Vian merasa prihatin sekali ketika melihat reaksi Aredric yang sekarang pura-pura mati atau lebih tepatnya pura-pura jadi patung di atas kursi roda. Ia mengambil roti dan selai dari keranjang yang disodorkan Aredric lalu memasukkannya ke dalam keranjang Marry.
“Dia buta.” Kata Vian santai sekali. Marry segera menutup mulutnya karena terkejut. Ia lantas memperhatikan Aredric dari dekat sampai berjongkok di depan kursi rodanya.
“Tapi biarpun begitu, dia punya kelebihan. Kelebihannya yang sempurna.”
Tiffa tersenyum pada Marry. Sedangkan Aredric tidak nyaman sekali saat ini.
“Baiklah. Aku akan membawanya ke istana sebentar.”
“Hum. Jika kau bertemu dengan Zera disana, tolong suruh dia pulang.” Tiffa mengangguk.
Mereka bertiga lantas pergi menuju istana. Sepanjang jalan itu pula Aredric bertemu dengan banyak orang. Mereka sangat ramah dan beberapa dari mereka bahkan memberinya makanan dan daging.
Setelah sampai di depan istana, Aredric merasa tersentuh sekali.
“Aku tidak menyangka jika orang-orang akan seramah itu padaku. Padahal aku ini … tidak seperti mereka.”
Vian kali ini gemas ingin memukul Aredric. Cukup bersabar ia selama perjalanan melihat seorang pria yang selalu berpikiran buruk setiap kali bertemu dengan orang lain.
“Dengar ini, Aredric. Kau ini seorang laki-laki. Berhentilah menundukkan kepalamu dan tegakkan punggungmu.” Ucap Vian tegas.
Kepala Aredric ditarik ke atas dan Vian sengaja mendorong punggungnya agar dadanya membusung seperti kesatria.
“Ya! Seperti inilah seorang laki-laki bisa dikatakan pria! Berhenti berpikiran buruk pada orang lain yang menyapamu. Dan percaya dirilah sedikit! Kau memang buta dan cacat, tapi wajahmu lumayan. Para gadis akan melirikmu jika kau seperti ini!”
“Ekhem!” Vian melirik Tiffa sekilas sebelum ia mengabaikan sang kakak.
“Aku akan mempelajarinya mulai dari sekarang.” Kata Aredric mulai terpacu untuk menjadi seorang pria sesuai dengan saran dari Vian.
“Jangan terlalu memaksakan diri.” Tiffa memperingatkan.
Mereka lalu masuk ke dalam istana.
Sebulan setelah seluruh masyarakat di pemukiman tahu siapa Aredric, ia jadi mudah berbaur. Bahkan banyak yang mencari Mometh karena pria tua itu sanggup membelah kayu untuk persedian api tungku.
Dan itu menjadi pekerjaannya selama sebulan ini. Sedangkan Aredric disibukkan dengan belajar. Tiffa mengajarinya banyak hal. Seperti tumbuhan dan juga beberapa hewan yang tidak pernah Aredric tahu sebelumnya.
Bahkan tentang kehidupan, Aredric belajar banyak dari Tiffa. Hampir tiga tahun berlalu, Ia juga menjalani pengobatan pada kakinya dan mulai belajar berjalan beberapa langkah.
Itu semua juga berkat Tiffa. Walaupun ia masih duduk di kursi roda, tapi ia berusaha untuk menggerakkan kakinya seperti kata tabib yang merawatnya.
Selama tiga tahun Aredric berinteraksi pada semua orang, ia jadi hafal semua lokasi dan bisa kesana kemari tanpa bantuan orang lain walaupun ia buta.
“Sayang sekali tabib tidak bisa menyembuhkan matamu.” Aredric tersenyum kecil.
Semilir angin yang menerpa wajahnya seperti menerbangkannya mengikuti kemana angin membawanya. Aredric duduk di atas savana, tepat di belakang istana yang menjadi markasnya dengan Tiffa selama ini.
Tangannya mengelus kepala Tiffa di atas pangkuannya. Tiffa menggunakan paha Aredric untuk dijadikan alas kepalanya sambil memainkan rumput di tangannya.
“Aku tidak keberatan buta selamanya. Yang terpenting saat ini aku sudah puas dengan keadaanku yang sekarang.” Tiffa tersenyum kecil.
“Ada fenomena langit yang menakjubkan setiap sehabis hujan.”
Aredric ikut tersenyum dan tangannya beralih mencubit hidung Tiffa. Tiffa segera membalasnya dan tak lupa ia menggelitiki hidung Aredric dengan ujung rumput.
“Fenomena apa itu?”
“Entahlah, aku juga belum tahu itu apa. Tapi, saat hujan berhenti di siang hari, langit mengeluarkan warna-warna yang cantik sekali.”
“Benarkah? Mungkin ada seseorang yang mengecat langit.” Tiffa tertawa mendengar candaan Aredric.
“Tidak mungkin seperti itu.”
“Mungkin sekumpulan angsa yang muntah ketika terbang.” Aredric kembali membuat lelucon sampai Tiffa tertawa membayangkan angsa-angsa muntah di langit.
Tapi karena memang cuacanya sedang mendung hari ini, Aredric mulai mencium aroma hujan yang dibawa oleh angin.
“Sebaiknya kita pulang sebelum hujan turun.” Tiffa mengangguk lalu bangun dari posisi rebahannya di atas rumput.
Saat Tiffa membantu membawakan kursi roda Aredric, tiba-tiba hujan turun. Mereka berdua lantas tertawa dan sekaligus panik karena terlambat pulang sebelum hujan turun.
Mereka berdua lantas berteduh di sebuah pondok kecil yang mereka buat. Dan menunggu disana sampai hujan reda. Aredric melamun sambil mendengar rintikan hujan.
Sedangkan Tiffa mengadahkan tangannya untuk menikmati dinginnya air hujan yang menyapa tangannya.
“Aku dengar kemarin kau pergi bersama Jeronna saat festival.” Ucap Tiffa tiba-tiba. Aredric menundukkan kepalanya sambil tertawa kecil.
“Aku kebetulan disuruh ayah untuk membeli selai merah di acara festival. Kau tahu sendiri kan selai merah hanya ada saat festival saja. Dan secara kebetulan aku bertemu dengannya dan kami menuju festival bersama.”
Aredric tidak lagi mendengar Tiffa bersuara. Tapi percikan air dari tangannya yang tengah bermain air mengenai kakinya. Tiffa sedang marah padanya.
“Baiklah, baiklah. Aku akan cerita semuanya secara lengkap. Jeronna memang mengajakku kesana kemari untuk menemaninya. Tapi dia lupa bahwa aku duduk di kursi roda. Dia mengajakku ikut menari bersama yang lain tapi aku tidak bisa. Lalu marah padaku dan sekarang dia malu untuk bertemu denganku.”
Itu kejadian paling aneh bagi Aredric. Ia tidak terlalu akrab dengan para gadis, tapi entah kenapa mereka terus menerus menghampirinya. Ia merasa Tiffa masih saja marah padanya dengan sengaja menyenggolnya pelan.
“Masih marah?” Tanyanya membujuk Tiffa. Tapi tiba-tiba saja percikan air mengenai wajahnya.
“Kau senang digandrungi banyak wanita. Mengaku saja!” Aredric langsung tertawa sampai Tiffa dibuat semakin kesal.
“Tapi tampaknya ada satu wanita yang tidak senang digandrungi pria sepertiku.”
Tiffa langsung menoleh cepat pada Aredric. Senyumannya mengembang, ia pun menyandarkan dagunya di atas lengannya sambil memeluk kedua lututnya.
“Mungkin saja wanita itu tidak suka kau selalu tebar pesona pada semua gadis.”
Aredric adalah lelaki impian bagi Tiffa. Lama ia bersama dengannya, semakin ia jatuh cinta dan merasa hatinya telah menemukan pelabuhan untuk bahteranya bersandar.
“Aku terpaksa melakukannya… Aku tidak percaya diri untuk memintanya. Karena kami sudah berteman sejak lama dan juga aku seorang pria butA dan cacaT yang hanya akan menjadi beban sepanjang hidupnya.”
Tiffa kehilangan senyumnya. Ia menyentuh pipi Aredric dan mengarahkan wajah pria itu untuk menatapnya.