Keheningan hutan menjadi teman mereka bertiga selama berjam-jam, baik Adul maupun Andi sama-sama tidak dapat memejamkan matanya, mereka masih terus berfikir bagaimana caranya untuk pulang, pulang yang dalam artian yang sebenarnya, bukan pulang untuk kehidupan yang kekal di sisi Tuhan.
Andi yang tertidur di tengah menatap Ucok yang terlihat tenang dalam tidurnya, sebenarnya ada rasa geram dengan Ucok selama perjalanan ini, sosok yang biasanya terkenal dengan sifat mau menerima saran orang lain, kini lebih mengedepankan egois nya, dan menolak saran mereka berdua.
Di satu sisi, Andi dapat melihat Adul yang tertidur miring menghadap tepi tenda, ia tau sahabatnya itu belum tertidur, sama seperti dirinya. Adul yang merupakan pencerah dalam kelompok ini, ia sering kali menjadi penengah jika ada permasalahan di dalam pendakian. Namun kali ini, Adul juga terlihat pasrah dan tidak memiliki jalan keluar.
Ia teringat pesan ibunya sebelum berangkat kemarin. "Kalau mendaki, tetep jaga etika dan adab. "
Selalu pesan itu terus yang di sampaikan, meski ibunya melepaskan ia pergi, namun entah mengapa, kepergian kali ini, banyak mendapatkan penolakan, tidak hanya ibunya, bahkan ummi Adul, dan juga mamak Ucok. Menolak dengan keras walau pada akhirnya mereka tetap pergi.
"Dul, udah tidur?". Tanya Andi pada akhirnya, tidak mendapati jawaban, Andi berfikir mungkin Adul sudah tidur. Begitu ia hendak memejamkan mata, suara Adul membatalkan niatnya itu.
"Belum, aku lagi nunggu bayangan orang di depan tenda kita pergi, Ndi."
Mendengar jawaban Adul, sontak Andi melihat ke arah pintu masuk tenda yang tertutup, dan benar saja apa yang dikatakan Adul, di sana tampak bayangan seorang wanita dengan rambut panjang yang nampak dari bayangan itu.
Andi melihat ke arah Adul yang juga tengah melihatnya, ia mendekatkan diri ke arah sahabatnya itu. "Dul, sejak kapan ada dia?" Tanya Andi berbisik pelan. Adul melihat ke arah sosok itu, lalu menatap Andi kembali.
"Dari kita masuk dia juga berdiri di depan itu, bahkan beberapa kali ke samping aku ini." Tunjuk Adul ke tenda tepat di sampingnya.
"Bahaya gak, Dul?" Mereka berbicara secara lirih, dan berbisik, semoga aja sosok itu tidak mendengarnya.
"Aku bingung, Ndi. Dibilang itu makhluk halus, kok ada bayangannya? Dibilang Manusia kayak kita, kok yah aneh semua."
Andi setuju dengan pemikiran Adul, ia juga bingung sebenarnya siapa orang-orang yang menghantui mereka ini, bahkan seperti mengikuti.
"Tapi, dari tadi cewek itu memang ada. Dari kita yang mau wudhu." Ujar Adul dengan pelan, dan tetap mengawasi sosok itu dari dalam tendanya. "Dia senyum tadi ke arah aku pas kita sholat, tapi pas bang Ucok keluar dan buang air ke samping, dia berubah jadi marah. Apa karna bang Ucok lancang buang air sembarangan?" Lanjut Adul lagi.
Andi tampak merenungi informasi dari Adul, bisa jadi apa yang dikatakan oleh Adul adalah kebenarannya, beberapa kali mungkin mereka melanggar etika dan adab. Malah terkesan mengganggu.
"Kita udah mulai diawasi pas mulai nanjak, Ndi. Yang kita milih jalur tikus, gak lama setelahnya ada sosok anak kecil yang ikut jalan sama kita. Terus pas di pos dua juga, itu udah sosok yang aku lihat di seberang sungai, badannya besar, hitam."
"Dul, kita ngelakuin kesalahan kayaknya." Ujar Andi begitu menyadari hal ganjil ini terjadi karena mereka melalui jalur tikus itu.
Sebelum Adul ingin bertanya, sosok yang tadinya di depan tenda tiba-tiba bayangan nya ada di atas kepala mereka, tepat di antara Andi dan Adul. Sontak Andi dan Adul langsung terdiam dan harap-harap cemas, keduanya tidak mengeluarkan suara sama sekali, tatapan mata mereka tertuju pada sosok yang masih berdiri tepat di kepalanya.
Badan Andi bergetar ketakutan, sampai-sampai Adul dapat merasakannya, ia langsung menggenggam tangan Andi sambil terus mendongak memperhatikan bayangan sosok wanita itu. Cukup lama sosok itu berdiri di sana, hingga sekitar tiga puluh menit kemudian, bayangan itu menghilang, bersama dengan suara angin yang sangat kencang , namun mereka tidak merasakan angin itu.
Wustttt ... Wustttt...
Mata Andi terpejam erat, ia enggan membuka mata memperhatikan semua kejadian itu, berbeda dengan Adul yang bahkan sangat penasaran bagaimana semua ini bisa terjadi. Setelah sosok itu menghilang, tiba-tiba sekeliling tenda kembali ramai, bahkan sangat ramai, ada banyak orang yang saling berbicara namun terdengar sangat tidak jelas.
Sangking ramainya telinga Adul dan Andi terasa sangat sakit, berdengung dengan keras, dan gendang telinganya terasa sangat-sangat sakit. Andi sampai menangis menahan sakitnya dan juga suaranya, sedangkan Adul hanya bisa meringkuk dengan terus menyebutkan nama Allah meminta perlindungan.
Tenda kembali bergoyang, dan suara itu semakin memekakkan telinga keduanya. "Allahu Akbar. Allahu Akbar... Allahu Akbar." Ucap Adul dengan pelan sambil meringkuk.
"Astagfirullah, Astagfirullah, Astagfirullah.... " Andi terus mengucapkan kalimat itu berulang kali.
"Laailahailallah.... Laailahailallah ... Laailahailallah..." Andi dan Adul serempak mengucapkan kalimat tauhid itu. Mereka tidak tau lagi harus bagaimana, sekedar untuk bersuara aja tidak bisa, karena saat ini rasanya yang terdengar di telinga mereka yang suara-suara yang berdengung tidak jelas itu.
"Allah .... Allah... Andi banguni bang Ucok, Ndi. Udah gak beres lagi ini." Ucap Adul pada akhirnya, jika ia bertahan di sini bisa-bisa gendang telinganya akan meledak. Lebih baik ia memutuskan untuk pergi.
"Bang Ucok... Bang Ucok!" Andi menggoyangkan tubuh ucok dengan keras, akan tetapi Ucok sama sekali tidak merespon.
"Bang Ucok, bangun, bang." Andi berupaya sekali lagi. Namun hasilnya tetap sama. "Dul, gak bisa, gimana ini?" Panik Andi. Adul yang sudah terduduk dengan menutup telinganya membacakan ayat kursi dengan lantang.
"Allohu laa ilaaha illaa Huwal Hayyul Qoyyuum, laa ta’khudzuhuu sinatuw walaa nauum, la Huu maa fis samawaati wa maa fil ardh, mann dzalladzii yasyfa’u ‘inda Huu, illa bi idznih, ya’lamu maa bayna aidiihim wa maa kholfahum, wa laa yuhiituuna bisyayim min ‘ilmi Hii illaa bi maa syaa’, wa si’a kursiyyuus samaawaati walardh, wa laa yauudlu Huu hifdzuhumaa, wa Huwal ‘aliyyul ‘adziiim"
Goyangan tenda itu perlahan-lahan berhenti, bahkan suara tahlilan yang tadinya memekakkan telinga, perlahan seperti menjauh, bayangan orang-orang yang tadinya memutari tenda mereka menghilang dan sama sekali tidak ada bayangan satu pun.
Andi sudah terisak kuat, tubuhnya gemetar ketakutan, bahkan ketika Adul mencoba menenangkan, Andi malah menampik tangan Adul karena terkejut.
"Ndi, udah Ndi. Ngucap, Astagfirullahal adzim .. Astagfirullahal adzim.. " ucap Adul menenangkan Andi yang ia yakini sudah trauma.
"Ayo, pulang Dul. Aku gak kuat," ujar Andi dengan nada gemetar. Ia langsung membereskan barang-barang dan memakai jaket nya. "Ayo, Dul. Kau bilang ada yang nyuruh kita balik, Kan? Ayo balik ke pinggir sungai itu, bang Ucok biarin aja."
Adul menghela nafas, ia membereskan barang bawaannya. "Ndi, tega kau tinggalkan bang Ucok di hutan mistis ini sendiri? Selama ini dia yang bantu kau hidup di perantauan, kalau uang kau udah habis, siapa yang bayarin kau makan? Jangan karna ini kau jadi hilang rasa persaudaraan. " Adul berusaha mengingatkan Andi untuk tidak gegabah dengan bertingkah egois.
"Tapi dia tetap gak mau bangun, Dul. "
"Kau yakin, Bang Ucok gak kenapa-napa? Kau yang sering nginap bareng dia, tidur bareng dia, setau aku bang Ucok itu paling sensitive kalau tidur, denger kita jalan aja dia langsung bangun, tapi kenapa sekarang malah diem aja?"
Seakan menyadari sesuatu, Andi langsung melihat ke arah Ucok dengan seksama. "Bang Ucok kenapa, Dul? Dia gak kenapa-napa kan? Bang, bang Ucok. Bang Ucok...." Andi menggoyangkan badan Ucok berusaha membangunkannya.
Hingga percobaan kesekian kalinya, mata Ucok terbuka sayu. "Kenapa, Ndi. Segitunya kali kau yang bangunkan aku."
Andi menggeleng pelan, dalam hati ia bersyukur seniornya ini masih hidup, ia pikir Ucok akan tiada. "Gak ada, Bang. Yok lah, jalan lagi, kayaknya bentar lagi subuh."
Ucok tampak linglung, nyawanya belum terkumpul sepenuhnya. "Lanjut Kita?"
Andi mengangguk semangat, lalu keluar dari tenda disusul oleh Adul yang sudah memakai jaketnya. Tak lama Ucok juga keluar, lalu melepas tenda dan melipatnya. Di tengah-tengah melipat ini, mata Adul dapat menangkap sosok itu, sosok yang sama dengan yang ia lihat ketika mengambil wudhu.
Gadis berbaju merah.
Adul melihat sosok itu dengan jelas, bahkan ia bisa melihat tatapan mata wanita itu yang tidak seseram tadi.
"Dul, kau lihat apa?" Tanya Andi yang menangkap gelagat aneh dari Adul dan mengikuti ke arah pandang Adul. Betapa terkejutnya ia begitu melihat sosok yang diceritakan oleh Adul tadi.
Sosok berambut panjang dan mengenakan baju merah, Andi menatapnya dalam diam, bahkan tubuhnya juga terdiam kaku. Hingga tiba-tiba mata sosok itu melihat ke arahnya, namun bukan tatapan tenang yang ia terima, melainkan tatapan tajam penuh pengancaman.
Tubuh Andi bergetar takut, ia tau tatapan itu bukanlah sesuatu yang baik.
"Ndi, jangan dilihat." Ujar Adul yang tau jika Andi melihat sosok itu juga. Mendengar celetukan Adul, Andi langsung melihat ke arah sahabatnya itu dengan wajah yang penuh ke khawatiran.
"Dul, kok dia natap aku tajam kali." Panik Andi, Adul juga tidak menemukan jawaban itu, ia juga tidak mengetahui mengapa sosok itu menatap Andi dengan tajam. Lalu matanya menatap ke arah sosok itu lagi.
Sosok wanita itu menunjuk ke arah jalan belakang tenda, seolah menunjukkan jalan arah pulang kepada mereka, Adul melihat ke arah yang ditunjuk sosok itu, ada jalan setapak yang seperti jalanan yang sering dilalui orang.
"Yok, Dul."
Ucok langsung berjalan melawan arah dari yang ditunjuk oleh sosok itu, bahkan Ucok terlihat berjalan sangat cepat, sehingga Adul dan Andi langsung menyusul tanpa mengikuti jalan yang ditunjuk oleh wanita berbaju merah.
Sangking cepatnya Adul dan Andi berjalan, mereka melupakan handphone yang tadinya mereka gunakan dan mereka letakkan di batang kayu yang tersedia di sekitar tenda untuk mencari jaringan.
Sosok gadis itu tampak mengikuti rombongan Adul dari belakang, tanpa mereka sadari. Hingga sampai mereka pada pohon yang amat besar, yang sekelilingnya dipagari Dengan pagar bambu.
Adul merinding begitu memasuki kawasan ini, bahkan Andi sudah merapatkan tubuhnya ke arah Adul dengan tangan yang menggenggam erat jaket rekannya itu.
Adul melihat ke belakang, di sana. Sosok gadis merah itu masih ada, namun berada di sebelah pohon kecil, sosok itu menggeleng dengan kuat dan memberikan pelototan kepada Adul. Seakan melarang mereka untuk memasuki kawasan tersebut.