Bab 9 : Salah jalur

1511 Kata
"Loh, Dul. Ikut rehat?" Kaget Ucok. "Iya, Bang. Capek, kalau dipaksa nanti lain ceritanya." Ucok tertawa mendengar celetukan Adul, anak maba yang tergabung dalam kelompoknya dua tahun yang lalu. Pada saat itu Adul beserta Fahri merupakan rekan Anugrah yang di ajak mendaki Sibayak juga, dari ini lah mereka dekat, apalagi Adul dan Fahri memiliki sifat yang humble dan mudah berbaur. "Gini lah enaknya kalau jalur penuh tantangan, Dul. Lebih keren nampak." Sahut Ucok sambil tertawa, ia membuka botol minum miliknya, entah mengapa ia merasa sangat haus sekarang. "Hahahah... Iya, Bang. Tapi agak ngeri juga awak liat halamannya, " balas Adul dengan nada jenaka. Namun mata Adul melirik ke arah belakang Ucok, hutan lebat dan sama sekali tidak ada penerangan. Ia mengarahkan senternya ke arah situ, namun entah mengapa, ia seakan merasa ada hawa yang kurang mengenakkan di antara mereka. Sedangkan Ucok dan Andii mengangguk setuju. Jalanan jalur 'tikus' ini sangat tidak mulus, bahkan sangat mengerikan, samping kanan dan kiri kerang jurang. "iya, memang. Tapi seru kan?" "Seru sih, Bang. Tapi yah gitulah." Sahut Adul pelan, rasanya ia ingin kembali saja ke post dua menunggu rombongan pendaki lain. Setelahnya tidak ada lagi obrolan, mereka bertiga asyik dengan dunianya mengumpulkan tenaganya, Andi melihat ke samping kanan kiri, lalu menatap Adul yang juga sedang menatapnya dengan pandangan yang menyiratkan sesuatu. Hingga beberapa menit kemudian mereka memutuskan untuk menyusul rombongan yang menurut mereka belum terlalu jauh. Dan mereka masih bisa mendengar suara-suara orang yang sedang mengobrol. "Yok, lah. Mumpung orang si Fahri belum jauh, " ajak Ucok, ia melihat ke depan, senter rombongannya masih terlihat, dan suara percakapan masih terdengar. Ada kemungkinan rekan-rekannya juga sedang istirahat di atas, namun seakan terlupa, Ucok tidak menyadari, mengapa rekan-rekan nya beristirahat di atas, sedangkan post 2 ada? Adul dan Andi mengikuti langkah Ucok yang melewati semak-semak yang terlihat sudah dilewati pendaki lain, sepanjang jalan Adul tidak berani melihat ke kanan dan kiri, ia hanya fokus pada jalanan yang mereka lewati. "Mana orang itu? Kok suaranya Deket tapi gak ada orang?" Tanya Andi yang membyat tubuh Adul menegang dan jantungnya berdetak dengan cepat. Kenyataannya bahwa rombongan mereka entah berada di mana, membuat Adul tersadar akan satu hal, apakah mereka sudah benar melewati jalur ini? Pasalnya suara itu terlihat sangat dekat, namun jika mereka mulai mendekati asal suara itu, makan langsung terdengar jauh kembali, seolah-olah, mereka sedang kejar-kejaran dengan asal suara tersebut. Mereka terus menyusuri semak-semak, sambil mengikuti suara-suara rekan mereka yang kadang mengecil lalu membesar, sampai Andi sendiri merasa sangat kelelahan karena berjalan sudah sangat jauh. "Sebenarnya di mana orang itu, Bang? Kok gak bisa-bisa kita susul?" "Abang juga gak tau, Ndi. Padahal seharusnya kalau denger suara orang itu, posisi kita udah Deket. Kok gak nyampe-nyampe, secepat apa jalan mereka?" Ucok berhenti sejenak. Yang pada akhirnya mereka memutuskan untuk diam sejenak memulihkan tenaga yang sudah habis terkuras. Adul memilih berjongkok, sambil mata nya melihat ke sana ke mari. Tiba-tiba suasana pendakian tidak kondusif, cuaca berubah secara cepat, di mana suhu udara yang berubah menjadi lebih dingin, dan kabut putih yang perlahan menyelimuti jalur yang akan mereka ikuti, suara gemuruh angin menambah kesan menegangkan malam itu, jalur di depannya sama sekali tidak terlihat. Ucok kembali berdiri, mengajak ke dua rekannya untuk segera menyusul rombongan mereka, yang mungkin saja sudah sampai di post terakhir. "Yok, gerak lagi, mungkin mereka udah sampe post terakhir. Andi kau yang mimpin jalan yah,?" "Oke bang." Andi segera bangkit, menyusuri kembali semak-semak dengan bermodalkan senter kepala. Berharap lekas menemukan jalan pulang dan titik temu dengan rombongan. Bayang-bayang bahwa mereka tersesat membuat jantung Andi berdetak dengan keras, ia tidak pernah berada di situasi yang seperti ini sebelumnya, apalagi harus menyusuri hutan di kegelapan malam. Namun, sudah lebih dari 3 jam mereka menyusuri jalan setapak ini, namun tidak ada sama sekali tanda-tanda mereka akan sampai ke post terakhir. "Gimana, Ndi?" Tanya Ucok pelan, ia juga sudah sangat lelah sebenarnya. "Gak tau, Bang. Gak keliatan." Sahut Andi dengan nada lesu. "Bang, kok tambah dingin, yah?" Tanya Adul dengan mata yang masih menyesar ke sekeliling mereka. "Apa yang dingin, Dul? Lagian wajar lah, ini udah jam berapa? Kayak gak pernah naik gunung aja kau, Dul Dul." Sahut Andi yang malah menanggapi ucapan Adul dengan lelucon, Ucok sendiri hanya tertawa melihat aksi konyol Adul yang terlalu mengkhawatirkan sesuatu. "Bang, balek post 2 ajalah kita." Saran Adul kembali, entah mengapa, semua ini tidaklah benar ia rasa, ia sudah tidak ingin lagi melanjutkan perjalanan yang penuh kejanggalan ini. "Gila kau, Dul. Kalau balek kita mana bisa mendaki lah." Omell Andi yang tidak terima jika mereka kembali lagi ke post dua, yang benar saja, dirinya sudah berjalan sejauh ini, dan tiba-tiba kawannya yang paok itu meminta untuk kembali lagi? Lebih baik ia mendaki sendiri kalau seperti ini. "Yah, gak gitu, Bang. Kita balek post dua. baru lewat jalur umum aja." Ucok tampak berfikir sejenak, lalu suara gemuruh sungai terdengar, dan di depan mereka ada sungai dengan aliran deras namun tidak besar, mungkin karena suara sungai ini pula yang membuat mereka tidak mendengar suara rekannya lagi. "Kita diskusikan di seberang sungai aja, " ucap Ucok akhirnya. Adul awalnya tidak ingin menyebrang, seakan di seberang sana ada sesuatu yang tidak baik, ia sedikit merenung sejenak sambil melihat ke seberang sungai yang tampak gelap, dan tidak dapat melihat apa pun. "Gimana, Dul?" Tanya Andi begitu mendengar saran Ucok. "Di sini ajalah, Bang. Diskusinya. " Sahut Adul masih dengan menatap aliran sungai dan juga seberang sungai. Andi yang sudah geram pun akhirnya memilih duduk kembali serasa meredakan emosinya yang meningkat karena Adul. "Di sana aja, Dul. Lebih enak." Saran Ucok yang kembali memberikan saran. "Sini ajalah, Bang. Lagian gak ada bedanya." Adul tetap kekeh dengan keinginannya. Ucok merasa sangat kesal sekarang. "Terserah kau lah, Dul. Gak mau ikut yaudah, yuk, Ndi. Ke seberang." Sungut Ucok yang kesal, Andi terlihat sangat bingung, jika ia ikut Ucok, otomatis Adul akan sendirian, tapi jika ia tidak ikut Ucok, bagaimana masalah mereka akan selesai. "Dul, yok lah, kita diskusi di sana aja, nanti kalau udah selesai diskusinya, kita balik lagi ke seberang sini." Adul melihat ke arah sungai sambil menyenter nya, aliran yang deras, dan beberapa batu besar yang mungkin bisa menjadi pijakan mereka lewat nanti, belum sempat Adul memberikan tanggapan, Ucok sudah terlebih dahulu menyebrang dengan cepat, membuat Adul mau tidak mau harus ikut menyebrangi sungai tersebut. Ucok duduk di batu pinggir sungai, sedangkan Andi dan Adul memilih jongkok dan menatap sekeliling mereka yang gelap dan hanya ada pohon-pohon besar nan menjulang tinggi. "Lebat kali hutan sini kan, Bang? Beda sama hutan jalur pendakian biasanya, " celetuk Andi. "Iya, aku aja heran, kayak gak pernah dilalui pendaki. Padahal kata Fahri ini sering dilewati kan? Kau juga bilang gitu kemarin, " sahut Ucok. Sambil melihat sekeliling nya yang terdapat pohon-pohon besar. "Iya, Bang. Anak-anak MAPALA baru aja dari jalur ini, tapi orang itu gak bilang kalau hutannya begini, " balas Andi lagi. Ia juga merasa heran sebenarnya, kenapa jalur yang mereka lewati selama berjam-jam ini malah terlihat seperti hutan belantara yang jarang dimasuki orang. "Adul, kenapa diem aja kau? Gak kesambet kan?" Seketika tawa Andi menggelegar, disusul dengan suara tawa Ucok, mereka merasa sangat heran sebenarnya dengan Adul, yang sedari awal keberangkatan bertingkah aneh dan seperti orang linglung yang ketakutan. Adul hanya menggeleng menjawab tanya kedua rekannya lalu menatap hutan di depannya dengan pandangan teliti, seperti ada yang mengawasi dari sana, tapi entah siapa, ia bahkan dengan berani menyenteri semak-semak sebrang sana. "Kenapa kau, Dul? Diam-diam aja ku liat." Tanya Andi sekali lagi, Adul terlihat ingin mengucapkan sesuatu, namun terlihat sangat ragu. "Emm... Anu, Bang. Kayak ada anak kecil yang ngikutin kita dari post 2 tadi." Sontak hal ini membuat Andi dan Ucok tertawa ngakak, bahkan volume suaranya sangat keras mengisi keheningan hutan. "Ada-ada aja kau, Dul. Dari mana bisa ada anak kecil ke hutan sendirian, aneh kau ni. Kecuali itu bukan anak manusia, ya kan, Bang?" "Hahaha... Iya, Adul panik kali ya Allah, gak sudah panik, sering kok orang tersesat, yah besok bisa balik lagi, toh kita udah sering ke Sibayak ini. Jadi besok kalau udah terang, pasti kita hapal," ucap Ucok yang terlihat sangat tenang. Padahal aduk sendiri sudah kalut karena sadar mereka sudah sangat jauh dari posisi post penjagaan. Tak lama tubuh Adul terasa sangat dingin, ia menatap hutan itu sekali lagi, lalu tubuhnya terperanjat kaget dan langsung berdiri, mulutnya terkunci rapat, namun kedua matanya mengikuti dan menyesat ke seberang sungai itu, ia menatap hulu sungai yang terdengar seperti ada air terjun di sana. "Adul, serius gak kesurupan kau kan?" "Hahahah... Jangan lah, Dul. Gak ada yang bisa ngeruqyah di sini." "kau lah, Ndi. masa ngeruqyah pun gak bisa kau? dah kah, keluar aja dari fakultas agama Islam. malu-maluin. " Andi dan Ucok masih asyik becanda ria, tanpa mereka sadari, bagaimana keadaan dan situasi mereka saat ini, bahkan tawa mereka masih terus saling bersahut-sahutan dengan suara jangkrik dan gemercik suara daun dan ranting yang bergesekan. Adul tetap diam dan mengawasi keadaan sekitar. hingga ia mengambil tasnya dan bersiap untuk pergi. "Kita harus jalan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN