Hampir Terulang Lagi

2162 Kata
Jam 6 pagi aku sudah mandi dan menyiapkan sarapan untuk suamiku. Aku berlagak seperti tidak terjadi apa apa sejak kejadian kemarin. Seperti biasa setiap hari Jumat, ada acara keluarga di rumah mertuaku. Rasanya kali ini aku sangat malas sekali untuk menghadiri acara ini. Tetapi aku takut suamiku tersinggung bila aku tak mau datang ke acara kumpulan keluarganya. Kulihat suamiku belum terbangun dari tidurnya, mungkin dia sangat lelah sampai bangun terlambat. "Sayang bangun ... udah siang nih, hari ini 'kan kita ada acara." Ucapku sambil mengecup wajahnya yang polos kalau sedang tertidur. "Sayang ... Bangun ayo ... ." "Hmm ..." Dia membuka kelopak matanya, lalu kembali tidur. Hhh ... Sabarr. "Ayo bangun, atau kita akan terlambat!" Aku menarik-narik tangannya agar dia bangun. Walau dengan susah payah. "Apa sih sayang, aku masih ngantuk." Dia bersiap akan tidur kembali. Namun, segera ku tahan. "Bangun atau aku tidak mau ikut kumpul acara keluarga kamu!" Ancamku pada akhirnya. "Hhh ... Kamu mah gituu." katanya malas, namun caraku ini berhasil. Dia tidak jadi tidur lagi. "Makanya bangun dong, aku udah siapin air hangat takut keburu dingin." "Iya-iya bawel." Akhirnya dia bangun walau dengan malas-malas an, lalu pergi ke kamar mandi. **** Di meja makan aku sudah menyiapkan sarapan. Aku suka sekali memasak jadi untuk bagian ini tidak perlu dikerjakan oleh asisten. Hanya untuk membersihkan rumah saja yang dikerjakan olehnya, karena rumah ini terlalu besar kalau hanya ditinggali kami berdua. Kami belum dianugerahi seorang putra atau putri padahal rumah tangga kami sudah berjalan hampir 3 tahun. Aku pernah memeriksakan keadaanku ke dokter spesialis obgyn dan kata dokter keadaanku normal-normal saja. Namun, aku tidak tahu keadaan mas Ardi bagaimana karena dia selalu sibuk jika aku ajak ke dokter. Kembali ke meja makan. Suamiku sudah tampan dengan pakaian kasualnya. Aku tersenyum dan menyiapkan sarapan kesukaannya yaitu nasi goreng spesial. Dia balas tersenyum sambil menghampiriku dan berucap. "Yang kok kamu belom ganti baju?" Katanya sambil menarik kursi. "Iyaa nih, nanti aja habis sarapan soalnya takut belepotan," "Ooh yaudah." Mas Ardi mengangguk lalu mulai memakan sarapannya. "Nanti aku pakai baju yang agak tertutup yaa, malu nih banyak tanda bekas kamu." kataku sambil merenggut. "Ga. Aku 'kan udah bilang kalau aku suka liat kamu pakai pakaian yang terbuka, kamu jadi terlihat anggun." Bantahnya cepat. "Hhmm ... Ya udah deh." Aku pasrah. Mau bagaimana lagi. Mas Ardi memang lebih suka aku memakai pakaian s*ksi, aku sudah terbiasa sih. Tapi kalau banyak tanda begini aku juga agak risih dan malu. Dia juga selalu bilang kalau dirumah, aku tidak boleh memakai dalaman kecuali kalau ada tamu. Aku oke-oke aja, ga ada masalah karena aku juga ga munafik bahwa aku senang dan nyaman. "Mas aku ganti baju dulu." Pamitku, lalu beranjak dari meja makan. "Iyaa, jangan lupa pesanku tadi." Katanya sambil tersenyum m*sum. "Iyaa ... " **** "Wow ... Kamu cantik sekali sayang, aku jadi pengen cepat-cepat mamerin kamu nanti." Pujinya sambil menghampiriku yang baru turun dari anak tangga. "Inikan mau kamu yang," balasku dengan senyum terpaksa. Ya, memang saat ini aku tengah memakai mini dress maroon ketat tanpa tali yang memperlihatkan leher dan bahuku yang putih mulus. Upss 'kan ada tanda dileherku ya. Tapi aku sudah berhasil mensiasatinya dengan make up andalanku. Lumayanlah, cukup menyamarkannya. Lekuk tubuhku tercetak jelas jika aku memakai dress ketat seperti ini. Sebagai mantan seorang model, postur tubuhku masih tetap oke walau aku sudah menikah. Aku cukup puas dengan penampilanku. Rambut ikalku sengaja digerai agar sedikit menutupi leherku. Tak lupa aku memakai heels 10cm yang semakin membuat kaki ku terlihat jenjang. "Ayo sayang kita bisa terlambat, jika kamu terus menatapku seperti akan memakanku saja." godaku "Sayang, kamu sangat tahu apa mauku." Dia menyeringai. Lalu dia mengecup bibirku. "Yang, ayolah udah terlambat nih." kudorong tubuhnya agar cepat bergegas. Kalau dibiarkan bisa makin lama urusannya. "Oke. Awas yaa nanti!" jawabnya sambil mengerlingkan mata dan aku hanya tersenyum menanggapi. Satu jam berlalu dan kami hampir sampai dirumah mertuaku. Jantungku berdetak cepat, bukan karena aku takut mertua namun aku takut ketemu mas Randi. Kakak ipar yang sangat br*ngsek itu. Tapi aku tidak bisa menghindar lagi, bahkan rasanya tanganku terasa dingin sekali. "Ayok, sayang turun udah sampai." Aku terlonjak kaget mendengar suara mas Ardi yang setengah berteriak. Oh tidak, ternyata dari tadi aku melamun. Dan teganya lagi, suamiku sudah pergi lebih dulu tanpa membukakan pintu mobil untukku. Huhh, sudah cantik begini masa ditinggal sih. Lalu aku mengejar mas Ardi setengah berlari. "Mas tungguin dong, tega banget sih ninggalin aku." Gerutuku kesal. "Habisnya dari tadi kamu melamun, lagi mikirin apasih?" Tanyanya tak menghiraukan gerutuanku. "Hai ... Sayang, kok lama banget sih, jam segini baru sampai?" Itu suara ibu mertuaku, ia langsung memeluk anaknya dan aku berdiri dibelakang suamiku. "Iyaa, nih, Maa. Mana macet banget lagi." jawab mas Ardi lembut. "Apa kabar mah?" kataku sambil mencium tangan ibu mertuaku. "Baik, Risya. Oh ya, kamu ada berita baik ga buat kita." jawab Mama mertuaku dengan tatapan judes. Hmm ... Lagi-lagi pertanyaan ini. Aku sudah bosan mendengarnya. Inilah salah satu alasan aku tidak mau datang ke acara keluarga ini, dan alasan lainnya aku tidak mau bertemu dengan iparku itu. "Uhm ... mah kita ke dalam dulu yaa. Yuk sayang," itu mas Ardi yang menjawab. Mungkin dia tahu kalau pertanyaan Mamanya tadi sulit untuk kami jawab. Aku hayang mengangguk mengiyakan lalu mengikuti langkah mas Ardi. "Hmm ... " jawab mama mertuaku jutek. Mas Ardi menggandeng lenganku ketika kita masuk. Disana sudah berkumpul saudara-saudara mas Ardi, meskipun pernikahan kami sudah hampir 3 tahun tapi aku tetap merasa asing dengan keluarga ini, terlebih saat mereka terus menanyakan apakah aku sudah hamil atau belum. Pertanyaan ini membuat aku semakin dipojokan di keluarga ini. Mas Ardi melepaskan genggaman tangannya, lalu mulai menyapa saudara-saudaranya dan aku hanya mengekorinya dari belakang sambil berbasa-basi ria. "Syaa, apa kabar?" Itu kak Mira sepupu mas Ardi. Menurutku dia adalah yang paling baik di antara keluarga Mas Ardi. "Baik kak, kak Mira apa kabar?" Tanyaku balik, aku melihat si kecil Rachel digendongnya yang sedang mengendot lucu. "Baik Syaa, sini duduk." Katanya sambil menepuk sofa disebelahnya. Aku pun duduk disebelah kak Mira dengan menyilangkan kaki jenjangku. "Hai, Rachel, sini yuk sama aunty." Aku mengulurkan tanganku untuk merayunya agar dia mau di gendong. Si kecil Rachel mengerjapkan matanya lucu, mungkin dia masih mengingat ngingat wajahku. Aku pun terkekeh melihatnya. "Ayoo cinii sama aunty ... ." Aku ingin sekali menggendong bayi gemas ini. Dan, akhirnya dia mau digendong olehku. Yeey. "Hebat kamu Syaa, biasanya si Rachel ga mau lho kalau digendong sama orang lain. Kecuali aku sama papanya." Ucap kak Mira sambil tersenyum senang. "Iyaa dong aunty kan cantik, jadi Rachel mau ya!" jawabku sedikit tak nyambung sambil tertawa kecil. "Haha ... kamu ini Sya ada-ada aja, oh iya kamu udah coba program belum? kayaknya kamu udah cocok tuh, hehe." Ucap kak Mira lagi sambil mengedipkan matanya menggoda. "Belum kak, mas Ardi nya masih belum mau katanya. Aku sih tunggu dia siap dulu." Ya, untuk hal ini aku berbohong. Padahal mas Ardi dan aku tidak pernah membicarakan soal anak. "Oohh gitu, eh sayang, jangan muntah di aunty Sya dong. Maaf yaa, Sya, Rachel kayaknya kekenyangan jadi muntah deh, maaf yaa." Kak Mira terkejut melihat Rachel muntah digendonganku. "Oh iyaa, kak. gak papa namanya juga anak-anak. " Balasku sambil mengambil tissu dari tas dan mulai membersihkan bekas muntahan Rachel di dadaku. Kayaknya harus pake air nih mana gak bawa baju ganti lagi. "Kak, aku ke kamar mandi dulu ya." Pamitku pada kak Mira. "Oh iya, Sya. maaf yaa baju kamu jadi kotor." jawabnya merasa bersalah. "Iyaa, kak, ga papa." Kataku sambil tersenyum dan beranjak ke kamar mandi. Kulihat sekeliling ternyata mas Ardi ada di taman samping sambil mengobrol dengan papanya dan sepupunya yang lain, pasti ngomongin bisnis. Batin ku. Aku menuju kamar mandi yang dekat dengan dapur sedikit jauh sih dari ruang tamu. Ketika sampai dikamar mandi aku langsung mengambil tissu basah yang sudah tersedia di kamar mandi dan mulai mengusapkan ke bagian bajuku yang kotor. Kulihat sekitar d*da ku jadi basah karena tissu. Setelah berpikir lama, lebih baik aku keringkan di kamar mas Ardi saja. Ketika sudah sampai di kamar mas Ardi yang berada di rumah orang tuanya, yang berada di lantai dua. Aku langsung membuka pintu dan tidak lupa menutupnya kembali. Segera aku ambil hair dryer di meja rias lalu mulai mengeringkannya. Hair dryer ini punyaku yang tertinggal saat kami menginap disini. Aku dan mas Ardi tidak terlalu sering menginap disini, namun sesekali mas Ardi pasti meminta untuk menginap disini. Ketika aku terlalu fokus mengeringkan baju, aku tidak menyadari bahwa ada orang lain selain aku di kamar ini. Dan orang itu adalah seseorang yang sedang aku hindari di rumah ini. "Mas Randy? Kenapa kamu disini?!" Aku shock, jangan sampai dia kembali melecehkanku. Aku tidak mau kejadian memilukan itu sampai terulang lagi. Cukup kemarin, aku dilecehkan olehnya, tapi tidak untuk sekarang. "Kenapa? Ini juga rumahku!" Jawabnya tenang. "Mau apa kesini? Aku mohon dengan sangat mas! Jangan melakukan hal tak senonoh lagi kepadaku. Kasihanilah aku!" Pintaku. Dia menyeringai, semakin mendekati aku yang terpaku di depan cermin. "Maaf sayang, tapi aku tidak tahan melihatmu yang tampak--" "Stop! Berhenti merendahkan aku atau aku akan berteriak!" Ancamku padanya. Ya, aku harus melakukan hal ini jika tidak ingin kejadian kemarin terulang lagi. Langkahnya terhenti. Dia menatapku tajam, raut wajahnya terlihat marah. Aku tidak peduli dengan semua itu, yang jelas saat ini aku harus mempertahankan harga diriku meskipun sebelumnya telah direnggut olehnya. Tangannya mengepal erat, serta rahangnya yang kokoh itu mengeras kaku. Sekali lagi aku tidak peduli dengan kemarahannya. Disini, seharusnya akulah yang harus marah kepadanya, bukan dia yang notabene telah melakukan hal yang tidak senonoh kepadaku. "Pergi dari sini atau aku teriak!" "Oke, kali ini kamu boleh menang tapi tidak lain kali!" Alisku terangkat satu, aku tersenyum sinis. "Tidak akan kubiarkan lain kali itu menjadi milikmu. Sekarang cepat pergi dari sini!" Ucapku keras dan penuh penekanan. Dia berdecih, kemudian pergi dari hadapanku. Aku terduduk lesu. Tak kuasa lagi aku menahan air mata yang sedari tadi ingin jatuh keluar. Kenapa jadi seperti ini? Dari awal harusnya aku tidak akan ikut saja ke acara perkumpulan keluarga ini. Namun, tentu saja nasi telah menjadi bubur. Beruntunglah saat ini aku masih bisa menjaga diri. Tak mau orang lain tahu kalau aku menangis. Segera, aku masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci muka dan memakai make up kembali. "Sayang kamu dimana??" Itu suara suamiku. Akhirnya dia mencari ku juga. Aku sangat ingin segera pulang dari rumah ini. "Aku dikamar mandi, mas!" Teriakku dari dalam kamar mandi. Cklek "Kamu kenapa sayang. kok, suara kamu kayak habis nangis?" "Ehh ... Itu sayang aku tadi terpleset makanya aku nangis gini. Hehe ... ." Jawabku gelagapan. Ternyata suamiku mengetahuinya. "Ooh gitu. Lain kali hati-hati, ya. Oh iya, katanya kamu kena muntahan Rachel? " Tanyanya cepat. Aku bersyukur dia tidak menaruh curiga padaku. "Iyaa, sayang, tapi aku sudah membersihkannya. Kita pulang yuk, aku cape." Ajakku cepat, karena aku tidak yakin akan baik-baik saja jika aku masih berada disini. "Nanti dulu sayang, aku mau ngenalin kamu ke sahabat kecilku." Katanya sambil tersenyum dan mengajakku keluar dari kamar. Aku hanya menurut saja, lebih cepat lebih baik. Setelah sampai di ruang tamu kulihat ada wanita cantik nan seksi mendekat kearah kami. "Ini sahabat aku, yang. Kenalin namanya Sahira. Nah, Sahira ini istriku namanya, Risya." Mas Ardi langsung mengenalkan aku kepadanya. "Hai aku Risya." Aku mengenalkan diriku sambil mengulurkan tangan. Kulihat dia melirikku tadi atas sampai bawah, dan sepertinya dia enggan membalas uluran tanganku. Sampai-sampai senyumnya harus dipaksakan seperti itu. "Hai, aku Sahira Riandi. Panggil aja Sahira." Jawabnya sambil tersenyum mengejek kearahku. "Ardi kamu masih lamakan pulangnya, aku mau cerita banyak ke kamu?" Tanyanya sambil tersenyum genit kearah suami ku. Sangat berbeda sekali ketika dia berbicara kepadaku. Orang seperti ini banyak sekali kutemui ketika aku menjadi istrinya mas Ardi. "Tenang saja, aku tidak terburu-buru kok. Oh iya, kamu mau cerita apa?" Seketika aku dilupakan oleh dua sahabat yang baru bertemu ini. Karena tak tahan diabaikan. Akhirnya aku memberanikan diri menyela pembicaraannya. "Yang, aku pulang duluan yaa, soalnya mamaku ngechat suruh kesana katanya." Terpaksa aku harus berbohong demi segera pergi dari rumah ini. kulihat dua sahabat ini langsung menatapku secara bersamaan. "Beneran, yang, kamu mau pulang duluan? " "Iyaa sayang. Kayaknya, ada yang penting deh. Boleh yaa? Aku bisa naik taksi, kok." Pintaku, sungguh aku sudah tak tahan berada disini. "Oohh, ya sudah hati-hati ya ... ." Setelah mengizinkan aku untuk pulang duluan. Mas Ardi langsung kembali mengacuhkanku, aneh sekali biasanya dia tidak seperti ini kepadaku. Tapi, bodo amatlah begini lebih baik. Akhirnya, aku pun berpamitan dengan semua orang disini. Hanya kak Mira saja yang peduli ketika aku berada disini, semua orang disini seperti tidak menganggapku ada. Kak Mira mengantarkan aku sampai ke depan rumah sampai taksi yang ku pesan datang. "Aku pamit yaa, kak. Nanti main dong ke rumah." Aku tersenyum kepadanya, lalu mencium keponakanku yang tertidur lucu dipangkuannya. "Hati-hati yaa ... Nanti kapan-kapan aku pasti main." "Okay, ditunggu pokoknya. Bye, taksiku sudah datang." Setelah masuk mobil, kulambaikan tangan pada kak Mira. Sampai akhirnya mobil ini keluar dari kediaman rumah besar keluarga suamiku. Ll ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN