Part 9. Menguji Kesetiaan

2064 Kata
Hari-hari Zefa di kantor berjalan dengan ritme yang nyaris sempurna dan monoton. Dia seperti bayangan hingga tidak terpisahkan dari Frederik, dia mengingatkan waktu sholat, memastikan jadwal makan Frederik teratur, menjaga agar tidak ada sebotol minuman beralkohol pun tersedia di meja rapat. Semua dilakukan dengan ketenangan yang elegan, tanpa kesan mengatur berlebihan hingga semua mata memandang kagum padanya, kecuali beberapa staf yang iri saja padanya. Bagaimana dengan Fred? Lelaki setengah baya ini tentu semakin nyaman. Setiap kali ia pulang kantor dengan tubuh lebih segar daripada biasanya, dia tahu itu berkat perhatian kecil dari asistennya, Zefanya. Fred semakin tergantung pada Zefanya. Zefa memainkan perannya dengan sangat cantik dan profesional, dia tetap menjaga jarak elegan. Tidak ada sikap murahan, dan justru itulah yang membuatnya semakin berharga. “Zefa, pak Fred nanti ada rapat mendadak dengan investor dari Kanada jam dua siang ini di Hotel Mulaii di Senayan. Tolong siapkan segala sesuatunya dengan baik karena aku tidak bisa ikut, dokumen sudah aku siapkan. Aku percaya kamu mampu menemani Bapak,” kata bu Susi, salah satu orang yang berdiri di belakang Zefa, di suatu siang. “Baik, Bu Susi.” Jawab Zefa, takzim dan segera membereskan semua keperluan Frederik. “Ini hanya tanda tangan MoU kok, gak akan terlalu lama. Palingan jam empat sudah selesai setelah acara haha hihi,” lanjut bu Susi. Zefa mengangguk dan tersenyum tipis. Sebelum berangkat, Zefa sempatkan masuk ke ruangan Frederik, “Pak Fred, saran saya sebaiknya Bapak sholat dhuhur dulu di sini, mengudap cemilan agar perut tidak kosong banget, baru kita berangkat ke Hotel Mulaii ya.” Frederik melirik jam tangan mewahnya, seketika menyadari sudah waktunya sholat dhuhur, tanpa banyak protes, dia lakukan yang menjadi saran Zefanya. Dalam hatinya tersenyum karena menyangka Zefa benar-benar peduli padanya. Ruang rapat hotel berbintang itu berkilau oleh lampu kristal. Meja panjang ditutupi kain putih, di atasnya deretan gelas kristal, piring porselen, dan hidangan fine dining mewah. Beberapa investor asing duduk dengan jas rapi, bicara dengan aksen yang berbeda-beda, sesekali tertawa renyah. Usai penandatanganan MoU, seorang pramusaji mendorong trolley berisi wine premium dan gelas tinggi yang berkilau. Tanpa berpikir panjang, Fred mengangkat tangannya hampir memberi isyarat untuk pramusaji mendekat. Namun sebelum sempat berucap, Zefa sudah condong sedikit ke arahnya. Suaranya terdengar pelan di hiruk pikuk restoran, “Pak, sebaiknya hindari alkohol. Ingat lambung Bapak loh. Tadi saya sudah pesan mocktail khusus yang non-alkohol, segar tapi aman dan yang pasti halal.” Fred tertegun sebentar, lalu menoleh ke sisi kanannya. Mata mereka bersirobok sesaat. Terlihat senyum kecil Zefa dan mata itu tenang dan meneduhkan, seolah perhatian itu sesuatu yang sangat wajar diberikan oleh seorang personal assistant. Senyum samar muncul di wajah Fred. Ia menurunkan tangannya, tidak jadi memberi isyarat pada pramusaji, “terima kasih sudah mengingatkanku untuk konsumsi yang halal. Kau selalu ingat hal-hal kecil, Zefa,” balasnya, tidak kalah pelan. Salah satu investor asing yang duduk di sebelah Fred bahkan sempat berkomentar terbuka saat melihat momen itu, “Mr. Sunoto,” katanya pada Frederik, “your assistant is remarkable. I wish I had someone so professional and caring like her.” Kemudian terdengar gelak tawa kecil. Fred tersenyum, matanya sesekali melirik Zefa dengan rasa bangga yang ia sendiri sulit jelaskan. Ada rasa hangat menelusup hatinya, dalam hati dia berjanji akan memberi hadiah untuk Zefa. Usai rapat saat sore hari menjelang, bukannya pulang Fred malah mengajak Zefa singgah di Grand Indonesia dengan alasan untuk segarkan pikiran. Langkah mereka menyusuri lantai butik internasional, melewati etalase tas kulit branded, jam tangan Swiss yang berkilau, hingga perhiasan berdesain eksklusif. Fred tampak bersemangat seperti anak kecil di toko mainan. Ia menunjuk sebuah outlet tas mewah yang harganya di luar nalar, “kita ke situ ya.” Tunjuknya. Zefa mengangguk. Sesungguhnya dia lebih memilih untuk pulang agar bisa segera istirahat. Lusa dia akan pindah dari apartemen ke rumah kontrakan agar bisa tinggal bersama Evan. Bukannya ikut berkeliling outlet, Zefa lebih memilih duduk setelah sebelumnya meminta izin pada Fred. Dari kejauhan, Fred melihat tas yang dibawa Zefanya dan berbisik pada satu satu pramuniaga untuk mencarikan yang sejenis itu. “Ada yang kamu sukai di outlet ini, Zefa? Kalau ada yang kamu sukai, ambil saja. Mau satu, dua atau tiga tas sekalian, gak papa.” Senyum lebar Fred menghilang saat Zefa menggeleng. “Kalau begitu, kita ke outlet lain. Di sini ada banyak outlet barang mewah atau kosmetik mahal yang mungkin ada yang bisa menarik hatimu.” Kata Fred, setelah membayar belanjaannya yang dibawa oleh supir pribadinya. Karena Zefanya tidak merespon, Fred ajukan ide lain, perhiasan! Bukankah mata seorang wanita akan berkilau jika melihat berlian? Fred perhatikan Zefa tidak memakai perhiasan selain jam tangan. “Bagaimana kalau kita ke Wanda dan pilihlah diamond yang kamu mau, Zefa. Kamu pantas mendapatkannya.” Zefa berhenti, memandang Fred dengan mata teduh. Tersungging senyum tipis yang tidak berlebihan, “Pak Fred, terima kasih banyak. Tapi saya tidak butuh itu semua.” Fred terkejut mendengar itu bahkan nyaris tertawa. Berdasar pengalamannya pada istri kedua, wanita tidak mampu untuk menolak barang-barang branded premium apalagi diamond! “Tidak butuh? Yang benar saja, aah. Zefa, perempuan lain pasti langsung mengiyakan penawaran ini tanpa pikir panjang.” Zefa menurunkan suaranya, suaranya terdengar lebih lembut, “tapi saya bukan termasuk golongan perempuan lain itu. Sungguh saya tidak ingin barang-barang mahal, Pak. Saya lebih ingin Bapak sehat, nyaman dan tidak terlalu lelah. Itu saja.” Kalimat itu memang sederhana tapi karena disertai tatapan mata yang tulus, itu mampu membuat Fred melambung tinggi ke awan. Wajah lelahnya melunak, nyaris salah tingkah bak ABG sedang jatuh cinta, di tengah butik mewah itu. Fred mengangguk pelan, semakin kagum pada gadis berhijab di depannya, “kamu memang benar-benar berbeda, Zefa.” “Atau, kenapa Bapak tidak membelikan barang untuk ibu? Nah, kalau itu, saya bisa bantu pilihkan.” Kata Zefa, bersemangat. Walau dalam hatinya tentu saja dia lakukan ini agar Fred tenggelam semakin dalam pada jerat pesonanya. “Heuum, boleh. Istriku itu suka barang yang…” Fred jelaskan singkat karakter istrinya dan barang-barang yang disukai agar Zefanya punya pandangan. Padahal, Zefa tahu istri kedua Fred lebih banyak dibanding Fred! Fred tidak tahu bahwa itu adalah strategi elegan Zefa, dia menolak pemberian hadiah dari Fred agar dirinya nampak semakin berharga, bukan seorang perempuan murahan yang silau oleh hadiah. Zefa menahan agar semakin diinginkan. Bahkan sengaja mengingatkan Frederik untuk lebih memikirkan istrinya dibanding dirinya. Bahkan sebuah senyum sangat tipis tercetak di bibir Zefanya. Senyum yang lebih menyerupai seringai. * Hari itu rapat dengan klien besar berlangsung alot, penuh debat angka, target, dan negosiasi yang melelahkan. Namun di setiap sela, selalu ada satu suara tenang yang menuntun Fred. “Pak, poin ini bisa Bapak tekankan lagi, supaya posisi kita lebih kuat.” “Pak, kalau lelah, kita bisa minta break barang lima sampai sepuluh menit untuk segarkan pikiran.” Semua itu datang dari Zefa. Dengan suara yang lembut dan tidak neko-neko tapi entah kenapa mampu meredakan guncangan di d**a Fred. Dirinya, Frederik Sunoto yang dikenal saklek dan tegas, tiba-tiba saja terbiasa mengandalkan suara lirih milik Zefa. Tidak jauh dari Fred, Javier yang ikut rapat, menyilangkan tangan di depan d**a, merasa semakin curiga pada Zefa dan perhatian remehnya. Di ruang rapat yang penuh formalitas, Fred merasa tenang ketika Zefa ada di sampingnya, menyiapkan dokumen, memberi kode halus dengan tatapan mata atau sekadar menyodorkan catatan kecil agar dia tidak lupa poin penting yang harus disampaikan. Ketika rapat selesai, Fred merasa lega karena bisnis berjalan lancar. Tapi ada sesuatu yang lebih mengkhawatirkan dirinya, yaitu kenyamanan dan ketergantungan pada kehadiran Zefa. Usai rapat, Vier mendekati Fred karena harus pulang lebih dulu. Mamanya minta diantar menjenguk Yani, istri pertama Fred, tapi tentu Javier tidak beri tahu alasan itu. Saat melewati Zefa, Vier ingin sekali berbisik untuk mengurangi intensitas perhatiannya kepada Fred, tapi entah kenapa dia batalkan dan hanya mendengkus kecil yang lagi-lagi diabaikan Zefa. Mobil sedan mewah Fred meluncur pelan menembus jalanan Jakarta sore itu. Suara mesinnya sangat halus, AC menyebarkan hawa sejuk, interior kulit berwarna cokelat muda memberikan kenyamanan sempurna bagi penumpangnya. Supir mengemudi dengan tenang di kondisi kemacetan Jakarta. Zefa duduk di sebelah kiri Fred, mengenakan pashmina warna abu-abu lembut dan blus berpotongan sederhana. Bahkan saat di perjalanan pun Zefa tetap bekerja. Dia membuka laptop, sibuk merapikan catatan hasil rapat padahal wajahnya terlihat letih namun dia paksakan tetap segar. Beberapa kali Fred melirik Zefa dari sudut mata. Sungguh hanya sekilas. Cepat-cepat ia alihkan pandangan ke jalan lagi dengan debaran tidak jelas di dadanya. Fred berdehem kecil untuk mengusir rasa grogi. Dia coba ingat-ingat terakhir kali merasa deg-deg-an puluhan tahun lalu saat sedang berpacaran. Rasanya mirip seperti ini. Tapi ada dorongan dari hatinya untuk kembali melirik ke arah kiri. Malu-malu, matanya kembali melirik ke Zefanya. Ke siluet tegas wajah muda nan segar itu, ke gerakan halus jemari Zefa yang mengetik di keyboard dan ke tatapan serius Zefa pada laptop. Sepertinya, jadi laptopnya Zefa lebih enak deh. Karena bisa merasakan sentuhan jemari lentiknya. Kenapa aku jadi cemburu sama tuh laptop? Kenapa aku jadi begini sih? Apakah aku mulai gila? Pikir Fred. Apakah aku tertarik pada gadis ini? Atau semua ini hanya karena Nur Afiah terlalu sering meninggalkanku akhir-akhir ini? Ya Tuhan, umurku sudah lebih dari lima puluh, rambutku sudah berwarna keperakan. Dengan Nur Afiah saja selisih umur kami lima belas tahun, apalagi dengan Zefa yang seumuran Zhafeeya? “Huuft…” desah Fred, membuang napas kasar hingga akhirnya Zefa menoleh padanya. “Ada apa, Pak? Bapak sepertinya capek banget hari ini.” Tanya Zefa, sedikit miringkan tubuhnya ke arah kanan untuk melihat Fred yang sandarkan punggung dan pejamkan matanya. “Iya. Andai aku punya anak lelaki yang bisa dipercaya untuk meneruskan kantor, jadi aku bisa leyeh-leyeh saja.” “Dinikmati saja, Pak. Karena kan di kantor banyak karyawan yang menggantungkan hidup pada Bapak. Siapa tahu, ini jadi amal ibadah Bapak loh.” Jawab Zefa, kembali fokus pada laptopnya. Padahal sungguh dia ingin menyebut nama Amara, tapi dia urungkan. Menurutnya, Amara sungguh mampu untuk gantikan posisi Fred. Fred membuka mata, kembali melirik ke Zefanya. Tentu saja Zefa menyadari lirikan itu. Tapi dia tidak bereaksi berlebihan. Hanya sesekali tersenyum kecil saat menoleh, seakan-akan tidak sadar sedang diperhatikan. Senyum itu justru membuat Fred makin gusar. Dia berdeham, mencoba menutupi kegugupannya. “Kamu nggak capek, Zefa? Seharian tadi sibuk. Laporan itu kan bisa kamu kerjakan besok. Seperti yang sering kamu katakan, manfaatkan waktu untuk istirahat.” Zefa menutup laptopnya, lalu menoleh dengan senyum lembut. “Capek sedikit, Pak. Tapi yang penting rapat tadi berjalan lancar dan sukses. Itu sudah cukup.” Jawaban sederhana itu menusuk hati Fred. Secuil kehangatan aneh mengisi rongga dadanya, sesuatu yang selama ini tidak pernah ia rasakan bahkan ketika bersama istrinya yang seksi dan cantik jelita. Mobil masih melaju pelan, lampu kota berkelebat di kaca jendela, sementara di dalam kabin hanya ada mereka berdua. Lagi-lagi Fred mendesah. Di sela kemacetan Jakarta, rasanya tidak wajar jika mereka diam-diam-an. Dadanya penuh oleh sesuatu yang meluap-luap. “Zefa,” panggilnya lagi, memecah keheningan. Zefa menoleh, alisnya terangkat sedikit. “Ya, Pak?” Kembali menutup MacBooknya agar bisa fokus menatap Fred. Fred menggaruk pelipis, seperti remaja yang baru pertama kali bicara dengan gebetan, “eumm… kamu tuh kalau capek, biasanya ngilanginnya gimana?” Sebuah pertanyaan receh untuk level direktur seperti dirinya. Zefa menahan senyum. Pertanyaan konyol itu terdengar terlalu personal untuk seorang atasan. Tapi dia menjawab tenang, “saya biasanya tidur, Pak. Atau yang paling mujarab sih, sholat malam dan curhat pada Yang Maha Memberi Hidup.” Zefa tidak bohong, memang itu yang dia lakukan selama di Auckland karena lingkungannya yang agamis. Fred ikut tersenyum kecil, senyum yang jarang ia tunjukkan pada siapa pun, "kukira kamu akan jawab belanja atau nongkrong bersama teman. Atau memang kamu yang nggak sempat untuk hal-hal itu? Kamu kan selalu sibuk, rapi, hampir nggak pernah salah. Sepertinya semua sudah dipersiapkan dengan matang.” Kukira dia akan bilang healing ke luar kota atau ke mana gitu, jadi aku bisa membuat rencana pergi berdua dengannya. Zefa pura-pura terkejut, “heuum, saya kan manusia, Pak. Bisa juga capek dan salah, tapi ya itu, solat malam dan dzikir akan jadi obat.” Fred terpukau oleh jawaban itu, menyangka bahwa Zefa sungguh seorang wanita shaliha. Baru-baru ini saja dia kembali berdzikir karena Zefa yang mengingatkannya. Fred melirik lagi. Terlalu lama hingga Zefa menunduk, menyembunyikan senyum samar yang penuh perhitungan. Bagus, pikir Zefa dalam hati. Semakin dia merasa dekat, semakin kuat ikatannya padaku. “Beruntung sekali lelaki yang mendapatkanmu sebagai istrinya.” Lirih Fred, pejamkan mata dan membayangkan sedang berucap akad menjadikan Zefanya sebagai istrinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN