Zombies, 02

1300 Kata
Evander tak mengingat apa pun, hanya saja saat membuka mata yang dia rasakan adalah kedua matanya yang silau akibat terkena sinar dari lampu yang berada tepat di atas kepalanya, refleks dia pun memejamkan mata.  Namun, dengan gerakan perlahan dia kembali membuka mata saat indera penglihatannya sudah mulai terbiasa dengan cahaya tersebut. Evander lantas menggulirkan bola mata menatap sekeliling, tempatnya berada kini … entahlah, dia sendiri tak tahu di mana dirinya sedang berada. Mungkinkah dia berada di sebuah ruangan di rumah sakit karena dekorasi ruangan itu memang mirip dengan ruang inap rumah sakit? Tetapi ada sesuatu yang aneh disadari Evander, ruangan tempatnya berada dikelilingi oleh dinding kaca di mana tepat di depannya terlihat ada beberapa komputer diletakkan di sana. Dia tidak bisa melihat dengan jelas apakah ada orang yang tengah duduk di depan-depan komputer itu karena posisinya yang sedang berbaringg di ranjang membuat Evander tidak bisa melihat dengan jelas pemandangan di depannya.  Evander pun mencoba untuk bangun dari posisi berbaring, dan saat itulah dia merasakan keanehan yang lain, kali ini keanehan yang terjadi pada tubuhnya. Ada beberapa bagian tubuhnya yang terasa berat untuk digerakkan yaitu tangan kiri dan kaki kanannya.  “Kenapa tangan kiriku rasanya berat sekali?” gumam Evander pada dirinya sendiri, dia lantas memeriksa lengannya yang tertutupi pakaian tangan panjang yang tampak kebesaran karena bagian lengan sampai menutupi sampai telapak tangan. Dengan menggunakan tangan kanannya yang terasa normal, Evander pun menggulung lengan pakaiannya yang panjang sehingga kini terlihatlah kondisi lengan kirinya yang aneh tersebut. Detik itu juga kedua mata Evander melebar sempurna, terkejut bukan main melihat kondisi tangan kirinya sekarang yang tak lagi normal. Tangan itu kini ibarat mesin, jelas-jelas tangan buatan yang terbuat dari titanium itu membuat tangan kirinya terlihat seperti robot android yang sama persis menyerupai tangan asli. Bahkan meski terasa berat tapi dengan gerakan perlahan Evander bisa menggerakkan tangan itu serta bisa menggerakkan jari-jarinya.  “K-kenapa tanganku jadi begini?” tanya Evander pada dirinya sendiri, tapi tentu saja tak ada yang bisa memberikan jawaban karena di ruangan itu hanya ada dirinya seorang.  Evander tersentak saat kini dia mencurigai sesuatu. Dengan gerakan cepat, dia menyingkap selimut yang menutupi bagian bawah tubuhnya, dan untuk kedua kalinya dia terbelalak karena kondisi kaki kanannya pun tak jauh berbeda dengan tangan kirinya.  “Tanganku … kakiku … kenapa jadi begini?!” pekik Evander, sangat histeris karena dia tak terima dengan kondisi tubuhnya sekarang padahal saat dia belum ada di ruangan itu kondisi tangan dan kakinya masih normal-normal saja.  “Apa yang terjadi padaku sampai jadi seperti ini?”  Evander menundukkan kepala, berusaha mengingat-ingat lagi kejadian apa yang telah menimpanya sampai bisa terdampar di ruangan misterius dengan kondisi di mana dia merasa bukan lagi dirinya yang dulu. Tangan dan kakinya sudah cacaat, dia bukan lagi manusia normal karena tangan dan kakinya bahkan hanya buatan.  Evander terdiam mencoba mengingat-ingat lagi peristiwa yang sudah dialaminya hingga dia pun kini kembali teringat.  Hari itu tidak salah lagi merupakan hari yang seharusnya menjadi yang paling spesial, penting dan bersejarah untuknya. Hidup bersama wanita yang dia cintai, wanita yang telah menjalin hubungan asmara dengannya dalam waktu yang terbilang lama akhirnya bisa melangkah ke jenjang yang lebih serius  Di hari itu bukan hanya dirinya yang bahagia, tapi Evander ingat keluarganya pun ikut berbahagia bersamanya. Bagaimana ayah, ibu dan saudara-saudaranya mengucapkan selamat untuknya, Evander tak akan pernah melupakan momen yang berkesan itu. Bahkan di hari itu pula sang ayah mertua berniat mempercayainya untuk meneruskan bisnis keluarga.  Ya, hari pernikahan yang seharusnya menjadi hari yang paling membahagiakan baginya justru berubah menjadi hari paling buruk dalam hidup Evander.  Masih melekat kuat di ingatan Evander bagaimana suasana khidmat upacara pernikahannya menjadi kacau balau tatkala semua orang berteriak meminta tolong lantas segerombolan manusia aneh dan gila berlarian masuk dan memburu semua tamu undangan.  Evander syok bukan main saat dia mengingat manusia-manusia brutal layaknya hewan buas itu bukan hanya memangsa seluruh tamu undangan pada pesta pernikahannya, melainkan juga menjadikan seluruh anggota keluarganya ikut menjadi korban.  “Ayah, ibu,” gumam Evander dengan kedua mata yang berkaca-kaca saat dia mengingat dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan orang tuanya diserang lantas digigit oleh manusia-manusia brutal layaknya cannibal itu. Bukan hanya orang tuanya, bahkan teriakan demi teriakan saudara-saudaranya yang berusaha menyelamatkan diri dan meminta pertolongan pun masih diingat Evander dengan jelas. Namun, dia hanya bisa mematung di tempat tanpa bisa menyelamatkan satu pun dari anggota keluarganya, untuk pertama kalinya dalam hidup Evander merasa dia manusia yang tidak berguna.  Bukan hanya itu kengerian yang dialami Evander, dia bahkan menyaksikan bagaimana ibu dan ayah mertuanya ikut menjadi korban kebiadaban cannibal-canibal berwujud manusia itu, hingga puncaknya Cagali, satu-satunya wanita yang Evander cintai sekaligus wanita yang telah resmi menjadi istrinya hari itu pun ikut menjadi salah satu korban.  Evander menatap kedua tangannya sendiri karena tiba-tiba teringat dan seolah bisa merasakan saat genggaman tangannya pada tangan Cagali terlepas karena tubuh sang istri ditarik oleh cannibal-canibal itu. Lalu yang terjadi setelah itu ….  “Tidaak! Cagaliii!” teriak Evander tanpa sadar saat mengingat apa yang telah menimpa istrinya. Ketika wanita itu meronta dan terus meneriakkan namanya karena meminta pertolongan tapi dia tak berdaya untuk menolong sang istri, Evander tak mungkin melupakan momen itu sampai kapan pun.  Dia gagal menyelamatkan istrinya karena Cagali yang malang ikut menjadi salah satu korban, dia dikerubungi dan Evander ingat betul bagaimana tubuh Cagali digigit di sana-sini oleh makhluk-makhluk buas itu. Seketika air mata Evander yang sejak tadi menggenang di pelupuk mata pun berjatuhan membanjiri wajahnya.  “Cagali. Tidak, dia pasti masih hidup. Ya, jika aku saja masih hidup, dia juga pasti masih hidup. Ibuku, ayahku dan saudara-saudaraku … mereka juga pasti ada di tempat ini. Aku harus mencari mereka.”  Meyakini hal tersebut bahwa dia yang sempat dikerubungi dan digigit oleh makhluk-makhluk itu saja masih hidup sampai sekarang, Evader yakin istri dan keluarganya pun pasti berhasil diselamatkan.  Tanpa pikir panjang Evander turun dari ranjang, mengabaikan kaki kanannya yang terasa berat, dia tetap memaksakan diri untuk turun dari ranjang.  Namun, kaki kanannya yang hanya buatan itu rupanya belum terbiasa menahan berat tubuhnya sehingga Evander pun jatuh menelungkup di lantai yang keras dengan d**a yang mendarat terlebih dahulu.  Kendati demikian, Evander tak mau menyerah begitu saja. Dia merangkak mendekati pintu. Merangkak sedikit demi sedikit hingga akhirnya dia berhasil berpegangan pada kenop pintu. Meskipun dengan susah payah Evander berhasil kembali berdiri, dia memutar kenop pintu tanpa ragu dan beruntung pintu tersebut tidak dalam kondisi terkunci. Evander kini sudah berada di luar ruangan.  “Di mana ini?”  Wajar jika Evander bertanya-tanya pada dirinya sendiri karena tempat di mana dirinya berdiri sekarang sangat berbeda dengan rumah sakit pada umumnya, tempat itu sangat sepi dan dinding dikelilingi baja yang keras. Jalan yang harus ditelusuri Evander tak ubahnya seperti terowongan di mana semua dinding bahkan atapnya pun seperti terbuat dari baja berkualitas terbaik hingga peluru sekalipun sepertinya tidak bisa menembusnya.  Meskpun heran dengan kondisi di sekelilingnya, Evander tetap berjalan tertatih-tatih sambil berpegangan pada dinding, dia harus mencari istri dan keluarganya yang dia yakini ada di salah satu ruangan di tempat itu.  Langkah demi langkah membawa Evander semakin dalam memasuki terowongan itu hingga akhirnya dia tiba di ujung terowongan. Namun, pemandangan yang dia lihat kini jauh dari apa yang dia bayangkan karena bukan orang-orang mengenakan pakaian medis layaknya di rumah sakit yang dia lihat sekarang, melainkan pemandangan di depan sana menunjukkan sebuah lapangan besar di mana banyak pria mengenakan seragam militer sedang berbaris seraya memegang senapan laras panjang di tangan.  “Sial! Tempat apa ini?”  Tak ada yang memberikan jawaban pada Evander, sehingga pria malang itu hanya bisa berdiri dalam diam saat tatapannya tanpa sengaja tertuju pada sebuah bangunan megah di dekat lapangan di mana di bagian atas tertera deretan huruf yang membentuk kata ‘AEGIS’. Detik itu juga Evander menyadari bahwa tidak seharusnya dia ada di tempat ini dan lagi kenapa bisa dia ada di tempat ini? Pertanyaan itulah yang kini menari-nari dalam benaknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN