justru dari sanalah racunnya masuk. Tentu saja Zefa tahu sepak terjang Nuraini Afiah, istri kedua Frederik sekaligus target utama proyek mereka. Fred menunduk, menghela napas panjang, “masalahnya, yang membuatku merasa diperhatikan itu, justru oleh kamu, Zefa. Kamu lebih dari hanya sekadar asisten. K-kamu adalah alasan aku bisa merasa menjadi manusia lagi.” Untuk kali ini, Fred membuang harga dirinya sebagai seorang pemimpin tertinggi di sebuah perusahaan dengan berucap kata-kata yang menjijikkan. Bagaimana mungkin seorang pria dewasa, seorang suami, sekaligus pemimpin perusahaan besar, begitu lemah terhadap atensi kecil yang dibungkus ketulusan dari asisten yang lebih pantas menjadi anaknya? Tapi begitulah jerat Zefa bekerja. Bukan dengan kemolekan tubuh, bukan dengan rayuan murahan, melainkan dengan manipulasi halus, perhatian kecil yang tampak ikhlas, walau sesungguhnya penuh racun. Fred dan Zefa lupa pada Javier yang mengamati interaksi keduanya dari kejauhan. Sialnya Javier tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan, tapi dari bahasa tubuh Fred, terlihat jelas sepupunya ini sedang kasmaran dan terjebak semakin dalam pada Zefanya. “Ini kok pada diem-diem aja sih?” tanya Javier, menarik kursi tepat di sebelah Zefanya. Wajah polosnya melihat ke arah Fred dan Zefa bergantian. “Sepertinya pembicaraan kalian serius banget, apakah aku ketinggalan?” tanyanya lagi. “Enggak, kami tadi sedang membicarakan hal remeh,” jawab Fred dengan senyum simpul, tapi kemudian ponselnya bergetar dan di layar nampak nama Nuraini Afiah yang menelpon, “aku jawab telepon ini dulu. Kalian mengobrollah.” Kemudian Fred menjauh dari Javier dan Zefanya. Selepas perginya Fred, sikap Javier kembali dingin dan penuh tuduhan pada Zefanya, “kamu hebat banget barusan. Mampu membuat mas Fred terbuai pada kata manismu.” “Maksud Pak Vier apa?” tanya Zefanya, menoleh ke arah kirinya. “Hentikan permainan busukmu, Zefa!” desis Javier. Zefa menoleh. Ekspresinya kaget sesaat, namun segera menegakkan tubuhnya, ekspresinya tetap tenang, “permainan? Again, Pak, seriously?” Javier condongkan tubuhnya semakin dekati Zefa, jaraknya begitu rapat hingga tatapan tajamnya menusuk, “jangan pura-pura polos di depanku. Aku lihat sendiri bagaimana kamu mengikat mas Fred dengan kalimat manis itu. Kamu kira aku tidak tahu maksudmu?” Alis Zefa naik, dia ganti menatap Javier tanpa takut, “Pak Vier, saya hanya menjalankan tugas loh. JIka Bapak tidak bisa membedakan antara perhatian dan permainan,” Zefa kedikkan bahu tanda tidak peduli, “itu bukan salah saya.” Zefa berdiri, hendak meninggalkan Javier tepat saat itu ponselnya bergetar karena ada pesan masuk. Pengirimnya Frederik, bukan masalah jika Zefa harus bekerja lembur yang jadi masalah adalah isi pesan itu! Bos Fred : Zefa, lusa ikut saya meeting ke Bali, dua malam tiga hari. Siapkan tiket dan akomodasi untuk kita berdua. Kita menginap di Hanging Garden Ubud. Pesan yang panoramic pool villa untuk kita. Zefa mendelik membaca pesan ini dan semua itu tidak luput dari perhatian Vier.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN