Bab 81. USG

1090 Kata
Frederic tentu saja langsung menatap Tiffa lekat sekali. Leluhur bangsa vampir? Itu gila sekali. Ia menahan kuat lidahnya agar tidak banyak bertanya seputar hal diluar medis. Ia lalu meletakkan tasnya di dekat kaki ranjang dan mendekat. “Bolehkah aku mengecek keadaannya?” Rivaille mengangguk memberi izin. Tiffa juga walaupun enggan juga mau tidak mau ia membiarkan Frederic menyentuh perutnya. Awalnya Frederic diam dan mendengarkan irama janin yang bergerak di dalam perut Tiffa. Tangannya perlahan pindah ke area samping. Aliran nutrisi deras sekali mengalir sampai ke janin. ‘Pantas saja janinnya senang sekali.’ Batinnya mengangguk sambil tersenyum kecil. Ia memuji ibunya yang pintar membuat emosi janinnya dalam mood yang baik. “Perkembangannya sangat baik. Sayang sekali aku tidak membawa alat USG untuk melihat janinnya.” Melvern langsung tersenyum senang. Dan Iefan mendengus kesal karena tidak bisa melihat cucunya. “Kenapa kau begitu teledor, Frederic? Padahal semua ingin melihatnya bergerak disana.” Rivaille memutar matanya malas. Ia segera menyiapkan makanan lagi untuk Tiffa karena setiap setengah jam sekali Tiffa harus makan. Gelas kaca highball dengan sedotan berwarna putih di atas meja kembali terisi. Sekantong darah juga sudah dipindahkan ke dalam gelas itu oleh Rivaille sebelum diberikan pada sang istri. Frederic tentu saja memaklumi Tiffa yang langsung meminumnya sampai habis. “Sejauh ini semua tampak sehat dan normal. Berapa kali ibunya makan dalam sehari?” Frederic menoleh dengan senyuman. Ia menatap anggota keluarga Heddwyn satu per satu. Tapi semuanya tampak tidak ada yang mau menjawabnya. Dan anehnya gestur tubuh mereka tertuju pada Tiffa sendiri. “Aku makan setiap setengah jam sekali. Dan ini wajar karena ibuku makan setiap sepuluh menit sekali saat mengandungku.” Tiffa dengan nada ketus menarik selimut untuk menutupi perutnya. Ia sensitif sekali jika ditanya soal berapa kali ia makan dalam sehari. Ia kelaparan setiap saat dan Vian memintanya untuk jangan terlalu memforsir makanan atau hari bersalin akan semakin cepat. Lalu sekarang ia sendiri harus menahan malu karena rakusnya ia saat makan. Dengan jumlah yang tidak masuk akal. Mulutnya pun seketika ingin memaki Rivaille karena melihat ekspresi Frederic yang terkejut sampai lupa menutup mulutnya. “Aku harus mengatur pola makanku. Jika tidak, waktu bersalinku akan semakin dekat lagi.” “T-tunggu dulu. Tadi kalian katakan tiga bulan lagi bayinya akan lahir? Tapi menurut perhitunganku, seharusnya masih butuh waktu setahun lagi sebelum hari persalinan.” Fredric langsung mencela. Tidak mungkin tadi ia salah dengar. “Tapi memang seperti itu adanya, Frederic. Menantuku ini baru bangkit dari hibernasi beberapa hari yang lalu dan usia kandungannya juga baru beberapa hari.” “Hng?” Frederic ingin sekali tertawa mendengarnya. Itu sangat tidak mungkin sekali terjadi. “Janin yang baru beberapa hari tidak mungkin se….” Frederic tidak ingin melanjutkan perkataannya lagi. Ia lupa Iefan sudah memberitahu semuanya sebelumnya tadi. Dan sekarang Frederic dipaksa untuk percaya dengan semua perkataan itu. Rivaille sedikit tidak enak karena melihat Tiffa yang tampak tidak nyaman dengan keberadaan Frederic. Di tengah-tengah perbincangan dengan dokter, Vian pun akhirnya sampai. “Oh? Ada apa ini?” Tanyanya sambil melepas jaket. Rumah kecil ini jadi penuh sesak karena terlalu banyak penghuni. Tiffa membuang muka ke samping. Ekspresinya jelas enggan mengatakan sepatah katapun padanya. “Aku dokter yang akan menangani persalinan nanti.” Vian tertawa dalam hati mendengarnya. Pantas saja kakaknya terlihat kesal. “Aku Vian, dia kakakku.” Frederic juga langsung tahu saat melihat warna rambutnya yang sama. “Bagaimana?” Rivaille langsung bertanya. “Well, aku sudah menemukan tempat yang pas. Di Jepang, ada Katedral bawah tanah untuk mencegah banjir.” “Tokyo… Aku pernah mendengarnya. Tapi apakah tidak berbahaya bersalin disana?” Rivaille pernah melihat beritanya di internet. Memang luas sekali. Tapi jika terjadi banjir besar, mereka semua akan hanyut. “Musim dingin di Tokyo lebih cepat. Curah hujan di sana saat musim dingin juga hanya 20 persen.” Iefan melipat kedua tangannya di depan d**a. Sepertinya memang hanya itu tempat yang tepat. “Kalau begitu kita harus mulai menghitung hari agar Tiffa bisa bersalin saat telah turun salju.” Vian menjentikkan jarinya penuh semangat. “Tepat sekali. Kedalaman katedralnya 22 meter dari permukaan tanah. Setelah salju turun, suara berisik di dalam tanah akan teredam.” Melvern menggosok telapak tangannya beberapa kali dengan bibir yang tersenyum senang. “Kebetulan sekali.” Vian juga ikut tersenyum. Tiffa sejak tadi mengelus perutnya dan menatap keluar jendela. Mereka semua sejak tadi sibuk memikirkan persalinan sedangkan Tiffa sendiri tidak yakin apakah sanggup melahirkan. Dulu, ibunya menjadi abu setelah melahirkan Vian. Sebelum mati pun ibunya tidak sempat mengucapkan kata terakhirnya. Lalu posisi itu berbalik padanya. Tapi semua sudah terjadi. Dan juga hamil dan memiliki anak juga impiannya sejak lama. Hanya bersama Rivaille ia bisa mewujudkan semua impiannya. "Aku akan seminggu sekali kemari untuk mengecek kesehatannya." Tiffa menoleh. Tidak sadar ia melamun dan pembicaraan para keluarga juga berakhir. Sayang sekali Tiffa tidak mendengar keputusan akhirnya. "Jangan lupakan alat USGnya. Kalau kau lupa membawanya lagi, aku akan menyuruhmu pulang untuk mengambilnya." Ujar Iefan setengah bercanda. Dan Melvern tertawa kecil. "Tidak akan lupa. Kalau begitu, aku permisi." Mereka semua pergi mengantar Frederic sampai ke depan rumah. Tinggal Rivaille yang begitu pengertian langsung mengelus lembut punggung istrinya. "Maaf kalau kau merasa tidak nyaman. Tapi medis tetap dibutuhkan untuk persalinan nanti." Tiffa jadi ingin menangis karena Rivaille begitu pengertian sekali. Pria dingin yang punya ekspresi kaku seperti batu itu bisa peka dan sangat sensitif juga. "Dari dulu aku tidak suka disentuh-sentuh. Tapi aku menahannya demi bayi ini." Ucap Tiffa manja sekali. Rivaille tersenyum tipis. Tangannya sudah naik ke belakang kepala Tiffa dan mengelusnya. Calon ratu Heddwyn ini luar biasa manja. Tak lama Vian kembali masuk ke dalam. Iefan dan Melvern sudah kembali ke villa ketika Vian masuk ke dalam rumah. "Sebenarnya aku mendapat satu tempat lagi yang cocok untuk bersalin. Tapi aku rasa di Tokyo tempat yang tepat." Sorot mata Tiffa seketika lesu sekali. "Aku tidak tenang jika tidak memakai zirahku saat bepergian keluar. Aku tidak bisa maksimal melindungi bayi ini." Keluhnya khawatir bayinya akan terluka karena tidak ada satu pun pelindung di tubuhnya. Vian juga cukup lega bisa pulang cepat dan ada disisi kakaknya lagi. Seminggu penuh ia mencari tanpa istirahat. Untungnya sang kakak baik-baik saja selama di villa tanpa dirinya. "Aku akan coba bicara lagi pada Heidi agar bisa sedikit bersabar sebentar lagi." Kata Vian sudah berjalan menuju pintu. "Tidak. Katakan padanya aku punya rencana untuknya." Kaki Vian otomatis terhenti. Apalagi yang dipikirkan kakaknya sekarang? "Aku harap kau tidak benar-benar serius untuk menghidupkannya kembali, Tiffa." Tiffa sengaja tidak menatap adiknya. Ia menggigit sedotannya dengan pikiran melayang-layang. "Vian… kau tahu kenapa Lucifer belum pernah muncul lagi setelah sekian lama?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN