Bab 10 : Janggal

1485 Kata
Andi dan Ucok masih asyik becanda, tanpa mereka sadari, bagaimana keadaan dan situasi mereka saat ini, bahkan tawa mereka masih terus saling bersahut-sahutan dengan suara jangkrik dan gemercik suara daun dan ranting yang bergesekan. "Kita harus jalan." Adul langsung menggandeng tas nya dan hendak melangkah menjauh dari seberang sungai. Di sana, tepat di tepi sungai seberangnya, ia melihat sosok hitam melihat kearahnya. Mata Adul masih menyesar ke segara penjuru, asal tidak melihat ke arah tepat di seberang hadapan mereka. "Mau kemana Dul?" Tanya Andi begitu melihat Adul yang sudah menggandeng tas nya. "Bang, yok lah, lekas pergi kita, jangan di sini lagi." Sahut Adul dengan wajah penuh permohonan ke arah Ucok. Sedangkan Ucok dapat melihat adanya ketakutan yang besar dan kepanikan dalam diri adul. "Kenapa kau ini, Dul? Kok kayak orang ketakutan gitu." Belum sempat Adul menjawab pertanyaan Ucok, suara menggelegar memecah keheningan hutan di malam hari. "HAHAHAHAHA......" Suara menggelegar dan memenuhi seisi hutan itu membuat Ucok dan Andi langsung berdiri di samping Adul, tubuh mereka terlihat menegang, bahkan bulu kuduk mereka serempak berdiri merinding. , mereka bertiga berdiri sejajar menatap hutan di hadapannya dengan selidik mencari sumbernya, suara tawa itu masih terus terdengar bahkan semakin kuat dan mendekat. "Suara apa itu?" Tanya Ucok. "Gak tau, Bang. Ya allah merinding kali aku." Sahut Andi yang sudah meringkuk ketakutan di samping nya, jantung mereka berdetak dengan cepat. Adul masih mencari asal suara itu, meskipun ia tahu keadaan sudah tidak baik-baik saja sekarang. "AHAHAHHAHAH......." Lagi, suara itu lagi, Ucok langsung melihat ke sebrang sungai, berapa terkejutnya ia melihat sebrang sungai itu tidak ada jalan setapak yang mereka lewati tadi, bahkan sama sekali tidak terlihat seperti yang baru saja dilewati oleh mereka. Kabut putih semakin lama semakin tebal di sekitar mereka, bahkan udara yang tadi terlihat tenang, kini berubah menjadi lebih dingin dan mencekam. "Udah gak betul lagi ini, Dul. Pergi aja kita, " sahut Ucok yang sudah mulai merasa gelisah, sungguh! Keadaan kali ini sangat jauh dari ekspetasinya, ia bahkan tidak menyangka akan berada di situasi yang menyeramkan seperti ini. Adul langsung memimpin barisan, ia melangkah terlebih dahulu, menyusuri semak belukar dan hutan lebat dalam keadaan gelap dan hanya ada cahaya dari senter. Sepanjang jalan hanya ada doa memohon perlindungan kepada Tuhan. "Bang, udah salah jalan kayaknya kita, gak ada jalan," sontak ucapan Adul membuat keadaan semakin riweh, Andi menjadi panik, bahkan sudah gemetar ketakutan. "Kok bisa salah jalan kita, Bang? Padahal tadi kita ngikutin jalanan itu." "Gak tau ,Ndi. Kau liat sendiri tadi jalanan yang kita lewati, kan? Bukan semak-semak gini." "Diem dulu. Jangan panik, kita cari jalan keluarnya, paling tidak kita harus bisa keluar dari hutan ini dengan cepat." Adul mencoba membuat kedua rekannya tenang, Kedua rekannya itu mengangguk, lalu mulai berfikir bagaimana caranya keluar dari hutan di tengah malam seperti ini, bahkan mereka tidak tahu ini jam berapa? Masing-masing dari mereka tengah berfikir mencari jalan keluar. Suara itu masih terdengar, meski tidak sekeras tadi, rasanya sangat mustahil ada tawa manusia yang sekeras dan bergema seperti itu, mereka menerka-nerka barang kali ada petunjuk yang dapat membawa mereka keluar dari hutan belantara yang gelap gulita ini. "Gimana, Dul?" Tanya Ucok yang menatap Adul dengan pandangan panik dan juga berusaha tegar. "Gak tau, Bang. Kan dari tadi aku udah bilang kita balek aja ke post 2, setidaknya ada pendaki lain yang bisa nolong, kalau kayak gini gimana? Kita aja gak tau lagi ada di mana? Hutannya lebat kali gini," sungut Adul yang sudah terpancing emosi, padahal dirinya tadi sudah menyarankan untuk kembali ke post dua. Tapi kedua temannya ini malah ngotot tetap mengikuti jejak semak-semak yang sepertinya baru dilewati oleh orang. "Kok ngotot kau?" Balas Ucok yang merasa Adul menuduhnya dalang dari semua ini. Adul menghela nafas, emosinya sangat tidak terkendali sekarang. "Aku bukan ngotot, tapi emang kenyataannya kalian dua gak denger kan aku, malah asik ngikuti semak-semak sama suara itu. Kalian gak sadar sedari kita di post dua, kita itu udah di awasi, bahkan dari kita di post lestari." Andi terperanjat kaget mendengar ucapan Adul, sedikit penyesalan ada di hatinya, seharusnya mereka berdua mendengarkan ucapan Adul, bahkan sebelum berangkat tadi, seharusnya mereka menggunakan jalur umum saja, seharusnya mereka saling mendengarkan saran kawan. Dan banyak lagi kata seharusnya yang bercokol di pikiran Andi. "Siapa yang ngawasi, Dul?" Tanya Andi pelan, ia ikut melihat ke kanan dan kiri guna mencari apa yang di katakan oleh Adul. "Anak kecil, Bang. Dan di pinggir sungai tadi, kenapa aku berdiri tiba-tiba, ada sosok hitam besar yang ngeliatin kita di seberang." Ucok melihat ke arah Adul, ia sebenarnya juga merasa janggal begitu Samapi di pinggir sungai, sungai itu terlihat sangat deras namun pada faktanya begitu sampai di pinggir sebelah sana, air itu terlihat kecil. Mengapa sungai bisa mempunyai dua sisi yang berbeda? Hingga suara gemuruh yang sangat keras terdengar di telinga mereka bertiga, dengan serempak mereka melihat ke arah jalan yang menuju sungai, gemuruh itu semakin kuat bahkan semakin mendekat, seperti suara longsoran tebing. Ucok yang penasaran mencoba mendekat ke ara seberang sungai, sebelum dirinya sampai di seberang itu, Adul sudah menariknya dengan cepat, dan material lumpur, kayu besar bercampur menjadi satu dengan aliran sungai. Mereka menatap ngeri sungai yang tadinya deras, sekarang bertambah deras lagi dan sangat bergejolak. Batang-batang kayu dan batu besar terbawa arus sungai yang sedang banjir tersebut, tidak terbayang jika mereka masih bertahan tadi di batu yang bahkan tidak lagi terlihat sama sekali. "Banjir, Bang. Padahal gak ada hujan." Sahut Andi yang matanya masih menatap ke arah banjir dengan ngeri. "Biasanya itu, Ndi. Kadang di atas sana yang hujan." Sahut Ucok yang merasa beruntung sudah selamat dari kejadian naas ini. "Terus, gimana sekarang, Dul?" Tanya Andi melihat ke arah Adul yang masih terdiam membisu. "Aku ngikut kalian ajalah, Bang. Lagian kita juga gak bisa balik ke post 2, banjir besar gini." Andi dan Ucok mengangguk mengerti. Mereka kembali menyusuri semak-semak yang tadinya mereka lewati, sepanjang jalan itu pula, Adul tidak ingin melihat ke kanan dan kiri, ia hanya melihat ke arah depan dan bawah. Berbeda dengan Ucok yang asyik merekam perjalanan mereka dengan ponselnya sebagai kenang-kenangan katanya. Lalu tak lama, telinga mereka dapat dengan jelas mendengar suara yang sangat ramai, pada awalnya suara itu tidak jelas dan hanya saking bersahut-sahutan. Hingga tak lama kemudian, suara itu berubah menjadi jelas yang merupakan suara orang yang sedang tahlilan yang sangat ramai dan bergema, ketiganya saling menatap dengan bingung, apalagi ketika mereka menyadari jika di hutan sesepi ini, bagaimana bisa ada orang yang bertahlilan sekuat itu. "Laailahaillallah.... Laailahaillallah.... laailahaillallah." Suara itu terus saling bersahut-sahutan, bahkan semakin terasa dekat dengan posisi mereka. "Siapa itu tahlilan di hutan? Kurang kerjaan." Canda Andi, Ucok sendiri hanya terkekeh lalu mengeluarkan ponselnya untuk merekam kembali kegiatan yang menurutnya langkah itu. Adul merasakan hawanya sudah berubah, menjadi lebih mencekam dari yang tadi. Jantungnya berdegup kencang ketika mendengar suara itu semakin dekat, bahkan sosok yang mengikutinya terlihat pergi menjauh. "Laailahaillallah... Laailahaillallah... Laailahaillallah." Gema suaranya mampu membuat tubuh Adul bergetar takut, ia menatap ke arah Andi yang terlihat sangat antusias dengan fenomena ini, tidak sadarkah mereka bahwa semua ini terasa janggal, bagaimana bisa di hutan yang lebat ini ada penduduk? Atau memang di sebelah sana, tak jauh dari mereka ada pemukiman? "Bang, makin deket." Teriak Andi lagi, Adul langsung menunduk begitu mendengar teriakan Andi, berbeda dengan Ucok yang semakin bersemangat merekam, bahkan ia sudah stand by tepat di jalur yang mungkin akan dilewati oleh rombongan itu, layar ponselnya menampilkan latar belakang yang gelap, Sampai beberapa sosok berpakaian putih membawa keranda hadir di hadapan mereka, dengan suara tahlil yang bergema seakan ada ribuan orang yang mengucapkan, meskipun kenyataannya hanya ada sekitar 15 orang yang lewat di hadapan mereka. Rombongan itu terlihat melewati mereka dengan pelan, gema suaranya sungguh memekakkan telinga, namun Adul sama sekali tidak menoleh, ataupun melihat ke arah rombongan itu. Adul langsung menunduk, bahkan sudah menitihkan air mata dengan tubuh gemetar takut, Ucok semakin semangat mendekati rombongan itu lengkap dengan ponselnya yang menyala merekam. Ia bahkan dengan tidak sengaja menyentuh lengan sang pembawa keranda. "Anjir, keren gila uy. Jarang banget ada kayak gini di Medan kan, Bang?" Sahut Andi yang semangat ketika rombongan itu melintas di hadapannya. "Hooh, Ndi. Makanya ini wajib di abadikan, Adul mana? Masih di situ dia?" Tanya Ucok. Andi melihat ke arah Adul yang menunduk. " Dul, gak mau liat ini?" Adul hanya diam, ia tidak ingin menjawab apa pun yang ditanyakan oleh kedua rekannya, sampai rombongan itu terlihat sudah menjauhi Adul dan kawan-kawan, ia baru melihat ke arah Ucok, dan selepas rombongan itu pergi, menyisakan keheningan kembali, Ucok sendiri sudah menutup rekamannya dan kembali ke posisi awal di sebelah Adul. Adul mengikuti arah perginya pembawa keranda itu,dengan suara gema tahlil yang masih jelas terlihat, sosok itu sudah tidak nampak, bahkan di seberang sungai sekalipun, dan yang anehnya, keadaan sungai yang tadinya sedang banjir besar, berubah menjadi keadaan yang seperti tidak terjadi apa-apa. Dan yang menyadari hal ini hanya Adul sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN