“Wanita itu tidak seperti itu. Cukup katakan saja, ia akan merasa bahagia sepanjang hidupnya.”
Aredric langsung menarik Tiffa dan menciumnya.
Di padang rumput, di bawah atap jerami yang masih meneteskan air hujan. Aredric membawa Tiffa pada sebuah hubungan yang lebih dalam dari pertemanan.
Tetesan air hujan sesekali menetes membasahi punggungnya. Rumput yang menjadi alas tempat mereka bermadu kasih sudah mulai terasa lembab dan basah.
Pakaian yang mereka kenakan digulung untuk menjadi alas kepala. Menikmati hujan dalam kehangatan. Dan menunggu reda, senja yang menyadarkan mereka.
Setelah hari paling berkesan itu terjadi, Aredric tidak lagi genit dengan para gadis di kota. Tiffa telah menerima cintanya dan Vian juga memberinya restu untuk menikah.
Tepat seminggu sebelum hari pernikahan mereka digelar, Aredric duduk di atas kursi rodanya bersama anak-anak kecil sambil mengunyah apel.
“Paundra pasti berbohong. Katanya dia akan datang hari ini. Pasti buku cerita itu tidak pernah ada.”
“Kau jangan berkata seperti itu. Paundra pasti sedang membujuk kakeknya untuk meminjamkan buku cerita itu.”
“Agravia! Kau pasti iri dengan Paundra. Dia punya buku cerita yang bagus sedangkan kau tidak.” Aredric pun langsung berhenti mengunyah apelnya karena anak-anak kecil ini seperti akan berkelahi jika tidak ditengahi.
“Hey, hey. Kita tunggu saja Paundra kemari, okay?” Ucapnya langsung menenangkan ketiga bocah itu.
“Paundra sudah pernah bercerita denganku, Aredric. Kakeknya berkata bahwa buku itu merupakan kisah nyata di zaman dahulu.” Aredric tampak tidak tertarik sekali mendengar dongeng dari bocah-bocah nakal ini.
“Memangnya kenapa dengan zaman dahulu?” Tanyanya ogah-ogahan sekali.
“Zaman dahulu, ada makhluk yang memiliki gigi yang runcing seperti harimau. Dia makhluk jahat yang suka menghisap darah manusia dan suka membunuH!”
Aredric langsung mengernyitkan alisnya. Kenapa ada dongeng seseram itu yang diceritakan untuk anak-anak kecil?
“Tidak ada yang seperti itu. Itu pasti cerita bohong.” Kali ini Aredric berkomentar. Tapi karena anak kecil punya sifat keras kepala yang tinggi, akhirnya bocah tadi melanjutkan ceritanya lagi.
Dengan gaya khas anak kecil, bocah itu bercerita.
“Makhluk ini sudah memusnahkan banyak kerajaan dan terkenal haus darah! Dari cerita yang Paundra ceritakan padaku. Ciri-ciri mereka tidak bernafas seperti kita. Tidak ada detak jantung. Dan matanya berwarna merah.”
Aredric lantas tertawa mendengar tahayul itu. Karena bosan, ia pun pergi ke rumah Tiffa. Tapi saat ia melewati pasar, tak sengaja kursi rodanya menyenggol sesuatu.
“Ah! Maafkan aku. Seharusnya aku menaruh ini sedikit ke pinggir.” Aredric tersenyum ramah saat mengenali siapa si pemilik suara ini.
“Apa kau sedang melukis lagi, Gaubard?” Pria bernama Gaubard itu tertawa senang.
“Ya. Pekerjaanku kan memang melukis.” Ucapnya bangga. Tiba-tiba Aredric terlintas dipikirannya untuk mengabadikan Tiffa di atas kanvas.
“Kalau begitu, bisakah kau melukis Tiffa? Aku ingin memajangnya di rumahku nanti setelah menikah.” Gaubard langsung semangat sekali sampai melipat lengan bajunya sedikit cepat.
“Tentu saja! Aku akan berusaha melukisnya.” Aredric ikut tertawa senang.
“Bagus, bagus. Kalau begitu aku ingin Tiffa mengenakan gaun berwarna hijau seperti warna matanya.”
“Hijau? Warna mata Tiffa itu berwarna biru. Kau ingin gaunnya biru atau hijau?”
Aredric lantas terdiam. Selama ini ia mengira Tiffa memiliki iris mata berwarna hijau. Karena ia pernah bertanya sekali dan Tiffa menjawab warna itu.
“Baiklah, um… warna biru saja.” Gaubard tersenyum puas.
“Baiklah! Kau bisa menungguku disini.”
Selagi Gaubard menyelesaikan pekerjaannya, Aredric tidak nyaman sekali dengan fakta satu itu. Selama ini ia tidak pernah tahu, apakah semua perkataan yang Tiffa katakan itu sungguh kebenaran atau hanya kebohongan.
Sejauh ini baru satu kebohongan yang ia temukan.
Setelah Gaubard selesai melukis, Aredric segera membayarnya lalu melanjutkan perjalanannya menuju rumah Tiffa.
Tapi saat ia sampai ke rumah, hanya ada Vian disana sedangkan Tiffa sedang pergi ke pasar. Calon adik iparnya itu tengah menjemur kain warna setelah sehari semalam direndam.
“Vian, aku maminta Gaubard untuk melukis Tiffa. Tapi aku tidak tahu apa warna matanya, jadi aku memintanya untuk memberi warna biru. Setelah ini akan kembali ke pasar untuk mengganti warnanya jika salah.” Ucap Aredric menyodorkan selembar kertas hasil lukisan Gaubard pada Vian.
“Lukisan? Bagaimana Gaubard bisa melukis kakakku sedangkan orangnya saja sedang berkeliling pasar.”
Vian mengelap tangannya pada bajunya lalu membuka gulungan lukisan itu dengan hati-hati. Takut tangannya yang basah merusak lukisan pesanan Aredric.
“Kau ini romantis juga ya. Biar aku lihat dulu.”
Tapi setelah Vian melihat hasil lukisan Gaubard, hampir saja air liurnya muncrat dan mengotori kertas lukisan itu karena tertawa tiba-tiba.
“Hahahaha Gaubard mungkin sudah gila. Kakakku tidak sejelek ini!” Aredric yang memang tidak pernah melihat seperti apa wajah Tiffa tentunya tidak bisa berkomentar apa-apa.
“Apakah sejelek itu? Kalau begitu aku tidak akan memberikannya pada Tiffa.” Vian masih saja tertawa melihat hasil lukisan itu.
“Tentu saja! Pipi kakakku tidak sebesar ini. Warna kulitnya juga tidak kuning seperti ini. Seharusnya putih pucat! Lihatlah bagian matanya! Hahahaha!”
“Kalau begitu apa warna matanya? Aku akan meminta ganti rugi pada Gaubard sekarang.” Tanya Aredric sengaja bertanya perihal warna mata. Vian mengusap air matanya karena terlalu keras tertawa.
“Mata kakakku berwarna merah. Bibirnya pink merona dan juga senyumannya tidak seperti ini. Hahahaha.”
Aredric semakin bingung sekarang. Kenapa Vian berkata warna mata Tiffa berwarna merah? Gaubard berkata berwarna biru dan Tiffa berkata berwarna hijau.
“Ck! Aku akan kembali ke pasar dulu.”
Ia pun segera pergi untuk mencari Tiffa. Tapi ternyata Tiffa sudah kembali saat mendengar suara langkah kaki dari arah dapur.
“Aredric? Sedang apa kau di belakang sini?” Aredric langsung gugup. Tapi karena suara tawa Vian terdengar sampai ke dapur, Tiffa tertarik untuk melihat ke belakang.
“Kenapa dia tertawa seperti itu? Apakah kepalanya terbentur sesuatu?” Tanyanya heran.
“Tidak ada! Ayo masuk.” Aredric segera mendorong Tiffa dan menghalangi pintu agar dia tidak menghampiri Vian.
Hari menjelang malam dan Aredric masih betah bertamu di rumah Tiffa. Calon istrinya itu adalah seorang pengepul kain dari berbagai kerajaan. Banyak saudagar kaya yang datang ke Agrelidus untuk membeli kain dari darinya karena kualitasnya yang terbaik.