Keduanya memutuskan untuk langsung mengistirahatkan tubuhnya menyusul Ucok, meski dengan tenda yang sempit, keadaan malam yang hening membuat ketiganya larut dalam buaian mimpi. Berharap besok pagi mereka bisa menemukan jalan pulang.
Dengan mendirikan tenda dengan persiapan ala kadarnya, bahkan tanpa api unggun.
Ketiganya memilih langsung mengistirahatkan tubuhnya, meski dengan tenda yang sempit, keadaan malam yang hening membuat ketiganya larut dalam buaian mimpi.
Tak lama terpejam, mata Adul kembali terbuka lebar, ia juga melihat ke seluruh penjuru tenda, di mana ia bisa mendengar ada keramaian di sekitar mereka, bahkan ada beberapa langkah yang seperti mengelilingi tendanya, bayangan yang dihasilkan oleh senter yang sengaja mereka hidupkan, memperlihatkan bayangan-bayangan 3 orang yang berada di sekitar tendanya seperti sedang di awasi. lalu setelah itu, dua bayangan seperti menjauh, namun suara keramaian masih ada, bahkan lebih ramai dari sebelumnya.
Satu bayangan masih berdiri tepat di balik tenda di hadapannya. Tubuh Adul menegang dan tidak bisa bergerak, ia hanya memperhatikan beberapa bayangan yang kemudian datang lagi ke sekitar tendanya. Tak lama setelah itu, suara tawa dan tahlil itu kembali terdengar beriringan, bahkan saling sahut menyahut. Ia melihat kedua rekannya yang masih tertidur pulas, hingga tiba-tiba mata Andi terbuka dan melotot seram, raut wajah dan aura Andi berbeda dari biasanya, dengan mata yang besar, Andi melihat Adul.
"Pulang... Pulang.. pulang." Berulang kali Andi mengucapkan itu dengan suara berat dan terdengar sangat dalam, jauh sekali dari suara Andi yang biasanya cempreng, tangan Adul tiba-tiba digenggam Andi dengan erat, dan urat-urat tubuh Andi menonjol, semakin lama, genggaman tangan Andi semakin kuat.
"Pulang.... Pulang... Pulang."
Adul semula mengira jika Andi sedang ngekindur langsung tersadar dan meringsut menjauh, bahkan ia memojokkan diri sampai ke sisi tenda tepat bayangan itu ada. suasana sudah mencekam, di mana Keadaan luar semakin lama semakin ramai, bahkan sudah ada banyak bayangan yang terdiam menghadap ke arah tendanya.
"Pulang... Pulang... Terlambat," ucap Andi lagi,Andi bahkan menunjuk arah keluar dari tenda, seakana menyuruh mereka segera kembali pulang. Tak lama Setelahnya Andi kembali tertidur, dan bayangan itu menghilang secara tiba-tiba. Adul langsung duduk dan membangunkan Ucok, Andi.
"Bang, Bang. Bangun dulu, cepet bangun, Bang." Ucok yang terusik pun langsung terbangun dengan mata menyesuaikan cahaya senter ponsel yang masuk ke retinanya, lalu menatap adul dengan pandangan penuh tanya.
"Apa sih, Dul?"
"Bang, yok pulang aja, balik ke jalan yang tadi. Ke seberang sungai, " pinta Adul dengan nada penuh permohonan, Ucok mendecakkan lidah kesal, ia menatap Adul dengan pandangan nyalang. "Apa sih, Dul? Dari tadi minta pulang terus, kamu pikir kami ini gak mau pulang? Kami juga mau, tapi keadaan lagi gak memungkinkan, tunggu sampai besok pagi, " balas Ucok dengan nada yang sudah terlihat sangat kesal.
"Lagian, ini juga udah malam Dul, seumpama kita paksakan juga gak bisa jalanan gak nampak, yang ada kita semakin jauh tersesatnya." omel Ucok yang merasa sangat kesal dengan tingkah Adul yang keterlaluan menurutnya.
Andi terbangun dari tidurnya, ia menatap Ucok yang terlihat kesal, dan juga Adul yang menunduk dengan tubuh yang gemetar.
"Kenapa, Dul?" Tanya Andi pelan. Ucok menghela nafasnya kasar. "Biasa, minta pulang, gak tau keadaan lagi gini. "
Adul terdiam, ia tidak ingin membuat keributan, tapi mengapa Ucok tidak bisa merasakan bahwa semua ini sudah janggal dan membahayakan ? Adul menatap Andi, temannya itu terlihat sudah akan menyelami dunia mimpinya, sedangkan Ucok sudah bersiap-siap kembali tidur.
"Ya Allah, seumpama kami tidak bisa selamat, hamba rela, hanya saja pertemukan jasad hamba agar bisa dikuburkan sebagaimana semestinya. "
Sekarang Adul hanya bisa berharap kepada Tuhan, agar bisa kembali pulang ke keluarganya yang berada di kota Medan. Ia tidak ingin mati konyol di hutan mistis gunung Sibayak ini, dan tidak ingin menjadi catatan sejarah buruk jalur pendakian Sibayak.
Memang ini salah mereka yang sudah menyalahi aturan pendakian, mereka melewati jalan 'tikus' tanpa izin, dan juga pelanggaran lain yang mungkin saja menganggu makhluk yang hidup berdampingan dengan mereka.
Padahal umminya selalu mewanti-wanti untuk selalu menjaga etika dan adab di mana pun ia berada, tapi selama pendakian, ia tidak pernah melanggar itu, ia selalu menghormati makhluk apa pun, tidak pernah mengganggu, tapi kenapa hanya dia yang harus dihantui oleh hal mistis.
Sepanjang malam Adul sama sekali tidak bisa tidur, ia masih menatap ke arah luar tenda yang tidak seberisik tadi, hanya ada suara hewan-hewan hutan, suara jangkrik mendominasi seisi hutan. Seharusnya ia menuruti perintah ibunya, untuk tidak tergabung dalam kelompok pendakian seperti ini, seharusnya ia meminta izin keluarganya untuk mendaki, seharusnya ia selalu mawas diri. seharusnya dan seharusnya. Ada banyak kata seharusnya yang me buat Adul tanpa sadar menitikan air mata.
Memikirkan bahwa ia akan berada di hutan ini sampai ajalnya tiba, membuat Adul terisak pilu, kematian tragis seperti ini tidak pernah ia bayangkan, bagaimana jika umminya di sana tengah berusaha menghubunginya? Bagaimana jika keluarganya panik? Bagaimana kedua adiknya nanti? Siapa yang menjaga ke tiga bidadari nya? Dan bagaimana keadaan keluarganya jika mendengar kabar bahwa dirinya hilang di raja gunung, Sibayak?
"Adul, kenapa nangis?" Tanya Andi yang membuat Adul berjengit kaget. "Akh, gak, Bang. Cuma takut gak bisa pulang aja," ucap Adul sembari menghapus air matanya. Andi tampak terdiam melihat ke atas tenda, merenungi semua yang terjadi hari ini.
"Aku gak mau munafik sih, Dul. Ada juga rasa takut gak bisa balik lagi ke keluarga, tapi mau pulang juga gak ada jalan keluar, andai aja kita ngikutin saran kaunya tadi, pasti gak bakal begini, harusnya pas dapat kemarin aku gak nyatakan buat oake jalur ini. " balas Andi sendu. Jujur saja, ia merasa bersalah dengan kedua rekannya, ia yang sudah menyarankan jalur sesat ini.
"Aku mau nanya sama kau, Dul. Kenapa sedari tadi kau itu langsung minta pulang?" Lanjut Andi.
Adul tampak terdiam. Ia melihat ke arah luar sambil berbaring. "Udah ada rasa gak nyaman, bang. Sedari awal kita berangkat, bahkan dari kita rapat kemarin, soalnya gak ada jaminan jalur yang kita lewati aman. Ditambah lagi di post dua serasa ada yang memperhatikan kita, bahkan sampai kita berhenti tadi." Andi tampak terkejut, lalu menatap sendu Adul.
"Sebenarnya aku juga, Dul. Cuma aku bawa senang aja, gak nyangka bakal kayak gini." Baru aja Adul ingin menjawab pernyataan Andi, tiba-tiba tendanya seperti ada yang menggoyang, dan di luar kembali terlihat sangat ramai, bahkan seperti warga kampung yang menggrebek mereka, angin kencang dan keadaan barubah menjadi gelap, ponsel mereka tiba-tiba low, dan power bank yang sengaja dibawa sama sekali tidak berfungsi.
Goyangan di tenda semakin kuat, bahkan Adul dan Andi sampai terpontang-panting.
"Dul, ini kenapa, ya Allah?" Panik Andi, ia bahkan sudah menangis. "gak tau, Bang. Astagfirullah ."
Adul minat ke arah Ucok yang tertidur pulas, sama sekali tidak tertanggung dengan kejadian ini. Tenda semakin bergoyang, di luar tampak beberapa orang yang melempari tendanya dengan benda padat sampai tendanya hampir rubuh. Keadaan semakin mencekam ketika suara tahlilan iring-iringan kerenda itu kembali berbunyi, bahkan seperti berada di sekeliling mereka.
"Terlambat pulang... Terlambat pulang...." Suara itu saling sahut-sahutan dengan suara iring-iringan tahlilan. Suara yang semakin kuat dan semakin mendekat. Andi dan Adul saling bergenggaman tangan dan melihat ke arah Ucok yang sama sekali tidak terganggu.
"Astagfirullah, ya Allah! Hamba berlindung padamu dari segala jenis gangguan jin dan syaitan, ya Allah."
"Allahuakbar... Allahuakbar... Allahuakbar." Teriak Andi sambil terus berpegangan dengan Adul.
Mereka berdua sama sekali tidak mengetahui mengapa hanya mereka yang diganggu, kenapa tidak dengan Ucok yang malah terlihat santai.
"Aduk, sebenarnya apa salah kita, Dul. Kenapa orang-orang ini marah?" Tanya Andi sambil terisak menangis.
"Aku juga gak tau, Ndi. Sebisa mungkin aku gak ngelanggar dan menghargai makhluk lain. Makanya sebisa mungkin aku gak ribut, gak sembarangan ngomong."
Seakan disadarkan oleh keadaan, Andi melihat Adul dengan tatapan terkejutnya. "Apa karna kami yang merekam itu?"
Adul menggeleng pelan, keadaan di tenda tetap sama, bahkan lebih parah lagi. Terlihat banyak orang yang mengelilingi tenda mereka sambil mengucapkan kalimat yang sama.
"Ya Allah, apa ini ya Allah? Hamba mohon maaf," ucap Andi yang sudah duduk terdiam sambil memeluk lututnya.
Hingga beberapa menit kemudian, Keadaan kembali kondusif, angin serta goncangan pada tenda mereka tiba-tiba berhenti, dan tidak ada lagi suara berisik dari luar, bahkan ponsel dan powerbank mereka kembali berfungsi seperti semula. Andi sudah menangis, ia bahkan meringkuk ketakutan di samping Adul, sangat berbeda dengan Ucok yang masih asyik di dunia mimpinya.
"Adul, ayo pulang, kalau bang Ucok gak mau, kita aja, Dul." Andi merengek seperti anak kecil, ia sudah sangat ketakutan, masa bodo dengan Ucok yang egois dan tidak mau mendengarkan saran orang lain.
" Besok aja, insyaallah kita bisa pulang, kalau malam ini juga gak bakal dapet jalan juga, besok kita langsung lewat jalan itu."
Andi akhirnya sedikit lebih tenang, dan memutuskan untuk berbaring tenang, ia melihat ke arah Ucok yang masih tetap tenang padahal suasana sangat tidak baik tadi, berulang kali ia dan Adul merasakan hal ganjil, akan tetapi ketuanya ini sama sekali tidak merasakan apa pun.
"Adul, inget pesan aku. Kalau pun aku yang gak selamat, tolong bilang sama keluargaku, kalau mayat aku ada di sini, dan jemput, yah. Aku gak mau mayat aku di hutan ini.
Adul menangis mendengarkan penuturan Andi, ia sama halnya dengan Andi yang merasa takut, kalau pun mereka tidak selamat, ia akan terima dengan lapang d**a.