1. SUDDENLY WED.
1. SUDDENLY WED.
Kaelan Bowen Adalah anak tunggal sekaligus calon pewaris perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi. Pria matang dengan segudang prestasi dan kekayaan yang digilai banyak wanita di kalangan sosialita. Selain wajahnya yang rupawan, dompet yang tebal, rekening yang selalu penuh Kaelan juga tidak pernah terjerat skandal dengan wanita mana pun. Yang artinya dia adalah pria baik-baik, suami-able, dan pekerja keras. Jika kalian menjadi istrinya, kalian tidak perlu khawatir tentang apa pun. Karena dia akan menjadi suami yang bisa memproteksi istrinya dari kejamnya dunia.
Tapi sialnya, dunia yang orang pikir indah itu sama sekali tidak ada. Karena semua dunia memang kejam. Termasuk dunia Kaelan sendiri.
"Papa rasa waktumu sudah habis,"
Kaelan mendengus. Ayahnya benar. Waktunya memang sudah habis. Kaelan harus merelakan perusahaan keluarganya jatuh ke tangan sepupunya.
Sepupunya yang tidak kompeten dan pecundang. "Ya," katanya singkat.
"Jika kamu benar-benar ingin menyelamatkan perusahaan kita, Papa punya ide yang cukup menarik."
"Oh, ya?" jika menyangkut perusahaan, entah kenapa Kaelan selalu tertarik. “Dan apa itu?”
Sang ayah tersenyum miring. “Nenekmu memberimu waktu satu tahun untuk mendapatkan calon istri yang sempurna, yang bisa kamu bawa ke rumah ini. Dan sampai sekarang kamu belum menemukannya-“
“Langsung saja!” Kaelan menyela ucapan ayahnya. Kesepakatan Kaelan dan neneknya memang membuatnya cukup kewalahan tapi bukan berarti dia tidak punya pilihan.
“Bagaimana jika Papa yang memilih jodoh untukmu? Papa bisa menjamin dia gadis baik-baik dan kamu tidak akan menyesal menikahinya.”
“Ap-“
“Nenek tidak akan mengubah keputusannya. Jika kamu tidak menikah bulan depan, maka dia akan menawarkan perusahaan pada sepupumu dan membuat syarat yang sama. Kalian bisa bersaing jika waktu yang kalian miliki setara. Sayangnya, kurasa waktumu sudah habis, Nak. Bulan depan adalah tenggatnya.”
Pernikahan. Kaelan benci satu kata itu tetapi dia terlalu mencintai perusahaan keluarganya.
Itulah Kaelan. Dia benci menikah karena terlalu mencintai pekerjaan. Jika dia terburu-buru mengambil keputusan untuk menikah, mungkin dia tidak lagi bisa bercinta dengan tumpukan dokumen dan pekerjaan. Bayangan itu justru membuatnya semakin ngeri.
“Apakah ini juga rencanamu sejak awal, Pa?”
Äyahnya menggeleng. “Tidak juga. Aku bahkan tidak berpikir untuk menimang cucu. Itu hidupmu. Kamu bebas melakukan apa pun yang kamu mau. Dan aku tidak mau ikut campur.”
“Lalu, kenapa tiba-tiba ingin menolongku?”
“Karena aku juga tidak mau perusahaan ini jatuh ke tangan sepupumu. Dia… tidak terlalu handal di bidang ini.”
“Payah?”
“Itu maksudku.”
“Jadi?”
Landon Keith Bowen menyandarkan kepalanya di kursi. “Dia tidak akan menolak pernikahan ini. Kamu hanya perlu bertemu dengannya, mendaftarkan pernikahan, melakukan pemberkatan, dan selesai. Kamu memiliki istri yang sempurna dan membawanya ke tempat tinggalmu.”
“Kami harus tinggal bersama?”
Landon mengangguk. “Nenekmu mengawasimu. Jika kalian tahu pernikahan ini hanya settingan. Dia akan berpikir dua kali untuk menyerahkan perusahaannya padamu. Dia pasti tidak suka ditipu oleh cucu kesayangannya.”
Keluarga Bowen hanya memiliki dua calon pewaris; Kaelan Levi Bowen dan Kenneth Lawrence Bowen. Kenneth adalah sepupunya, anak dari pamannya yang bernama Logan Kane Bowen. Mereka tidak pernah bersaing untuk apa pun tetapi kali ini Kaelan tidak ingin Kenneth menjadi pewaris perusahaan keluarga mereka. “Bagaimana jika gadis itu ternyata pemberontak?”
Landon melambaikan tangan ke udara. “Tidak akan. Sudah kubilang, dia tidak akan melakukan hal-hal semacam itu. Aku mengenalnya cukup baik.”
Huftt! “Baiklah. Kali ini aku akan menerima bantuan dari Papa. Pastikan dia tidak membuat masalah di hidupku yang sempurna ini.” Senyum Kaelan mengembang.
“Tenang saja,” Landon bangkit dari duduknya. “Kamu hanya perlu memastikan dia hidup dengam baik dan nyaman. Perlakukan dia dengan baik dan jangan sakiti dia.”
“Aku akan memberinya makan dan memastikan dia tidak kekurangan apa pun.”
“Bagus!” mereka berdua berjabat tangan. “Pegang kata-katamu, Nak.”
**
Chat Papa dan Kelara.
Papa: Nak…
Kelara: Ya, Pa?
Papa: Apa kabar?
Kelara: Baik, Pa. Papa gimana? Baik, kan?
Papa: Papa baik. Ngomong-ngomong, kapan kamu pulang? Papa pengen lihat kamu.
Kelara: Hmm… Kelara sibuk, Pa. Kelara bakal usahain pulang bulan ini, ya.
Papa: Okay. Jaga diri baik-baik, ya. Papa sayang Kelara.
Kelara: Papa juga jaga diri baik-baik, ya. Kalau kerjaan Kelara udah selesai semua, Kelara bakal langsung pulang. Maafin Kelara ya, Pa. Sampai sekarang Kelara masih belum bisa menemani Papa.
Papa: Iya… gak papa. Seperti yang selalu Papa katakan sebelumnya, kejarlah mimpimu dan terbanglah setinggi langit biru!
Kelara: Siap, Pa! Love you, My Hero!
Papa: I love you too, sweetheart.
Kelara: See you soon, Pa!
Papa: (emoticon love.)
Kelara meregangkan kedua tangan ke udara. “Selamat pagi, Duniaku yang indah!” ia bergumam sembari melihat langit-langit di kamar tidurnya yang masih gelap. “Jam berapa sekarang?” katanya lagi sambil menguap lebar. Kelara lupa kapan dia tidur semalam. Yang jelas, setelah pekerjaannya selesai, dia tidak langsung pulang karena harus menemani teman-temannya minum hingga dini hari.
Meski rasa kantuk masih menggelayut manja di kedua matanya, Kelara tetap memaksakan diri untuk bangun dari tempat tidur. Hari ini dia tidak harus bertemu dengan klien atau bekerja seperti biasanya. Kelara meletakkan ponselnya di nakas lalu berjalan pelan menuju toilet. Itu adalah salah satu rutinitas yang tidak bisa dilewatkan.
Ternyata waktu sudah menunjukkan pukul satu siang saat dia keluar dari toilet lima menit kemudian. Kelara kembali menguap lebar. Di sini tidak ada siapa pun yang memprotes jam tidurnya. Tidak ada siapa pun yang mengatur gaya hidupnya yang serampangan. Tiba-tiba terbesit di benaknya percakapan dengan sang ayah. “Kapan terakhir aku pulang?” gumamnya pada diri sendiri.
Mengabaikan rasa tidak nyaman yang mendadak muncul karena teringat dengan suasana rumah dan satu-satunya keluarga yang masih dia punya. Kelara melanjutkan aktifitas seperti biasanya. Dia bekerja sesuai jadwal, menjalankan bisnis, dan belajar tanpa kenal lelah. Hingga dua minggu kemudian, Kelara mendapat kabar ayahnya masuk rumah sakit. Beruntung, dia mengambil cuti panjang dan menyelesaikan semua pekerjaannya sesuai kontrak. Sehingga dia bisa pulang hanya sehari setelah kabar itu tiba.
Tiga hari kemudian, setelah tiba di rumah sakit. Kelara terpaksa harus bertemu dengan laki-laki yang akan menjadi calon suaminya. Di detik-detik terakhir hidup Sang ayah, beliau ingin Kelara menikah dengan pria pilihannya. Kali ini Kelara tidak bisa mengelak. Dia tidak bisa menolak pemintaan ayahnya.
“Kaelan…”
“Kelara…” Kelara menjabat tangan dingin pria itu dengan perasaan kalut. Ayahnya sedang kritis dan dia harus bertemu dengan calon suami yang bahkan tidak dikenalnya. Dia terus menunduk, enggan memperhatikan pria itu. satu-satunya yang dia pikirkan saat ini adalah kabur sejauh mungkin dan menghindari perjodohan itu. Tapi bagaimana dengan permintaan terakhir ayahnya?
"Saya tahu kamu terpaksa melakukan ini. Demi menghormati persahabatan keluarga kita, saya harap kamu dengan besar hati menerima perjodohan ini."
"Baik, Pak."
Kelara memperbaiki posisi kacamatanya. Sejak tadi dia hanya menunduk, enggan melihat calon suami yang dipilih oleh ayahnya.
"Jika kamu tidak keberatan, mari kita buat kontrak pernikahan. Kontrak ini akan berakhir dalam satu tahun. Saya rasa itu cukup untuk meyakinkan orangtua kita kalau kita tidak bisa bersama."
Kali ini Kelara mengangkat kepalanya sedikit. Kontrak? Tidak, dia sama sekali tidak butuh itu. Jika memang itu yang calon suaminya inginkan, maka dia akan pergi setelah satu tahun pernikahan mereka.
"Saya rasa, kita tidak membutuhkan kontrak itu, Pak. Setahun setelah pernikahan, saya akan meninggalkan Bapak sesuai keinginan Bapak."