Rivaille menutup bukunya dengan kasar karena suara berisik dari benda persegi yang tipis di tangan adiknya. Biasanya ia juga menggunakan earphone jika bermain game.
“Ibu pasti menyuruhku untuk berlatih jika aku kembali. Aku sudah berlatih dari pagi hari ini dan sekarang aku ingin bermain game sampai malam.” Ucapnya naif seperti biasa.
Semenjak ia menjadi raja, kedua adiknya juga terlalu santai. Bahkan saat ini juga termasuk hari tersantai karena hanya berlatih pagi, siang istirahat sampai sore.
“Banyak berlatihlah dari sekarang. Zaman semakin berkembang. Musuh kita juga bukan sesama vampir, tapi manusia juga.” Elunial melirik kakaknya sekilas dan terkekeh kemudian.
“Aku akan berlatih jika sudah mengikuti event game ini. Event kali ini sangat berarti bagiku.”
Rivaille tidak ingin berkomentar lagi. Ia tahu Vian sudah meracuni adik-adiknya dengan game. Tapi mau bagaimana lagi, setelah Elunial pensiun dengan pesawat ruang angkasanya, sekarang kegiatannya beralih pada game.
Malam pun tiba. Hawa di sekitar danau lembah Rjukan ini seharusnya bisa sedingin musim salju. Bahkan kabutnya juga menyelimuti sampai rumah kecil Rivaille tertutup sempurna oleh kabut.
“Vian akan membangunkan Tiffa malam ini. Apa Kakak tidak ingin melihatnya?” Elunial melirik sebentar tapi tidak menghentikan permainan gamenya.
Tapi Rivaille tidak menjawab. Ia juga sudah tahu itu dari ibunya siang tadi. Dan tidak ada alasan baginya untuk hadir disana. Bagaimana ia harus bersikap nanti? Tertawa dan pura-pura bahagia?
Tapi tiba-tiba Rivaille merasakan ada yang datang di luar rumahnya. Ketika ia merasakan auranya, Rivaille memejamkan matanya sejenak. Sampai sang tamu masuk ke dalam rumah, Rivaille tetap bergeming di kursinya.
“Rivaille….”
“Errmm… Aku pergi dulu.” Elunial bahkan langsung pergi saat tahu siapa yang datang.
Vian berkata akan membangunkan Tiffa malam ini. Dan Rivaille pikir akan tengah malam nanti. Tidak menyangka jika di awal malam setelah matahari terbenam.
Tiffa masih berdiri di dekat pintu. Ekspresinya sedih saat tahu semua dari Vian. Dan sekarang ia hanya bisa menatap punggung kokoh Rivaille seperti ini. Dadanya terasa sakit sekali.
“Kau terlihat sehat.”
Rivaille membalikkan lembar bukunya. Hanya itu yang bisa ia katakan setelah keheningan yang cukup lama. Hanya suara serangga kecil yang saling bersahutan malam itu sebagai makhluk yang memeriahkan suasana malam.
“... Maafkan aku….” Tiffa berbisik lirih.
Ia tidak tahu jika semua yang dilakukannya bisa sampai melukai Rivaille sedalam ini. Ia bahkan tidak berani melangkahkan kakinya untuk mendekat.
Hanya empat meter. Hanya empat meter jarak untuknya melangkah dan memeluk Rivaille. Tapi Tiffa tidak berani melakukannya. Dan juga Rivaille tidak ingin menatap dirinya.
“Maaf… Aku seharusnya bisa memposisikan kalian sesuai tempatnya.”
Rivaille menarik senyum di bibirnya. Tipis sekali dengan dengusan pelan. Apa maksudnya menempatkan posisi sesuai tempatnya? Dia berusaha mengatakan Rivaille harus sadar akan posisinya?
“Tidak perlu sampai seperti itu. Aku sudah tahu dimana posisiku. Aku cukup tahu diri, jadi kau tidak perlu khawatir semisal aku melewati batas.” Ucap Rivaille dengan nada dingin sekali. Perkataannya yang membuat jarak diantara ia dengan Tiffa semakin menjauh.
“Tatap aku jika kau bicara denganku, Rivaille.”
Tiffa adalah wanita keras kepala. Ia tahu Rivaille sakit hati padanya, tapi ia juga harus meluruskan sesuatu diantara mereka.
“Marahlah jika kau ingin marah padaku… Tapi jangan terus menerus diam seperti ini… Kau tahu masalah tidak akan berhenti jika hanya diam seperti itu.”
Rivaille tiba-tiba menutup bukunya. Tangannya terulur untuk meletakkan buku ilmiah itu di atas meja sebelum berbalik menatap Tiffa. Ekspresinya sama dinginnya dengan nada suaranya.
Tiffa bahkan baru lihat sekarang bagaimana Rivaille menatapnya seperti orang asing saat ini.
“Apa kau sudah tahu dimana letak kesalahanmu? Kalau belum, maka percuma melanjutkan perdebatan ini.” Tiffa terhenyak.
“Lalu apa kau sudah tahu dimana letak kesalahanmu sendiri?”
“Ya.” Rivaille dengan cepat menjawab. Matanya memicing dan sedikit berkaca-kaca. Hatinya perih menatap Tiffa terlalu lama. “Letak kesalahanku, membiarkanmu masuk dalam kehidupanku. Membiarkanmu menghancurkan perasaanku. Membiarkanmu mempengaruhiku… Membiarkanmu berdiri di hadapanku dan menambah parah penderitaanku.”
DaDa Tiffa langsung terasa sesak. Bisa-bisanya Rivaille berkata sekasar itu padanya. Padahal selama ini mereka bersama dan awalnya baik-baik saja.
Tiffa pun langsung melangkah mundur dan hendak pergi. Tapi Rivaille sudah lebih dulu menutup pintu, mencegah Tiffa keluar dari rumahnya.
“Aku belum selesai bicara.” Ucapnya pelan. Tiffa memejamkan matanya saat tahu Rivaille ternyata sedang menghakiminya.
Tiffa tahu bahwa ia selama ini menganggap Aredric dan Rivaille adalah orang yang sama. Padahal mereka berdua adalah kepribadian yang berbeda walaupun jiwa dan raga mereka sama.
Seharusnya juga ia bisa membedakannya dan tidak membawa perasaan lamanya pada Aredric. Bahkan dengan kejamnya ia melimpahkan perasaan itu pada Rivaille. Sosok baru yang jelas tidak akan mungkin menerima semua cinta yang bukan untuk dirinya.
“Aku berusaha memahamimu, Tiffa. Aku sangat berusaha untuk memaklumi perasaanmu… Tapi aku tidak sanggup lagi sekarang.” Rivaille kembali berbicara.
Lantunan nada suara tercekat dan penuh emosi itu terdengar jelas di telinga Tiffa.
“Maafkan keegoisanku….”
Rahang Rivaille bergetar saat mendengar suara lirih Tiffa. Ia kini sudah berdiri di belakangnya, tapi ia tahu jelas Tiffa menangis saat ini.
Ia tahu akan jadi seperti ini jadinya. Ia ternyata lebih tidak bisa melihat Tiffa menangis ketimbang ia yang keras kepala. Dan ternyata ia masih bisa menahan sakit hatinya.
Rivaille pun meraih tubuh Tiffa dan memeluknya dari belakang.
“Aku tidak bermaksud untuk membuatmu menangis.” Bisiknya pelan. Suaranya melembut agar Tiffa tidak terus menangis.
“... Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Jujur saja aku tidak bisa melupakan Aredric. Sedangkan kau dan Aredric tampak sama… Dan ternyata, selama ini akulah yang tidak bisa menempatkan diriku di posisi yang seharusnya.”
Tiffa terus menangis. Semua yang dijalaninya terlalu berat. Ia tidak bisa kehilangan Aredric atau Rivaille. Perasaannya juga tidak jelas apakah masih pada Aredric atau sudah pada Rivaille.
Bagaimana saat ini jika ia masih memikirkan Aredric ketika ia bersama Rivaille. Bukankah ia seperti penjahat sekarang?
“Aku tahu, Tiffa. Aku tahu. Aku sudah katakan padamu bahwa aku pernah memakluminya….”
Ya, pernah. Dan itu hal paling menyakitkan bagi Rivaille. Ia pun membalikkan tubuh Tiffa dan mengusap air matanya.
“Aku tidak bisa melihatmu menangis seperti ini….” Tiffa yang tidak tahan lantas memeluk Rivaille dengan erat.
“Aku lebih tidak bisa membiarkanmu menjauh seperti ini dariku… Aku tidak bisa.”
Aroma tubuhnya, perasaannya, dan pelukan hangatnya. Semuanya. Tiffa tidak ingin kehilangan lagi untuk yang kedua kalinya.
“Beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya.” Pintanya masih egois.
Rivaille mengelus rambut Tiffa dengan lembut. Dirinya sendiri yang tidak yakin sanggup apakah ia kuat bertahan dengan Tiffa yang selalu mengatakan hal tentang Aredric.
“Jangan bandingkan aku dengan Aredric lagi… Kubur semua kenanganmu bersama Aredric, dan mulai membuat kenangan baru bersamaku… Aku tidak bisa mencintai wanita yang mencintai pria lain.”