Bab 6

2090 Kata
"Kecerdasan yang paling cerdas adalah takwa, dan kebodohan yang paling bodoh adalah maksiat." - (Abu Bakar Ash-Shiddiq) Malam, tepatnya setelah shalat Isya, Dinda pamit untuk pulang ke rumahnya. Ada banyak hal yang ingin dia lakukan di rumah, tak terbayang oleh Dinda betapa kotornya rumah itu sekarang. "Dinda, besok saja bagaimana? Ini sudah malam, Nak." Mama Heni mengingatkan, tak baik juga anak gadis keluar malam-malam. Dinda menggeleng. "Dinda rasanya sangat mau pulang sekarang, Ma. Tak tau kenapa, Dinda hanya ingin tidur di kasur Dinda, merasakan suasana yang ada di rumah itu kembali. Dinda ingin tau tentang perasaan Dinda sendiri. Sudah cukup Dinda kabur selama ini, Ma." Heni dan mamanya saling tatap, Heni menganggukkan kepalanya, mama Heni menghela nafas. "Baiklah, kalau begitu Mama dan Heni juga akan menginap di rumahmu malam ini." Dinda melirik Heni dan mamanya, tersenyum tipis. "Terima kasih Ma, Heni." Heni memegangi tangan Dinda, langsung mengajak keluar, menunggu mama Heni menyiapkan mobil. Lampu jalan berjejeran, setiap lampunya hidup, tidak ada yang mati. Dinda menoleh ke jendela, menatap indah terangnya jalanan, menatap pemandangan malam di ibu kota dengan duka yang masih tersimpan di dalam d**a. Waktu adalah obat terbaik untuk suasana hati yang hancur. Dinda tak pernah sesedih ini sebelumnya, Dinda tak pernah seterpuruk ini. Kepergian neneknya, merenggut separuh nyawa Dinda, bahkan kepergian ibunya yang tragis saja bisa terlupakan karena kehilangan neneknya, untuk selama-lamanya. Perjanjian satu minggu pada Fauzi pun tak terpikirkan oleh Dinda. Mustahil untuk Dinda yang sekarang menerima cinta Fauzi, bahkan setetes perasaan cinta yang dulu sempat ada, kini sudah hilang dikalahkan oleh duka atas kehilangan neneknya. Mata Dinda melotot sempurna melihat mobil yang di parkir di depan rumahnya, melihat mobilnya saja sudah mengumpulkan semua kebencian Dinda menjadi aura hitam yang jahat, apalagi melihat orangnya. Walau pun benci, atau bahkan memendam kebencian yang amat besar itu, Dinda tak akan mampu melawan ayahnya, karena Dinda takut pada laki-laki itu. Laki-laki yang membuat ibunya depresi sampai bunuh diri, laki-laki yang menyebabkan neneknya kesakitan sampai meninggal dunia, laki-laki yang menghancurkan hidupnya. Amat sangat dia benci. Seandainya rasa takut itu tak ada, seandainya membunuh bukanlah dosa dan tidak akan dipenjara di dunia, mungkin saja Dinda sudah merenggut nyawa laki-laki itu. Melenyapkannya dari dunia ini. Heni langsung mengenggam tangan Dinda. Dinda terperanjat kaget. "Tenang, tidak akan ada apa-apa. Aku ada di sini." Heni tersenyum tipis. Walau Heni tak mengenal ayah Dinda secara langsung, tapi Heni juga memiliki kebencian besar pada ayah Dinda, sebesar Heni membenci Fauzi. Heni sangat tidak menyukai laki-laki seperti mereka. Yang hanya menganggap perempuan sebagai mainan yang bisa dipakai, dirusak, dan dibuang kapan saja. Walau Fauzi tidak sampai melakukan hal parah yang sampai melibatkan polisi dan pengadilan karena merusak anak perempuan orang lain. Tapi itu hanya menunggu waktu, sampai nafsu Fauzi menguliti seluruh jiwa dan raganya, sehingga dia lupa bahwa dia masih anak di bawah umur, beda dengan ayah Dinda. "Ayah kamu ada di rumah ya Nak? Apa kita jadi masuk atau kembali saja?" Mama Heni menatap Dinda, menunggu jawaban. Dinda menggeleng. "Tak perlu kembali, Ma. Ini rumah ibuku, bukan rumah dia. Dia juga bukan siapa-siapaku, aku bisa mengusirnya kapan saja." Dinda menggigit bibirnya, tangannya gemetaran. "Dinda, lebih baik kita kembali saja." Mama Heni menyadari apa yang terjadi pada Dinda, dia tak mau membuat Dinda semakin sakit. Heni melepas genggamannya dari tangan Dinda, melangkah duluan, mengetok pintu. Tak ada jawaban. Dinda dan mama Heni jelas terkejut melihat apa yang dilakukan Heni. Heni mendorong pintu, terbuka. Mata Heni langsung melotot tajam penuh marah pada ayah Heni, melihat apa yang sedang dilakukan laki-laki paruh baya itu di atas sofa bersama seorang wanita tanpa busana. Bukan malu, Heni benar-benar marah. "Hei, hei, lihat siapa yang seenaknya masuk ke rumah orang." Ayah Dinda melangkah ke depan, wanita tanpa busana tadi sudah melilitkan selimut ke tubuhnya, terheran-heran. "Hah? Rumah orang? Maksud Anda bukan rumah Anda kan?" Heni berkacak pinggang, menatap rendah ayah Dinda, Roy. Melihat cara Heni menatapnya, Roy langsung marah. Tangannya hendak melayang menampar pipi Heni, tapi setelah melihat siapa yang ada di belakang Heni, dia menurunkan kembali tangannya. Menatap datar putrinya, Dinda. "Kau sudah kembali? Jadi gadis kecil tak tau diri ini adalah temanmu?" Roy mendorong Heni, melewati ibu Heni, berdiri berhadapan dengan Dinda. "Rumah ini bukan tempat kotor untuk kau melakukan hal tak senonoh," ucap Dinda yang gemetaran, bahkan suara Dinda pun hampir tak terdengar. "Hah? Kau ngomong apa sih?" Roy mendekatkan telinganya ke wajah Dinda, bertanya sekali lagi, "hei, kau tadi ngomong apa? Hei!" Roy langsung meremas pipi Dinda, keras. "Kau jangan berani-berani menaikkan suara di depan ayahmu sendiri ya!" Mama Heni langsung menepis tangan Roy dari pipi Dinda. "Apa ini cara seorang ayah memperlakukan putrinya!?" "Siapa lagi ini yang ikut campur!? Itu urusan saya mau memperlakukan anak saya seperti apa! Kenapa, masalah bagi Anda!?" Roy memelototi mama Heni, meludah. "Dan pantaskah Anda menyebut diri Anda seorang ayah setelah berkata seperti itu?! Apa Anda melakukan kewajiban Anda sebagai seorang ayah sampai berani berbuat seenaknya pada Dinda!?" Mama Heni balas memelototi, ikut-ikutan ayah Dinda-- meludah. Roy meregangkan badannya, melemaskan tangannya seperti mau memukul orang. Dia memang orang yang tak punya belas kasih pada perempuan, selagi puas, dia suka berbuat seenaknya. Tangan Roy sudah hampir mengenai wajah mama Heni, tapi dihentikan oleh segara oleh Heni. "Kenapa! Mau memukul mama saya setelah tadi gagal memukul saya!?" Dinda menatap lama Heni dan mamanya, merasa bersalah membiarkan mereka diperlakukan kasar oleh ayahnya, sedangkan dia malah gemetaran saat ini dan tidak mampu berbuat apa-apa. "HAAAH..." Roy menghela nafas berat, masuk ke dalam. "Sayang, kita lanjut di hotel saja. Ayo!" Roy melangkah pergi bersama wanita yang bersamanya tadi yang kini telah memakai pakaiannya, masuk ke mobil. "Itu bukan istri barunya. Juga bukan selingkuhannya minggu lalu, aku baru melihat wanita itu." Dinda menatap kosong mobil Roy yang sudah melaju meninggalkan rumah, tangan Dinda masih gemetaran. "Mama, Heni, maaf... maaf aku tidak bisa berbuat apa-apa saat dia memperlakukan kalian dengan kasar. Aku benar-benar minta maaf." Suara Dinda sudah terdengar serak. Heni kembali mengenggam tangan Dinda, mengatakan tidak apa-apa. "Aku juga minta maaf, kita tidak bisa menginap di sini malam ini, juga tidak untuk selamanya." Heni dan mamanya kaget mendengar apa yang baru saja dikatakan Dinda dengan pandangan tertunduk. "Dinda... apa maksudmu Nak?" Mama Heni memegangi bahu Dinda, cemas. Dinda hanya diam, melangkah masuk ke rumahnya. Mama Heni dan Heni langsung menyusul Dinda, mencegah apa yang akan dilakukan Dinda nanti. Dinda sudah masuk ke kamarnya, mengemas semua pakaiannya. Heni hanya menatap apa yang sedang dilakukan oleh Dinda, tak berani bertanya. "Dinda, kenapa kamu mengemas pakaianmu, Nak?" Mama Heni cemas. Dia takut apa yang dia pikirkan saat ini benar-benar terjadi. "Maaf Ma, sampai kapan pun aku tidak akan bisa mengalahkan laki-laki bernama Roy itu, aku tak akan pernah bisa mengalahkan rasa takutku padanya. Apa yang tadi dia lakukan di rumah ini, membuatku sangat marah, Ma, tapi sayangnya, aku tak berani untuk memarahinya, aku terlanjur takut. Rumah ini adalah tempat di mana aku besar, tempat di mana banyak kenangan indah antara aku dan nenek. Aku tidak mau rumah ini menjadi tempat maksiat oleh laki-laki itu, walau rumah ini juga tempat di mana kenangan buruk itu ada." Dinda menundukkan pandangannya, terdiam untuk waktu yang cukup lama. Heni memeluk bahu Dinda, tak bisa berkata-kata. Heni tidak terpikirkan kata-kata yang bisa menghibur Dinda saat ini. Tidak ada sama sekali. Dinda beranjak ke kamar mandi, mengambil minyak tanah. Melangkah ke setiap sudut rumah, menuangkan minyak tanah itu. Lantai-lantai di setiap sudut rumah telah basah dan berbau menyengat-- bau minyak tanah. Tangan Heni gemetaran melihat apa yang sedang dilakukan Dinda. Mama Heni menggigit bibirnya, dugaannya tepat, apa yang dia pikirkan benar-benar terjadi. Dia sudah berusaha menghentikan Dinda, tapi bagaimana pun, dia tak punya hak untuk menghentikan apa yang sedang dilakukan Dinda. Raut mata Dinda serius, tak ada keraguan di dalam hatinya untuk membakar rumah itu. Mama Heni dan Heni saling tatap, mungkin mereka akan membiarkan Dinda berbuat sesuai keinginannya, jika benar itu adalah yang terbaik untuk Dinda. Membakar rumah itu, mungkin adalah hal terbaik untuk Dinda, semua kenangan-kenangan buruk yang ada di rumah itu akan terlupakan dan tak ada bukti untuk mengingatnya lagi, walau kenangan indah antara Dinda dan neneknya harus dikorbankan. "Din..." panggil Heni pelan. Dinda menoleh, ekspresi mukanya amat datar. "Kamu--" "Mama, Heni, keluar saja duluan. Atau kalian boleh kembali, terima kasih sudah mau menemani Dinda selama ini. Maaf kalau Dinda merepotkan." Dinda memotong kalimat Heni, tersenyum tipis dengan air muka yang sedih. Mama Heni tersentak kaget. "Dinda, kamu tidak mau bu--" "Dinda tidak akan bunuh diri kok." Dinda langsung menyela kalimat mama Heni. "Dinda tau hidup itu berharga, Ma. Dinda tak akan bunuh diri walau sebesar apa pun masalah Dinda, itu tak akan terjadi, Ma." Dinda melangkah ke depan, mengambil tas berisi pakaiannya, membawanya keluar. Dinda kembali masuk ke kamar, mengemas buku dan alat-alat untuk sekolah, mengambil semua uang simpanannya. Tidak ada benda berharga di rumah ini, karena untuk hidup, Dinda perlu menjual semua benda-benda elektronik yang selama ini ada di rumah. Hal terakhir yang dilakukan Dinda adalah berdiri lama di depan kamar. Menutup mata, tersenyum. Dinda saat itu mengulang kembali memori-memori lamanya bersama neneknya. Membuka mata, masih sedih. Mama Heni dan Heni masih belum keluar dari rumah, mereka takut Dinda akan benar-benar bunuh diri walau Dinda sudah mengatakan tidak. Dinda kembali ke luar rumah, membawa satu kardus berisi buku-buku lama dan buku-buku sekolah berserta alat tulis, dibantu Heni. Dinda kembali ke dapur, mengambil korek api. Dinda menahan nafasnya, berharap ini adalah keputusan terbaik untuknya. Dinda menatap sayu Heni dan mamanya, menyuruh Heni dan mamanya untuk keluar duluan. Seeet. Api kecil di korek api kayu itu sudah menyala, Dinda menghela nafas. Mengambil jarak, melemparkan korek kayu itu ke atas tumpukan kardus yang sudah dibasahi minyak tanah. Apinya langsung besar, menyembar dengan cepat ke setiap sudut-sudut rumah yang dibasahi oleh minyak tanah. Dinda sudah berlari keluar rumah dengan sekuat tenaga, mama Heni dan Heni juga sudah berlari keluar dari rumah setelah melihat Dinda berbalik dan berlari keluar. "Mama, bisa Dinda minta tolong? Tolong bawa pergi Dinda dengan cepat dari sini, Ma. Dinda tidak tahan melihat api menyambar rumah ini." Dinda menyeka ujung matanya yang sempat berair, tersenyum tipis dengan air muka lega pada Heni dan mamanya. Heni menatap satu rumah Dinda yang tinggal menunggu waktu saja api akan menyala sampai keluar, melahap abis rumah sahabatnya itu. Mama Heni menganguk, mengajak Dinda dan Heni untuk segera masuk ke mobil. Sebelum api merambat keluar, mobil yang dikemudikan mama Heni sudah meninggalkan kawasan rumah Dinda. Api merambat keluar 5 menit kemudian, melahap abis rumah itu. Karena malam, tetangga-tetangga sudah tidur, mereka tidak menyadari ada kebakaran di kampung mereka. Rumah Dinda juga berjarak jauh dengan rumah tetangga lain, jadi api tak akan merambat sampai ke rumah orang lain. 10 menit kemudian, saat jala api semakin besar, sampai ke atap-atap rumah. Seseorang baru menyadari kebakaran itu, langsung berteriak keras, memukul-mukul pintu rumah orang yang terdekat. "KEBAKARAN! KEBAKARAN! KEBAKARAN!" Beberapa orang terbangun mendengar teriakan itu, selebihnya dibangunkan oleh orang-orang yang terbangun. Orang-orang langsung panik melihat rumah Dinda yang hampir menyisakan tanah saja. Semua orang berlarian mengambil air dengan ember, menyiramkan ke rumah Dinda, itu sudah mustahil. Air sebanyak itu tak akan mampu mengalahkan si jago merah yang sudah sebesar ini. Warga yang sigap sudah memanggil pemadam kebakaran. Tinggal menunggu waktu sampai pemadam kebakaran datang, walau pemadam kebakaran sudah datang pun, itu tetap percuma. Rumah Dinda sudah dilahap abis, pemadam itu hanya akan mematikan api yang berkemungkinan menjalar ke rumah tetangga karena terbawa arus angin. *** Dinda menyandarkan tubuhnya ke kursi mobil. Menghela nafas berkali-kali. Tidak ada lagi tempat untuknya kembali, tapi Dinda tidak menyesal membakar rumah itu. Dia sudah tak punya siapa-siapa. Dinda tak mungkin juga akan merepotkan mama Heni dan Heni. "Nak, kamu tinggal di rumah Mama saja ya?" Mama Heni mengajak, menatap Dinda sesekali dari balik kaca spion. "Dinda tak enak terus merepotkan Mama dan Heni." Suara Dinda terdengar serak. "Dinda bisa tinggal di mana saja, di emperan jalan misalnya. Karena Dinda harus menerima konsekuensi atas perbuatan Dinda sendiri." "Jangan Din! Kamu tinggal saja di rumah kami! Kamu tak perlu merasa tak enak hati, kamu juga sama sekali tidak merepotkan!" Heni menyela, berkata dengan raut muka yang sungguh-sungguh. Mama Heni tersenyum tipis. Dinda mengangguk, bukannya tak punya pilihan, Dinda tak tega menolak ajakan Heni yang bersungguh-sungguh mengatakan itu padanya. Bagaimana jalan hidup Dinda kedepannya, Dinda akan memikirkannya. Apa yang ada di depan mata sekarang, Dinda hanya perlu menjalaninya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN