Zombies, 03

1774 Kata
Evander masih mematung di tempat tatkala tatapannya tertuju ke depan, ke arah pasukan yang sedang mendengarkan arahan dari seorang pria yang berdiri di depan, sepertinya pria itu merupakan pemimpin mereka. Melihat senjata laras panjang ada di tangan mereka, pemandangan yang Evander lihat ini tak ubahnya seperti persiapan untuk berperang. Apalagi ada mobil-mobil besar yang tengah terparkir seolah menantikan dikendarai oleh pasukan militer semakin membuat Evander yakin bahwa pasukan militer di depannya itu memang sedang bersiap untuk melakukan perang.  Namun, berperang dengan siapa? Dan Aegis … sungguh Evander merasa asing dengan nama badan militer itu. Siapa sebenarnya mereka dan kenapa dia bisa terdampar di tempat ini? Evander tak tahu siapa gerangan yang bisa membantunya menemukan jawaban.  Tak ingin ambil pusing dengan kejadian itu karena yang Evander inginkan sekarang hanyalah mencari keberadaan istri dan keluarganya yang kemungkinan ada di tempat itu sepertinya, Evander pun memilih pergi.  Masih seperti tadi, dia berjalan tertatih-tatih sambil berpegangan pada dinding yang terbuat dari baja keras.  “Mereka pasti ada di salah satu ruangan di tempat ini. Ya, mereka pasti ada di sini.”  Evander terus bergumam demikian, meyakinkan dirinya sendiri bahwa istri dan keluarganya selamat dan baik-baik saja seperti dirinya.  Langkah Evander terhenti saat dia tiba di depan sebuah pintu, tanpa ragu dia pun membukanya. Namun, sayang seribu sayang karena pintu dalam kondisi terkunci. “Ck, kenapa pintunya terkunci? Ada apa sebenarnya di dalam ruangan ini?” Tentu saja Evander penasaran bukan main. Mungkin alasan pintu itu terkunci karena di dalam ruangan ada sesuatu yang penting sehingga tak sembarangan orang bisa masuk ke dalam. Andai saja ruangan itu memiliki jendela, tentu saja Evander bisa mengintip untuk melihat keadaan di dalam ruangan. Sayangnya ruangan itu tak memiliki jendela selain pintu dan dinding yang terbuat dari baja yang mengelilinginya.  Evander mengembuskan napas pelan, dia tahu tak ada gunanya berlama-lama di depan ruangan tersebut sehingga dia pun melanjutkan langkahnya yang tertunda.  Langkah demi langkah membuatnya semakin dalam menelusuri tempat misterius itu, hingga dia pun kini kembali tiba di depan sebuah ruangan.  “Semoga kali ini pintunya tidak terkunci,” gumamnya dan dia pun memberanikan diri memegang kenop pintu. Kedua matanya refleks terpejam saat akan memutar kenop dan saat pintu berhasil dia buka karena ternyata daun pintu dalam kondisi tidak terkunci, Evander lega bukan main. Dia pun bergegas membukanya dan melihat kondisi di dalam.  Hembusan napas pelan kembali meluncur dari mulutnya karena kekecewaan kembali dirasakan Evander. Bukan ruangann pasien yang dia masuki tapi ternyata itu sebuah perpustakaan. Ya, Evander yakin dia baru saja memasuki ruang perpustakaan jika dilihat dari banyak rak buku di sana. Rak di mana di dalamnya penuh dengan buku yang berjejer rapi.  “Sial, ternyata ini bukan ruang pasien. Aku harus mencarinya lagi.”  Evander memang bukan tipe orang yang mudah menyerah dalam hal apa pun, karena itu kali ini pun dia tak akan berhenti mencari sampai berhasil menemukan ruangan di mana istri dan keluarganya berada.  Keringat sebiji jagung mulai bercucuran dari pelipis dan membanjiri wajahnya. Begitu pun dengan tubuhnya, sudah basah karena keringat tak hentinya bercucuran. Dia mulai kelelahan, apalagi kaki kanannya yang hanya kaki buatan itu semakin berat dia rasakan seiring dengan semakin lama dia berjalan. Mungkin itu bukti dia mulai kelelahan.  Napas Evander tampak berat dan tersengal-sengal. Sungguh dia sudah tidak sanggup lagi untuk berjalan sehingga kini dia pun terdiam, berniat istirahat sejenak sebelum melanjutkan pencariannya.  “Hei, apa yang kau lakukan di sana?”  Namun, sebuah suara yang berasal dari arah belakang, sukses membuat Evander mematung di tempat. Dia juga panik bukan main sehingga memutuskan untuk kembali berjalan. Terlalu terburu-buru berjalan padahal kaki kanannya terasa sangat berat, Evander pun terjatuh dalam posisi menelungkup.  “Ini akibatnya kalau kau pergi padahal ada orang yang sedang bertanya padamu.”  Evander tak bisa menolak saat pemilik suara itu yang tidak lain seorang wanita muda yang dari perawakannya berusia 25 tahunan, kini membantunya bangun. Dia memang tidak bisa bangun sendiri sehingga mau tak mau Evander memilih menerima bantuan dari wanita asing yang tidak dia kenali itu.  “Aku pikir di sini hanya ada pria,” gumam Evander pelan tapi rupanya telinga wanita itu masih bisa mendengarnya dengan jelas.  "Tentu saja ada wanita di sini. Seperti aku yang merupakan dokter, di sini ada banyak wanita dengan profesi dan tugas yang berbeda. Oh, aku sepertinya ingat denganmu. Kau ini orang sipil yang berhasil kami selamatkan itu rupanya.”  Evander melebarkan mata, tatapannya kini tertuju pada wanita yang berdiri di sampingnya karena masih memeganginya atau dia akan kembali terjatuh. Evander masih kesulitan mengendalikan keseimbangan karena kaki barunya yang terbuat dari mesin itu.  Wanita di hadapannya itu memang seorang dokter, bisa dia lihat dari jas serba putih yang biasa dikenakan dokter saat praktek di rumah sakit. Kate … itulah nama si wanita jika dilihat dari nametag yang terpasang di bagian daada.  “Kau ini seorang dokter, kan?” Wanita bernama Kate itu mengangguk tanpa ragu. “Ya, aku memang dokter. Kenapa? Kau tidak percaya?” “Apa kau yang mengganti kakiku dengan kaki palsu ini? Oh, mengganti tanganku juga?”  Lagi, wanita itu mengangguk tanpa ragu. “Ya, memang aku yang mengoperasi. Karena kondisi kaki dan tanganmu yang sudah tidak bisa diselamatkan lagi, jadi aku terpaksa memotongnya dan mengganti dengan kaki dan tangan android.”  Napas Evander semakin memburu, dia kesal karena dokter itu memotong kaki dan tangannya tanpa persetujuannya.  “Harusnya kau meminta izin dulu padaku sebelum memotong kaki dan tanganku.”  Kening Kate mengernyit dalam karena alih-alih mengucapkan terima kasih karena nyawanya telah diselamatkan, sang pasien justru memarahinya dan menyalahkan tindakannya yang berusaha menyelamatkan nyawa sang pasien sehingga melakukan cara apa pun.  “Kau menyuruhku meminta izin dulu padamu?” Kate mendengus. “Hah? Yang benar saja. Kau sedang sekarat waktu dibawa kemari. Kau hampir mati dan jika aku tidak cepat-cepat melakukan operasi, mungkin kau sudah mati.”  “Tapi kau tidak seharusnya memotong tangan dan kakiku.” Kate berdecak, semakin jengkel dengan sikap Evander. “Tadi aku sudah bilang kaki dan tanganmu sudah tidak bisa lagi diselamatkan. Jika tidak cepat-cepat dipotong kau pasti akan berubah menjadi seperti mereka.”  Evander sama sekali tidak memahami apa yang dimaksud sang dokter. Mereka? Memang siapa mereka yang wanita itu maksud?  “Ngomong-ngomong dari pada kau marah-marah di sini, aku sarankan lebih baik kau kembali istirahat di ruanganmu.”  Evander menggeleng tegas. “Tidak perlu. Aku baik-baik saja.” “Kau merasa baik-baik saja karena efek obat bius sepertinya masih tersisa di tubuhmu. Tapi kalau efek obat bius itu sudah hilang, percayalah … kau akan merasakan sakit yang tidak tertahankan. Aku berani menjamin. Jadi lebih baik kau kembali berbaring agar tidak semakin tersiksa saat rasa sakit itu mulai kau rasakan.”  Evander sungguh tak peduli dengan ucapan Kate, karena yang dia inginkan sekarang adalah menemui istri dan keluarganya.  “Di mana istri dan keluargaku?”  Sehingga tanpa ragu dia pun mulai bertanya.  “Istri dan keluargamu?” “Ya, aku yakin mereka juga dibawa ke tempat ini. Mungkin kau juga mengoperasi mereka sama seperti yang kau lakukan padaku.”  Kate mengembuskan napas lelah menghadapi Evander yang sepertinya sedang labil dan emosi. “Jika kau ingin mendengar jawabanku, kau harus menuruti perkataanku. Aku memintamu kembali ke ruanganmu sekarang juga.” “Huh, kenapa aku harus menurutimu?” tanya Evander penuh cibiran, jelas dia tak sudi menuruti permintaan Kate.  “Pertama, karena aku ini doktermu. Dan kedua, aku tidak akan memberikan jawaban atas pertanyaanmu tadi kalau kau tidak mau kembali ke ruanganmu.”  Evander tahu jika dia tetap keras kepala dan bersikeras maka wanita di hadapannya itu mungkin akan melakukan apa yang dia ancamkan. Sehingga Evander pun akhirnya memberikan anggukan dengan terpaksa. Dia bahkan tak menolak saat Kate memapahnya sampai tiba di ruangan yang tadi Evander tinggalkan. Kini pria itu sudah kembali berbaring di ranjangnya di mana Kate dengan begitu peduli menyelimuti tubuhnya sampai sebatas daada.  “Baiklah, lebih baik kau istirahat di sini dan jangan pergi ke mana-mana sampai aku memberimu izin.”  Setelah berkata demikian, Kate berniat untuk pergi. Namun, tentu saja Evander tak mengizinkannya begitu saja karena dia kini mencekal lengan sang dokter, menahannya agar tak pergi ke mana pun.  “Mau pergi ke mana kau, Dokter?” “Kembali ke ruanganku. Masih ada banyak tugas yang harus aku kerjakan.” “Lalu mana jawaban yang kau janjikan tadi?” tanya Evander kesal seraya melayangkan tatapan tajam.  Sedangkan Kate sekarang sedang menunjukkan ekspresi terkejut karena sepertinya dia melupakan tentang pertanyaan Evander dan janjinya untuk memberikan jawaban.  “Oh, maaf. Aku lupa barusan. Hm, aku tidak tahu di mana istri dan keluargamu karena yang aku tahu kau hanya seorang diri saat dibawa kemari oleh militer. Aku dengar hanya kau satu-satunya yang masih bertahan hidup dalam insiden penyerangan itu.”  Kedua bola mata Evander melebar sempurna. “Apa maksudnya hanya aku seorang yang dibawa ke tempat ini?” “Ya, memang seperti itu kenyataannya. Dari informasi yang aku dengar, insiden itu terjadi di sebuah acara pernikahan. Semua orang menjadi korban dan hanya kau yang selamat karena saat Aegis datang, semuanya sudah dinyatakan tak terselamatkan dan hanya kau yang masih memungkinkan untuk diselamatkan.”  “Acara pernikahan yang kau maksud itu adalah acara pernikahanku.”  Kate membekap mulut, terkejut sekaligus iba mendengar pengakuan Evander. “Benarkah? Jadi kau diserang oleh mereka saat sedang menikah? Ya ampun, itu sangat menyedihkan.”  “Katakan di mana istri dan keluargaku?!” teriak Evander kesal karena dia tak percaya hanya dirinya yang diselamatkan dan dibawa ke tempat misterius bernama Aegis tersebut.  “Aku sudah menjawabnya tadi. Hanya kau yang dibawa ke sini oleh militer. Artinya istri dan keluargamu sudah tiada. Mereka ditinggalkan di sana karena sudah tidak bisa diselamatkan. Mungkin juga mereka sudah dihancurkan karena kemungkinan akan berubah menjadi bagian dari mereka. Sayang sekali, aku turut berduka untukmu,” ucap Kate tulus sambil menepuk-nepuk bahu Evander dengan maksud menguatkan.  Namun, Evander tak terima tentu saja dengan kabar buruk yang dia dengar itu sehingga dia berniat turun dari ranjang karena ingin kembali mencari istri dan keluarganya. Dia memberontak mencoba turun dari ranjang walau Kate berusaha menghentikannya.  Pemberontakan Evander berhenti dan digantikan oleh suara teriakan tatkala rasa sakit yang dikatakan Kate tadi kini mulai dia rasakan. Rasa sakit tak tertahankan sehingga membuat dia melupakan keinginannya untuk mencari istri dan keluarganya.  Evander baru berhenti berteriak setelah Kate menyuntikan obat tidur padanya sehingga pria itu pun kini mulai tenang.  “Malang sekali nasibmu, kehilangan istri dan seluruh anggota keluarga di hari pernikahanmu. Tapi seharusnya kau berterima kasih pada kami karena selain nyawamu selamat, setidaknya tubuhmu akan menjadi objek penelitian kami demi menyelamatkan umat manusia dari monster-monster itu,” ucap Kate sebelum dia melangkah pergi karena Evander pun kini memejamkan mata. Pria itu tertidur lelap tanpa mengetahui kejadian mengerikan apa yang akan menimpanya di masa depan nanti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN