Bab 8 : Keberangkatan

2007 Kata
Hari keberangkatan pun tiba, Ucok beserta rombongan sudah berkumpul di depan basecamp untuk bersiap menuju pendakian. Beberapa motor terparkir rapi tepat di parkiran depan basecamp. Ada sekitar 15 orang yang ikut dalam pendakian kali ini, bahkan Panji yang tidak ikut saja, mengantarkan mereka semua. "Beneran gak bisa ikut, Nji?" Tanya Ucok sekali lagi, Panji merupakan anggota yang solid. Dan paling bisa di andalkan dalam pendakian. "Gak bang, lain kali aja. Susulan aku ni, hari Senin." "Kau udah aku teriakin malah melongo yah telat lah." Sahut Fahri yang tadinya di dalam basecamp. "Alah, emang niat mau buat telat dia kau kan?" Celetuk Andi tanpa dosa. "Gak usah fitnah kau yah, tuyul Arab." Sungut Fahri dengan kesal. Apalagi teman-temannya malah mendukung statemen dari Andi. "Jangan percaya kau Panji sama Andi, setan itu ." Lanjut Fahri lagi. Panji hanya tertawa geli, tanpa dijelaskan juga ia tau, Fahri tidak mungkin sengaja. Ini hanya faktor keberuntungan. "Adul mana?" Tanya Ucok yang tidak bisa melihat Adul ada di mana mana. "Katanya nyusul bentar lagi, Bang." Tak lama, orang yang sedang dibicarakan pun muncul. Lengkap dengan motor matic dan tas pendakiannya. "Sorry, telat bang. Tadi ban nya kempes." "Iya, gak papa, lagian belum kumpul semua." Satu persatu anggota datang, tepat pukul 8 lewat 15 menit, mereka melakukan doa bersama. "Nji, pergi dulu yah." Pamit Ucok dengan memakai helmnya dan membawa perlengkapan yang ia jadikan satu dibatas pendakian nya. "Yoi, Bang. Hati-hati yah, pulang dengan keadaan selamat." Ucok menghampiri Panji lalu memeluknya dengan sayang. "Coba berdamai sama keluarga barumu, biar gak merasa sendiri, gimana pun itu keluarga mu sekarang." Panji mengangguk paham. Semalam menginap di rumah ayah kandungnya, nyatanya tidak seburuk di awal dulu. "Insyaallah, bang. Panji bakal inget nasehat Abang ini." "Jaga kesehatan yah, semangat terus. Nanti kalau Abang pulang Panji yang nyambut." Dahi Panji mengkerut mendengar ucapan Ucok yang terdengar ambigu, apalagi bahasa yang dipakai kenapa menjadi lembut, sangat berbeda seperti sehari-hari. "Pergi dulu, Nji. Nanti kalau mau ke kost, kuncinya di bawah pot aku letak. Ambil laptop di sana yah, banyak film." Suara Fahri memelan di akhir, yang membuat Panji terkekeh geli. Mereka tidak munafik, alibinya selalu karna normal, hahahah... Yang jelas, ia dan Fahri memang menonton film seperti tuh, namun tidak sampai kecanduan. "Udah lah Aswad, tobat kau. " Celetuk Adul yang tiba-tiba berada di samping Panji. "Dia nawarin laptop yang isinya anu kan?" Panji mengangguk mendengar ucapan Adul. Sedangkan Fahri sudah menjauh dari pak ustad Abdullah. "Nji, sehat terus yah. Nanti kalau sempet nyusul aja." "Iya, Dul. Nanti kalau sempat pasti nyusul langsung." Tak lama, semua kendaraan satu persatu pergi, yang tersisa hanya Panji sendiri, ada rasa sedih di hati Panji sebenarnya, ia tidak bisa mengikuti kegiatan kali ini, dan entah mengapa, rasa takut dan cemas langsung ia rasakan begitu teman-temannya berangkat. Ada sekitar 8 motor yang ikut menjadi rombongan pendakian ini, Ucok dan Fahri yang memimpin di depan, masing-masing motor membonceng rekan yang lainnya, terkecuali Ucok, yang memilih di motor sendiri. Karena ia yang paling banyak membawa perlengkapan. Namun di pertengahan jalan, tiba-tiba hujan datang mengguyur kota Medan. Mereka memutuskan untuk berhenti, dan berteduh di depan mini market. "Gimana, Bang? Hujan gini." Tanya Adul yang berjongkok di sebelah Fahri. "Tadi padahal gak mendung, kok bisa tiba-tiba hujan gini, malah deras lagi." "Mendung bukan berarti hujan, begitu pula sebaliknya, Aswad." Ucok memandangi langit, ia merasa damai melihat air hujan itu jatuh ke bumi, semerbak wangi tanah yang baru tertetesin air hujan menambah rasa tenang Ucok. Padahal tidak ada mendung, lalu mengapa hujan sangat deras seperti ini. Ponsel Fahri berbunyi, ia mengangkat panggilan yang ternyata dari Panji. "Halo, assalamualaikum, kenapa?" Terdengar suara grasak-grusuk di seberang sana. "Waalaikumsalam, kalian di mana?" "Masih di jalan Adam Malik." Panji terdiam sejenak. "Besok ajalah kalian perginya, gak tenang aku." Sahut Panji. "Akh, apalah kau ini? Udah kayak mamak ku aja." Balas Fahri yang merasa lucu melihat Panji. "Bukan gitu, Lek. Sumpah gak tenang aku. Besok aja perginya. Kalau gak gini aja, jangan lewat jalur itu, soalnya kita belum tau udah berapa orang yang lewat jalur itu." "Gak papa itu, Lek. Tenang aja," ucap Fahri dengan santainya. Panji hanya bisa pasrah, memang sulit meyakinkan seseorang yang sudah memiliki tekad yang kuat atas satu pilihan. "Ya udahlah, aku tutup yah, hati-hati kalian, assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Fahri menyimpan ponselnya di saku jaket yang ia pakai. Ia juga ikut merenungi ucapan Panji sebenarnya, mengenai jalur itu, terlalu berbahaya dan menantang, mereka semua tidak ada yang tau kondisi jalur bagaimana, apalagi cuaca seperti ini. Malah akan membuat bahaya bagi mahasiswa yang masih baru pertama kali ikut pendakian kali ini. "Bang, beneran kita mau pakai jalur itu?" Ucok melihat ke arah Fahri, ia mengernyitkan dahinya heran. "Kenapa emang?" "Gak bahaya bang, masalahnya kita gak tau gimana posisi Medan di sana, lagian banyak yang baru pertama kali nanjak dii sini." Ucok terdiam, sebenarnya mereka berangkat bukan atas nama mapala, karena tidak memilki ijin dari universitas, mereka melakukan kegiatan ini secara pribadi, kalau atas nama mapala, maka mereka tidak mungkin melewati jalur yang tidak resmi seperti ini. "Gimana yah, udah keputusan bersama kemarin itu, Kan. Lagian kita dari awal bukan atas nama mapala. Kita berangkat secara pribadi." "Jadi, gak bagusnya lewat jalur umum?" "Kita ikut aja sesuai hasil rapat kemarin. Biar gak rancu." Keputusan final dari Ucok. Membuat Fahri dan yang lainnya hanya bisa mengikuti perintah dari sang ketua. Setidaknya mereka sudah melakukan negoisasi kepada Ucok. Ketika dirasa sudah cukup reda, mereka melanjutkan lagi perjalanan yang masih jauh, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Selama itu mereka berteduh? Bisa-bisa sampai sana magrib ini mah. Posisi sudah berubah, Ucok membonceng Adul, sedangkan yang motor Adul di bawa oleh Andi. Beberapa jam kemudian, mereka sampai di kabupaten Karo. Mereka sampai di sana setelah melaksanakan sholat Dzuhur dan sholat ashar. Melalu jalur ini, mereka sampai di gundaling. Dan sebentar lagi sampai di pos lestari Sibayak. Yang merupakan pos pertama sebelum mendaki di Sibayak. Ucok beserta rombongan, beristirahat sejenak. Mereka duduk di sana sambil menunggu adzan magrib selesai. Ada banyak rombongan yang terlihat akan mendaki juga, wajar saja. Saat ini sedang memasuki libur semester, sehingga ada banyak yang melakukan agenda pendakian. Suara tawa menghiasi rombongan pendaki malam itu, ada sekitar 15 orang yang berada di post registrasi, semua masih menyiapkan mentalnya untuk menuju puncak Sibayak si raja gunung Sumatera Utara, rombongan itu dipimpin oleh Ucok kali ini, di mana terdiri dari 15 orang "Gimana, Bang? Aman gak jalur yang itu?" Tanya salah satu anggota yang bernama Rohman. Ucok tampak melihat ke atas, tepat jalur yang akan mereka hadapi nanti. " Amanlah kurasa, Man." Balas Ucok dengan yakin, setelah melakukan pencatatan atau registrasi, seluruh anggota kelompok akhirnya bergerak memulai pendakian, pada awalnya mereka mengikuti jalur umum yang digunakan, sampai pada saat Andi menunjukkan jalan jalur tikus itu, seperti jalur yang baru dibuka. Mereka menyusuri jalan terjal dan dengan pepohonan yang lebat, jalur yang sangat beda dengan jalur umum yang sering dilewati pendaki, akan tetapi hal ini sudah biasa mereka lakukan. Mencari tantangan baru serasa lebih seru, dan kalo ini jalur yang mereka gunakan merupakan jalur 'tikus' , jalur yang dibuat khusus untuk pendaki yang menyukai tantangan. "Aman kan, Bang?" Tanya Adul yang sedari tadi diam, posisi mereka saat ini Ucok berada di barisan ke dua, di belakang Andi sang penunjuk arah. "Aman, Dul. Dah tenang ajalah kau di situ, jangan goyang." Sontak rombongan itu langsung tertawa mendengar celetukan Ucok, Adul sendiri hanya tersenyum, entah mengapa keberangkatan mereka kali ini seolah memiliki banyak hal yang tidak enak. Tadi bahkan ketika mereka sampai di jalan gatot Subroto harus berhenti kembali karena ban motor Adul pecah, sehingga membutuhkan waktu yang sangat lama. Seperti banyak yang menghalangi mereka untuk berangkat. Selama perjalanan, masing-masing dari mereka memilih mengobrol, guna menghilangkan aura gelap dari cuaca yang sudah memasuki malam. Hutan lebat yang mereka lalui sekaan tidak menimbulkan kesan menakutkan bagi mereka, terlebih lagi Ucok terus saja melontarkan guyonan yang membuat suasana ramai, para rekan-rekannya juga terlihat menikmati jalanan yang memiliki medan tidak terduga, seperti beberapa bagian batu besar dan juga sungai yang deras terdengar sangat jelas. Tak ada dari mereka semua mengeluh capek, bahkan untuk pemula saja mereka malah terlihat enjoy dan menikmati, kecuali Adul yang tidak tenang, ia bahkan sangat tidak fokus sedari tadi ketika mereka sampai di pos lestari. Sepertinya apa yang mereka lakukan ini salah, jalur yang mereka tempuh juga salah. "Dul, kenapa kau? Kok gelisah gitu." Tanya Rahman yang kebetulan berada di belakang Adul. "Gak tau, Man. Kayak ada yang salah." "Perasaan kau aja itu, dah ayo lanjut." Setelah beberapa saat perjalanan, beberapa anggota terlihat sudah kelelehan, bahkan ada yang terlihat sangat lemas, menyikapi hal itu, Ucok memberikan pertolongan pertama, memang medan yang mereka lalui ini mengejutkan dirinya, apalagi yang masih pemula. Ada sedikit sesal dalam hati Ucok ketika membawa pemula melewati jalur terjal nya yang luar biasa. "Itu post dua gak?" Tanya Fahri yang melihat satu post tempat singgah pendaki, memang jalur yang mereka lalui ini akan sama-sama menuju post jalur umum, hanya saja untuk menuju antara post yang satu dengan post lainnya, melewati jalan yang berbeda dari jalur umum. "Berhenti dulu yah, istirahat sebentar, baru kita lanjutkan ke arah barat sana." Rombongan itu akhirnya memilih berhenti, keadaan post sangat sepi dan seperti tidak ada pendaki lain selain mereka, padahal di posko registrasi tadi, ada 5 orang pendaki yang bersama dengan mereka, meski melewati jalur yang berbeda, seharusnya pendaki itu sudah tiba di post ini. Namun melihat bungkus makanan yang tercecer, mungkin pendaki itu sudah sampai duluan. Berbeda dengan Ucok, Adul langsung bergegas mengangkat tasnya, berulang kali ia merasa aura tak enak di post 2, menguat Ucok dan rekan-rekannya memandang Adul dengan heran. "Kenapa kau, Dul?" "Gak ada, Bang. Dah lah, yok! Kita lanjutkan aja, keburu malam kali nanti kita sampainya. " "Ada gila-gilanya si Adul kurasa, dari tadi aneh dianya." Sahut Ucok dan disetujui oleh anggota lain. Adul tidak merasa tersinggung sama sekali, karena ia mengakui, bahwa malam ini tingkahnya jauh dari kata normal, ia merasa takut sendiri, bahkan jantungnya berdetak dengan cepat seperti orang yang dikejar-kejar. "Dah, ayo! Nangis pula nanti si Adul di sini," ucap Andi dengan nada jenakanya. " Hahahahahah.... Becanda yah, Dul. Jangan baper." Lanjut Andi yang melihat Adul masih terdiam dengan matanya yang menatap ke arah mana pun. Adul hanya tersenyum, lalu berjalan dan menunggu Fahri memimpin rombongan. selama perjalanan ini pula, Adul merasa sedang di awasi oleh banyak orang, bahkan Adul merasa tepat dibelakang nya, ada sosok yang melihat dirinya, sampai akhirnya, ia bahkan memilih mundur dan berada di posisi belakang, bersama Andi yang juga tengah mengawasi sekitar mereka. "Kenapa, Dul?" Tanya Andi bingung, pasalnya, Adul seharusnya berada di posisi 4, bukan di belakang. "Gak ada, Bang. Gak enak kali hawanya," sahut Adul pelan. "Gak enak kayak mana? Jangan nakut-nakuti kau ni." Andi yang semula merasa tidak yakin, semakin yakin ketika melihat Adul yang juga terlihat resah. Adul terdiam, ia tidak boleh membuat rombongannya panik, harus tetap tenang dan fokus kepada jalur yang mereka lewati, karena jika dirinya berbicara sekalipun tidak akan ada yang mendengarkannya. Beberapa kali mereka harus berjalan pelan karena melewati sungai dan bebatuan yang licin. Hingga terlihat Ucok yang duduk di batu sangat besar tampak kelelahan. "Kenapa, Bang?" Tanya Andi menghampiri Ucok. " Akh. Biasa lah, penyakit berumur ini, gampang kali capek." Sahut Ucok dengan tawa geli nya, ia melihat ke arah rombongan yang ia suruh tetap melanjutkan perjalanan, ia akan menyusul. "Duluan aja, nanti Abang nyusul." "Yakin, Bang?" Sahut Fahri. Pasalnya jika ia memilih membawa rombongan, yang ada Ucok akan tertinggal. "Yakin, duluan aja. " Pada akhirnya, Fahri membawa anggotanya untuk kembali melanjutkan perjalanan. Ucok melihat sekitar yang tampak gelap dan hutan di samping kanan kirinya. Lalu ia melihat ke arah Andi dan Adul yang masih berdiri di dekatnya. "Kalian gak lanjut? " Tanya Ucok. "Aku juga istirahat lah, Bang. Capek kali rasanya lewat jalur ini." Andi duduk tepat di bawah kaki Ucok, menyender ke batu besar yang menjadi tempat duduk ketuanya itu, Adul yang melihat itu pun memutuskan untuk ikut berhenti, ia berfikir mereka akan mudah nanti menyusul rekan-rekannya yang lain, toh perjalanan tidak terlalu jauh lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN