Zombies, 01

1676 Kata
Satu minggu kemudian ....  Pria itu sejak tadi terus mengulas senyum sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Wajah yang tampan dengan rambut yang sudah disisir rapi. Mengenakan jas putih yang terlihat menambah pesonanya. Dia mengangguk-anggukan kepala karena puas melihat penampilannya di hari yang paling penting dan spesial dalam hidupnya.  Evander Damaresh nama pria itu. Dia seorang atlet sepakbola profesional yang sudah lima tahun membela timnya dalam setiap pertandingan yang diikuti. Terhitung sudah hampir 200 goal yang dia cetak dan berkat permainannya yang apik, dia sudah memberi 12 gelar kemenangan untuk timnya. Dia merupakan pemain bintang yang sangat terkenal di Atlanta City. Penggemarnya sudah tak perlu dipertanyakan lagi, ada dari berbagai golongan. Sehingga tak heran acara pernikahannya yang akan dilangsungkan sebentar lagi menjadi acara pernikahan paling meriah di kota tersebut.  Atlanta City merupakan kota indah yang sangat modern. Banyak tempat wisata yang sering dikunjungi turis mancanegara karena kota itu memiliki pantai yang sangat indah. Berbagai kuliner yang lezat serta jembatan romantis yang biasa dijadikan pasangan pengantin mengambil foto bersama saat memilih berbulan madu di kota tersebut.  “Kak Evan seperti orang tidak waras, senyum-senyum sendiri terus  aku perhatikan sejak tadi.”  Evander tersentak saat tiba-tiba mendengar suara dari arah belakang, dari pintu yang entah sejak kapan terbuka, dan karena sedang melamun membayangkan calon istrinya yang pasti sangat cantik hari ini, dia sampai tidak menyadari kedatangan keluarganya.  Ada ibu dan ayahnya di sana yang sedang tertawa melihat tingkah konyolnya yang terus mengulas senyum lebar sambil memandangi pantulan diri sendiri di cermin. Ada tiga kakak perempuannya yang juga sedang menertawakannya. Serta adik bungsunya yang sangat blak-blakan karena mengejeknya sudah tidak waras. Adik laki-laki semata wayangnya yang kini duduk di bangku sekolah dasar.  “Ck, kalian kenapa ke sini?” tanya Evander, kesal melihat kesenangannya terganggu oleh kedatangan orang-orang yang paling dekat dan penting dalam hidupnya itu.  “Kami ingin melihatmu sebelum pergi ke altar pernikahan. Ternyata kau sudah sangat siap, ya, untuk menikah hari ini?” “Tentu saja, Ayah. Ini memang hari yang selalu aku nantikan.” “Iya, kau sudah tidak sabar menikah sampai memaksa menikah hari ini walau kondisi kota sedang tidak kondusif,” sahut kakak tertua Evander.  Evander mengernyitkan dahi. “Tidak kondusif bagaimana, Kak?” “Kita dilarang keluar dari kota, apalagi mendekati daerah gurun pasir di bagian utara Atlanta City. Tidak tahu ada apa di sana, tapi penduduk Atlanta City sedang panik sekarang.” Kakak ketiga Evander ikut menimpali.  “Huh, memang apa urusannya dengan pernikahanku? Toh, acara pernikahan dilangsungkan di pusat kota, bukan di daerah bagian utara Atlanta City yang sedang dilarang didatangi itu,” balas Evander, tak ingin ambil pusing.  “Iya, iya. Makanya itu kami ke sini. Ingin menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat padamu. Akhirnya kau menikah juga dengan cinta pertamamu itu, Cagali.”  Evander tersenyum lebar mendengar ucapan sang kakak kedua karena memang benar hari ini akhirnya dia bisa menikahi wanita yang sejak kecil menjadi sahabatnya, dan entah sejak kapan persahabatan itu berubah menjadi cinta. Setelah menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih hampir selama 8 tahun, akhirnya kini mereka meresmikan hubungan asmara mereka dengan ikatan pernikahan.  Ketiga kakak perempuannya berjalan menghampiri dan memeluk Evander. Disusul orang tuanya yang ikut memeluknya, memberikan selamat padanya di hari paling spesial ini.  “Kak Evan walau sudah menikah nanti harus sering pulang ke rumah, ya? Kakak sudah janji mau melatihku menjadi pemain sepakbola hebat seperti Kakak.”  Evander berdecak seraya mengusap-usap puncak kepala adiknya yang begitu terobsesi ingin menjadi atlet sepakbola sepertinya jika sudah dewasa nanti. “Iya, iya. Jangan khawatir. Kakak akan tetap melatihmu walau sudah menikah.”  Anak laki-laki berusia 10 tahun itu pun kini bertepuk tangan dengan riang untuk mengungkapkan rasa senang yang dia rasakan.  “Ya sudah, kami keluar dulu. Acaranya sebentar lagi dimulai.” “Iya, Bu. Doakan semuanya lancar, ya,” balas Evander. “Tentu saja. Ibu, ayah dan semua saudaramu akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu, Evan. Karena itu, jangan menyerah dalam kondisi apa pun, ya. Kau ini anak yang kuat dan tegar. Kau anak kebanggaan keluarga kita.”  Evander tertegun merasa heran karena sang ibu berkata demikian, seolah sedang menasihatinya, padahal dia hanya meminta didoakan agar acara pernikahannya berjalan dengan lancar dan sukses. Tak ingin ambil pusing mendengar ucapan sang ibu yang begitu mengusik hatinya, Evander hanya menatap dalam diam punggung keluarganya yang kini berjalan menjauh hingga hilang di balik pintu.   ***   Tak terhitung sudah berapa kali Evander mengembuskan napas lega karena upacara pernikahannya baru saja selesai dengan lancar dan sukses. Kini sosok wanita yang berdiri di sampingnya yang tampak cantik dengan gaun pengantin yang membalut tubuh indahnya, telah resmi menjadi istrinya.  “Kenapa kau senyum-senyum terus sambil menatap wajahku sejak tadi? Jangan bilang kau terpesona oleh kecantikanku?”  Evander terkekeh, wanita di sampingnya itu, Cagali Edilma, selalu menjadi orang yang paling memahami dirinya. Hingga tanpa perlu repot-repot menjelaskan, wanita itu sudah bisa menebak isi kepalanya. “Ya, kira-kira begitulah. Kau cantik sekali hari ini. Aku juga senang karena kau sudah resmi menjadi istriku.”  Cagali mengulas senyum tipis. “Ya, akhirnya kita menikah. Aku harap kita akan selalu bersama setelah ini. Tidak akan ada yang memisahkan kita.” Evander tertawa mendengar ucapan sang istri. “Memangnya siapa yang akan memisahkan kita?”  “Kami yang akan memisahkan kalian.”  Evander dan Cagali terenyak kaget ketika tiba-tiba ada yang menyambar pembicaraan mereka dari arah belakang. Begitu berbalik badan, ternyata sepasang pria dan wanita paruh baya yang sudah berdiri di hadapan mereka. Tidak lain merupakan ayah dan ibu mertua Evander.  “Kalau kau menyakiti Cagali dan tidak bisa memberikan kebahagiaan padanya, kami yang akan memisahkan kalian.”  Evander terkekeh sambil menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. “Ayah dan Ibu bisa saja. Jangan khawatir, aku akan melakukan apa pun untuk membuat Cagali bahagia.” “Janji, ya? Awas, jangan sampai kau tergoda wanita lain dan berselingkuh di belakang Cagali seperti atlet-atlet sepakbola lain yang belakangan ini gencar diberitakan di televisi.” “Ibu,” tegur Cagali yang merasa perkataan ibunya sudah keterlaluan. “Maaf, maaf. Bukan Ibu meragukan kesetiaan suamimu, hanya saja memastikan dia tidak akan menyakitimu di kemudian hari.” “Ibu, jangan khawatir. Bunuh saja aku jika sampai berani selingkuh di belakang Cagali,” sahut Evander lantang. “Justru aku yang takut Cagali terpikat pria lain jika aku sedang tidak ada bersamanya karena sibuk mengikuti pertandingan, Bu.” Evander meringis saat pinggangnya dicubit sang istri yang tak suka dia berkata demikian tentangnya.  Melihat tingkah laku pasangan pengantin baru itu, ibu dan ayah Cagali hanya tertawa.  “Kami harap kalian akan secepatnya memberikan cucu untuk kami. Oh, ya. Evan, kalau kau sudah bosan bermain sepakbola, bantu Ayah saja di perusahaan, ya. Kau kan tahu Cagali itu tidak punya saudara, jadi kelak kau yang akan menggantikan Ayah mengurus perusahaan keluarga kami.”  Evander tersenyum canggung, walau sudah tahu sejak awal kelak dia akan menggantikan sang ayah mertua memimpin perusahaan, tetap saja dia gugup jika pembahasan ini sudah muncul ke permukaan.  “Baik, Ayah. Aku akan berusaha sebaik mungkin.” “Hah, kami beruntung memiliki menantu yang sangat baik dan bisa diandalkan sepertimu.”  Evander menggelengkan kepala. “Sebaliknya, akulah yang bersyukur memiliki mertua seperti kalian yang sangat baik dan selalu menganggapku seperti putra kalian sendiri.”  Ya, Evander tidak berbohong, dia begitu bersyukur karena dikelilingi banyak orang yang begitu menyayanginya. Memiliki ayah dan ibu yang selalu memberinya banyak cinta. Empat saudara yang serasa menghabiskan suka dan duka bersamanya selama ini. Memiliki ayah dan ibu mertua yang tidak segan-segan menganggapnya sebagai anak sendiri. Serta kini hidupnya terasa sempurna dan lengkap karena sudah ada sosok istri yang sangat dia cintai di sampingnya.  Suasana pesta pernikahan yang begitu meriah dan hangat itu seketika berubah panik ketika tiba-tiba ada seorang tamu undangan yang berlari memasuki ruangan pesta dari luar dan berteriak seperti sedang ketakutan.  “Tolong! Tolong!” teriak tamu berjenis pria itu, yang sukses menarik atensi semua tamu undangan di ruangan tersebut.  Belum sempat mereka menanyakan penyebab tamu itu berteriak meminta tolong, suasana semakin kacau ketika tiba-tiba saja beberapa orang dari luar berlarian ke dalam. Orang-orang dengan penampilan yang sangat menyeramkan, lebih pantas disebut monster alih-alih manusia normal. Terlebih mereka menyerang satu demi satu tamu undangan, menggigit mereka seolah dagingnya akan disantap oleh orang-orang itu.  Semua orang berlarian mencoba menyelamatkan diri, begitupun dengan Evander yang kini memegang tangan istrinya untuk menyelamatkan diri dari orang-orang aneh yang tiba-tiba saja menerobos masuk ke pestanya dan membuat kekacauan seperti ini.  Namun, saat melihat kondisi di luar gedung yang dia jadikan tempat pernikahan, Evander hanya bisa tercengang melihat sekeliling gedung itu sudah dikepung oleh orang-orang aneh layaknya monster tadi sehingga kini semua orang yang terjebak di dalam gedung, tak bisa melarikan diri.  Sedetik kemudian yang terjadi adalah tempat itu berubah menjadi lautan darah. Tak ada yang mampu melarikan diri dari terkaman orang-orang aneh yang lebih pantas disebut zombie itu. Suara teriakan terdengar saling bersahut-sahutan begitu para tamu berhasil tertangkap, tubuh mereka digigit dan dikoyak oleh para monster canibal.  Evander bahkan tak bisa melakukan tindakan berarti saat dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan satu demi satu keluarganya menjadi santapan para zombie. Ibu, ayah, dan keempat saudaranya berontak meminta pertolongan saat mereka tertangkap dan dikerumuni para zombie hingga akhirnya mereka meregang nyawa. Begitupun saat mertuanya dikerumuni para zombie, Evander hanya bisa mengabaikan dan memilih membawa sang istri terus melarikan diri.  “Ayah! Ibu!”  Walaupun teriakan Cagali yang terus memanggil orang tuanya terdengar jelas, Evander tak menggubrisnya. Yang ada di pikiran Evander sekarang hanyalah menyelamatkan nyawanya dan sang istri karena menyelamatkan anggota keluarganya yang lain dan juga mertuanya sudah tak mungkin lagi bisa dia lakukan. Semuanya sudah terlambat.  Namun, harapannya untuk bisa melarikan diri bersama sang istri rupanya hanya angan-angan belaka saat mereka berdua pun akhirnya tertangkap.  “Cagaliiiii!!”  Evander hanya mampu berteriak saat beberapa zombie menarik tubuh istrinya sehingga pegangan tangan mereka terlepas. Lalu teriakan sang istri yang meminta pertolongannya, perlahan tak lagi dia dengar begitu tubuh Cagali sudah dikerumuni para zombie. Disusul tubuh Evander yang juga dikerumuni para zombie, pria malang itu hanya bisa meneriakkan rasa sakit saat salah satu kaki dan tangannya kini mulai digigit oleh sekitar empat zombie yang berhasil menangkapnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN