Bab 14 : Gadis baju merah (2)

2097 Kata
Adul merinding begitu memasuki kawasan ini, bahkan Andi sudah merapatkan tubuhnya ke arah Adul dengan tangan yang menggenggam erat jaket rekannya itu. Adul melihat ke belakang, di sana. Sosok gadis merah itu masih ada, namun berada di sebelah pohon kecil, sosok itu menggeleng dengan kuat dan memberikan pelototan kepada Adul. Seakan melarang mereka untuk memasuki kawasan tersebut. Adul melihat Ucok yang sudah membuka pintu pagar bambu, dan masuk mendekati pohon besar itu. Diikuti oleh Andi yang berada di belakang Ucok. Sedangkan Adul sendiri tetap berdiam diri di luar pintu pagar, matanya melihat ke sekeliling pohon, lalu menyenternya dan tidak menemukan apa pun, kecuali banyaknya sentir kecil yang dinyalakan dengan minyak tanah berjejer di sepanjang pagar. "Pergi... Pergi... Pergi." Suara itu saling bersahut-sahutan di telinga Adul. Ia menatap sosok gadis merah yang masih dengan setia berdiri di sana, berjarak radius 50 meter dari pohon besar itu. Secara tiba-tiba, sosok itu pergi menghilang dengan cepat, bahkan Adul sendiri tidak yakin akan hal itu. Ia kembali menatap ke arah Ucok yang sudah memegang sentir minyak tanah yang terletak tepat di bahwa pohon besar. "Andi, Andi. Pergi." Sama hal nya dengan Adul, Andi yang sudah memasuki kawasan itu mendengar bisikan yang memerintahkan dirinya pergi, ia segera menarik Ucok keluar dari area pagar bambu. "Bang, Yoo pergi. Gak boleh ganggu, Bang." "Apa sih, Ndi? Lebay kali, ini patut kita abadikan, bentar, handphone aku mana? " Ucok melihat saku kanan dan kiri, namun tidak mendapati ponselnya, begitu pula dengan Andi dan Adul yang seakan tersadar dengan keberadaan ponsel mereka yang entah hilang kemana. Ucok merekam dan mengambil gambar keadaan sekitar, tanpa memperdulikan etika dan juga adab yang seharusnya tetap ia junjung tinggi di mana pun ia berada. "Bang, udah ayo pulang aja." Ujar Andi yang sudah berada di samping Adul. Dalam hati ia merutuki tindakan Ucok yang terlihat sembrono dan tidak peduli. Setelah mendapatkan beberapa hasil gambar, Ucok berjalan ke arah Adul dan Andi, sambil sesekali melihat ponselnya yang memperlihatkan hasil yang ia abadikan. "Dah, ayo. Lagian lebay kali, seharusnya senang kita, bisa jumpa kayak gini. Kapan lagi coba?" Ujar Ucok yang terkekeh geli melihat raut wajah kedua rekannya terlihat sangat kesal. "Bang, udah lah, yok lekas cari jalan pulang." Ucok mengangguk, lalu mengikuti langkah kedua rekannya yang berputar arah, ketika matanya melihat hasil bidikan itu, alangkah terkejutnya ia begitu menyadari ada sosok yang terlihat di hasil kameranya. Bahkan sosok itu juga ada di video yang ia ambil. "Adul, Andi. Coba sini dulu." Teriak Ucok memanggil dua rekannya. Andi yang pertama duluan menghampiri Ucok, sedangkan Adul malah terfokus dengan sosok wanita berbaju merah yang berada di belakang Andi dan Ucok. "Kenapa, Bang?" Ucok menunjukkan hasil bidikannya kepada Andi. "Ini, coba kau lihat, ini layak ada orang gak sih? Pake kebaya merah gini kalau gak salah?" Tubuh Andi menegang begitu mengetahui yang dimaksud oleh Ucok adalah sosok yang tadi ia lihat. Adul datang menghampiri dua rekannya, lalu melihat layar ponsel Ucok yang masih menampilkan hasil bidikan kamera itu. Dirinya juga sama seperti Andi, terkejut dan saling melihat satu sama lain. Mengerti akan ketakutan kedua rekannya, Ucok dengan gampangnya mematikan ponsel. Lalu memeluk lengan kedua rekannya. "Dah, gak ada itu semua, jangan percaya, lagian itu bisa aja efek cahaya flash yang aku pake tadi." Andi dan Adul hanya bisa mengangguk, mengiyakan apa yang dikatakan Ucok. Bahkan ketuanya ini tidak sadar, sedari tadi mereka diikuti oleh gadis yang ada di gambar tersebut. Gadis yang berdiri tepat di samping pohon di luar pagar bambu. Gadis itu tampak berdiri tak jauh dari posisi Adul yang berdiri. Dan melihat ke arah kamera dengan mata tajamnya. "Dul, dia masih ada di sekitar kita?" Tanya Andi berbisik pelan, Adul melihat ke segala arah yang hanya ada kegelapan, namun matanya terfokus pada satu titik di mana gadis berbaju merah itu berjalan menjauhi mereka. "Udah pergi, Ndi. Kenapa?" "Aku ngerasa dia nunjukin arah ke kita, Dul. Makanya dari tadi ngikutin aja. Mending kita balik ke arah tenda tadi." Saran Andi yang disetujui oleh Adul. Adul dan Andi mengajak Ucok untuk kembali lagi ke tempat tenda mereka tadi, dengan berjalan secara bersamaan, harapan ketiganya tetap sama, yaitu bisa pulang kembali ke keluarga masing-masing. Sesampainya mereka di lokasi tenda, keadaan sekitar dipenuhi oleh kunang-kunang, hal yang jarang sekali mereka lihat di kota besar, salah satunya kota Medan. Kota metropolitan. Ketiganya menatap takjub ribuan kunang-kunang yang menghiasi area tersebut, terlebih Ucok yang langsung mengabadikan moment itu. "Gila, keren banget. Sumpah, gak nyangka bakal dapet banyak moment gini." Seru Ucok dengan riang. Sama halnya dengan Adul dan Andi yang juga menikmati pemandangan itu dengan tenang. Seolah mereka sedang menjernihkan pikiran dari kekalutan akibat tersesat di tengah hutan. "Bang, mending handphone nya di simpen aja, mana tau bisa dapet sinyal, biar bisa hubungi minta bantuan, handphone kami hilang, gak tau di mana." Ujar Adul sambil duduk lesehan di rerumputan dan menikmati pemandangan alam yang luar biasa ini. Andi mengangguk setuju, saat ini mereka membutuhkan ponsel untuk menghubungi bala bantuan. "Iya, Bang. Syukur-syukur dapet jaringan, jadi biar minta bantuan." "Tenang lah kalian di boncengan, aman kalau masalah batre, power bank nya masih pol." Adul dan Andi hanya bisa terdiam, mereka menyadari, terlalu menyepelekan sesuatu itu juga tidak baik, namun masalah ini bukan ranah mereka, biarlah Ucok yang memikirkan masalah ponsel nantinya. "Sampai kapan kita ada di sini, yah? Rasanya udah gak kuat aku, Dul." "Jangankan kau, Ndi. Aku aja rasanya udah entah kek mana lagi ini, sudah bilang lah." Andi merebahkan tubuhnya. "Kenapa lah kita ngalamin kayak gini, yah? Rasanya kok yah tragis banget." "Yah gimana, Ndi. Udah jalannya, lihat aja bang Ucok itu... "Tunjuk Adul ke arah Ucok. "Dia kayak nikmati aja prosesnya, jangan jadi beban pikiran, yang terpenting kita cari jalan keluar sama-sama. Jangan terpecah belah." Lanjut Adul sambil ikut merebahkan dirinya di samping Andi. "Semua hal mistis yang kita alami saat ini, sebagai pembelajaran aja, bahwasanya kita hidup selalu berdampingan dengan makhluk lain." Andi mengangguk setuju, selama ini ia tidak meyakini akan adanya dunia lain, atau dunia ghaib, ia tidak percaya bahwa makhluk astral itu ada, namun sekarang, ia menyadari satu hal, bahwa menantang makhluk astral bukan lah sesuatu yang baik. "Cewek itu udah kemana yah, Dul. Kok gak keliatan?" Adul segera duduk, lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru hutan, keadaan gelap gulita, dan gemercik air sungai memenuhi keheningan malam, Adul sama sekali tidak menemukan sosok berbaju merah itu, bahkan di lokasi yang tadinya sosok itu dengan setia berdiri di sana. "Gak ada, Ndi. Biasanya kalau dia pergi, berarti ada yang lain," ucap Adul, bukan apa-apa, tapi jika wanita berbaju merah itu tidak menampakkan dirinya, berarti ada yang lain, yang sedang mengawasi mereka. "Yang bener aja kau, Dul. Jangan buat takut." "Bener, Ndi. Karna dari tadi kalau dia gak nampak itu pasti ada sosok lain yang muncul. " Mata Adul menatap awas ke arah lain, ia melihat ke arah jalanan yang tadinya menuju ke pohon besar berpagar bambu itu, jalan setapak yang terlihat bersih dari semak-semak, akan tetapi terlihat sangat seram. Hingga matanya dapat melihat sosok hitam besar yang tadinya berdiri di seberang sungai. Sosok itu menatap ke arah mereka dengan mata yang melotot tajam. Adul membalikkan badannya, ia enggan menatap sosok menakutkan itu. Langsung saja ia berdiri, membuat Andi yang sedang rebahan seketika ikut berdiri juga. "Kenapa, Dul?" "Siap-siap, Ndi. Kita pergi aja." "Mau kemana kalian?" Sahut Ucok yang suaranya terdengar memberat dan sorot mata tajam dan memerah. Andi dan Adul langsung meringsut ketakutan, aura dari tubuh Ucok sekaan berbeda dan terlihat lebih seram dan menakutkan. "Emm.. Ba- Bang Ucok, ayo pergi." Ajak Andi yang tetap menjaga jarak dengan Ucok yang perlahan mendekat. Ucok menggeleng pelan. "Gak, aku mau di sini, ini rumahku," sahut Ucok dengan suara yang tetap berat dan terdengar bukan seperti suaranya yang asli. Begitu menyadari hal ini, Adul langsung melihat ke arah Ucok dengan tatapan penuh selidik. "Kenapa kamu lihat aku?" Sentak Ucok begitu menyadari tatapan Adul yang menilai ke arahnya. Adul langsung gelagapan, dan menggeleng pelan. "Maaf, saya tidak bermaksud. " "HAHAHAHAHAHA.... KALIAN b*****h YANG TIDAK MEMILIKI ETIKA DAN ADAB. KALIAN AKAN TETAP DI SINI, TIDAK ADA YANG BOLEH PERGI." Teriakan itu membuat telinga Adul dan Andi merasakan sakit. Keduanya tampak terduduk sambil menutup telinganya. "Kalian ngapain, duduk di sini? " Andi yang tersadar langsung melihat ke arah Ucok yang menatap mereka dengan tatapan heran, dan bukan tatapan seperti yang tadi. Ia melihat ke sekeliling hutan tempat mereka sekarang, namun keadaan telah kembali seperti biasanya. "Ndi, kenapa?" Tanya Ucok sekali lagi, awalnya Andi meringsut menjaga jarak dengan Ucok dan ketakutan, namun begitu Adul berdiri dan memeluk Ucok dengan erat, Andi akhirnya memberanikan diri untuk memeluk Ucok juga. "Woy, kenapa sih? Kok pada meluk gini?" "Bang, janji kita bakal terus sama-sama, sampe bala bantuan datang, yah," ujar Adul yang sudah terisak sambil memeluk seniornya ini. Ucok yang berfikir kedua adik tingkatnya ini hanya ketakutan jika tidak bisa kembali mencoba mengerti keduanya. Dengan mengusap kepala Adul dan Andi. Ucok melerai pelukan itu. "Kalian bakal pulang, inget itu. Itu janji Abang sama kalian, kalian bakal pulang." Adul menggeleng dengan cepat. "Bukan kalian, tapi kita, Bang. Kita bakal pulang bareng-bareng." Ucok mengangguk sekilas, ia melihat ke arah Andi yang terlihat pucat dan gemetar." Kau kenapa, Ndi? Kok pucat? Sakit?" Andi menggeleng pelan, ia duduk kembali di rerumputan di bawahnya. " Gak bang, cuma agak ngeri aja kalau kita bertiga bakal jadi penghuni sini." "Owalah, yang kau bayangkan itu seharusnya yang baik-baik aja. Jangan yang buruk, yang ada kau sendiri yang doain kita gak pulang." "Sekarang gimana, Bang? Kita kemana? " Ucok tampak melihat dua jalur yang berbeda, Jalur pertama yang menuju ke arah pohon besar berpagar bambu, sedangkan jalan kedua, mereka belum mengetahui jalan setapak ini menuju kemana. "Kita lewat jalan yang tadi mau?" Tanya Ucok yang menunjuk jalur menuju pohon berpagar bambu tadi. Sontak Andi dan Adul menggeleng tanda tidak setuju, bahkan Andi sendiri sudah menggeleng dengan cepat. "Gak, bang. Mending jalan yang ini aja." Tunjuk Andi ke arah ajakan setapak yang satu lagi. "Tapi kita gak tau, itu jalan menuju mana? Kalau yang tadi kan kita bisa minta tolong sama warga yang datang ke situ, Abang yakin itu buat kayak sesajen." "Bener apa kata Andi, Bang. Sebaiknya kita pake jalan ini aja, kalau jalan yang tadi, takutnya itu privasi orang, dan kita gak boleh seenaknya masuk ke sana tanpa ijin." "Privasi siapa lagi? Mana ada gitu " sungut Ucok yang masih tetap ingin melewati jalan itu kembali. "Bukannya kita itu dituntut untuk saling menjaga etika yah, Bang. Menjaga adab juga." "Yah, iya sih. Yaudah, lewat jalur yang kalian tunjuk yah." Andi dan Adul mengangguk semangat, Andi langsung mengambil posisi pertama sebagai penunjuk arah, sedangkan Adul di barisan kedua dan ucok terakhir. Sepanjang perjalanan menelusuri jalan setapak itu, Andi, Adul dan Ucok, berusaha tetap tengang meski mereka tau, hawa yang tadinya tenang berubah menjadi mencekam. Bahkan posisi pimpinan barisan sudah di ambil alih oleh Adul. "Bang, dingin kali." Sahut Andi dengan badan yang gemetar kedinginan, Ucok dan Adul sontak berhenti dan melihat ke arah Andi yang sudah gemetar kedinginan, langsung saja Adul dan Ucok melepas jaket mereka, mencoba me buat tubuh Andi hangat agar tidak terkena hipotermia. Adul juga buru-buru mendirikan tenda seadanya dengan cepat, begitu jadi, mereka melafalkan Andi pada tenda tersebut, dan menyelimutinya dengan selimut yang dimiliki Ucok dan Adul. "Ndi masih bisa denger suara Abang?" Tanya Ucok. Andi mengangguk pelan. "Masih dingin, Ndi?" Lagi, jawaban Andi hanya mengangguk pelan. Ucok menghela nafas gusar, ia akhirnya keluar menemui Adul yang berusaha menghidupkan api unggun dengan kayu yang ada di sekitar mereka. "Bisa gak, Dul? " Adul mencoba sekali lagi, hingga akhirnya api menyala dan menjadi api unggun darurat. Ucok masuk menemani Andi di dalam tenda, dengan tetap menghangatkan tubuh sahabatnya itu. Ia sesekali mengecek kesadaran Andi yang perlahan sudah mulai pulih. "Bang, kita istirahat aja dulu, Yah? Kasian Andi juga kalau lanjut jalan." "Iya, Dul. Gak mungkin juga kita jalan, kasian Andi nya." Adul duduk di pintu tenda, ia mengawasi keadaan sekitar mereka, agar kejadian yang seperti di tenda tadi tidak terulang kembali. "Adul, kalau sampai Abang gak pulang, titip salam sama keluarga Abang di Tapsel yah. Kalau bisa mayat Abang temuin biar dikubur dengan layak, tapi paling tidak, sampaikan salam itu sama keluarga Abang." Adul tersentak kaget begitu mendengar ucapan Ucok yang ngelantur. "Apalah Abang ini, ngada-ngadi. Kita bakal pulang sama-sama." Sungut Adul kesal. Bukannya menjawab, ucok malah terkekeh dan merebahkan diri memeluk Andi dengan erat. Adul hanya menghela nafas, pada akhirnya ia menutup tenda dan ikut tidur di samping Andi dan memeluk sahabatnya itu dengan erat, menyalurkan rasa hangat yang ada ditubuhnya. "Kita bakal pulang sama-sama. Itu janjiku." Batin adul.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN