Lalu lantai yang rata? Apakah lantainya terbuat dari kayu yang permukaannya sudah dihaluskan?
Tiffa lalu membawa Aredric masuk ke dalam rumah lalu membiarkan pria itu merasakan kenyamanan di dalam rumah itu.
“I-ini dinding batu?” Tanya Aredric ketika tangannya meraba dinding batu yang dimaksud Tiffa.
“Ya. Kau bisa menempelkan pipimu kesana. Dinding batu ini akan terasa dingin jika malam tiba.” Ucap Tiffa bercanda.
Tapi senyumnya hilang karena Aredric sungguh menempelkan pipinya ke dinding. Bahkan parahnya Mometh sang ayah juga ikut melakukan hal yang sama.
“Ini luar biasa sekali….” Kata Aredric tiba-tiba ingin memeluk dinding berlama-lama karena memang dindingnya dingin seperti perkataan Tiffa.
Rumahnya yang dulu seluruhnya menggunakan kayu. Dindingnya pun juga terbuat dari kayu yang dimana jika musim panas datang, rumahnya terasa panas sekali.
“Baiklah, aku akan mengantarmu ke dalam kamar.”
Tiffa menarik kedua pundak Aredric perlahan agar pria itu berhenti memeluk tembok. Mometh mengekori di belakang Tiffa. Tapi saat melihat ke dalam ruangan, Mometh terkagum-kagum dengan isinya.
“Ya tuhan… Kamar ini sangat nyaman sekali.”
Aredric yang mendengar perkataan ayahnya semakin bertambah penasaran. Tiffa lantas mendorong kursi roda Aredric ke tepi ranjang. Ia menarik tangannya perlahan untuk meraba ranjang empuk itu.
“Apa ini? Kenapa lembut sekali?” Tanyanya begitu polos. Tiffa tersenyum lalu duduk disana.
“Ini adalah tempat tidurmu. Tempat tidurmu sudah diberi alas lapisan bulu angsa yang tebal. Jadi tubuhmu tidak akan terasa sakit jika tidur di atasnya. Dan juga bantalnya, lehermu tidak akan sakit jika kau merebahkan kepalamu di atasnya.”
Mometh juga ikut duduk di atas ranjang dan tertawa senang kemudian.
“Benar! Empuk sekali duduk di atas sini!” Ujarnya dan langsung diikuti oleh Aredric.
Ia bertopang pada kursi roda lalu berusaha memindahkan tubuhnya dari sana untuk ikut duduk di atas tempat tidurnya. Senyumnya langsung merekah saat merasakan bokongnya tidak lagi sakit karena terlalu lama duduk di atas tempat yang keras.
“Benar Yah! Empuk sekali!”
Tiffa menutup mulutnya karena ingin sekali tertawa melihat kehebohan ayah dengan anak itu yang baru merasakan rasanya duduk di atas ranjang bulu angsa.
Setelah semua kegembiraan itu, Tiffa meminta Mometh untuk mengikutinya. Ia memperkenalkan ruangan yang lain. Seperti kamar mandi dan juga dapur.
Saat semua barang selesai dibawa masuk, Tiffa berpamitan dan berpesan pada Aredric akan datang berkunjung saat siang hari ini.
Aredric dan Mometh juga langsung istirahat di dalam kamar mereka masing-masing dengan perasaan senang dan nyaman.
Keesokan harinya, sesuai janjinya, Tiffa datang berkunjung. Kali ini dengan Vian yang berpakaian biasa.
“Oh! Nona Yovanka! Silahkan masuk!”
Vian kaget sekali saat Mometh menyambut mereka di depan pintu. Dia berteriak keras seperti sedang memaki-makinya.
“Ada apa dengan pria tua ini?” Ucapnya langsung menantang. Tapi Tiffa langsung menyikut perut sang adik.
“Ini kebiasaan mereka disana.” Bisiknya meminta pada Vian untuk memakluminya. Tiffa lalu masuk ke dalam rumah dan Vian mengikuti kakaknya.
“Aredric ada di kamarnya. Aku ada di belakang jika kau membutuhkanku.” Kata Mometh langsung pamit karena ia tengah memotong-motong kayu untuk menyalakan tungku.
Tiffa pun mengiyakan lalu pergi ke kamar Aredric. Tapi betapa terkejutnya ia ketika membuka pintu. Vian bahkan sampai menutup mulutnya saking terkejutnya dengan apa yang dilihatnya.
“Aredric? Kau sedang apa?” Tiffa langsung menghambur masuk.
Aredric terlungkup di atas lantai dengan tangan yang ia gerak-gerakan seakan ia tengah berada di atas pasir pantai. Tiffa tentu saja langsung membantunya duduk dan membersihkan pakaian belakangnya yang dipenuhi pasir.
“Lantainya juga dingin.” Ucap Aredric tanpa malu lagi jika dihadapan Tiffa. Tapi Vian, dia masih berdiri di depan pintu dengan ekspresi tertohok luar biasa.
“Ya tuhan… Baru kali ini aku melihat manusia memeluk lantai dengan gembiranya.” Ucapnya speechless dibuatnya.
Aredric lantas terlonjak karena mendengar suara asing di dalam kamarnya. Tiffa menggelengkan kepalanya karena tidak menyangka juga Aredric akan sepolos ini.
“Aredric, ini adikku. Vian. Dia tinggi sepantaran denganku. Wajahnya menyebalkan dan sifatnya menjengkelkan. Kau jangan mau berteman dengannya, okay?”
“Hey, itu kasar sekali.” Vian segera menegur kakaknya. Ia sengaja duduk di atas kursi roda milik Aredric dan memainkannya.
Aredric yang belum pernah bersosialisasi dengan orang lain jadi merasa canggung. Selama ia tinggal di rumahnya lama, hanya ayahnya dan udara kosong yang sering ia ajak bicara.
“A-aku belum pernah berbicara dengan banyak orang. Jadi aku tidak tahu harus mengatakan apa.” Vian mengangguk kecil menatap Aredric dengan ekspresi cueknya.
“Santai saja. Aku juga tidak mudah akrab dengan orang yang baru dikenal.” Entah sudah yang keberapa kalinya Tiffa memutar matanya karena terlalu malas menanggapi Vian.
“Aku kemari ingin mengajakmu ke istana dan melihat-lihat. Sekalian berkenalan dengan penduduk disini.” Aredric langsung tegang dan panik.
“A-aku… L-lebih baik aku di rumah saja. Aku pikir tidak banyak orang yang ingin tahu siapa aku.”
Tiffa paham jika Aredric masih takut dan malu. Dia belum pernah berbaur dengan masyarakat. Itulah kenapa Tiffa sengaja mengajaknya untuk berkenalan dengan para penduduk.
“Setiap ada keluarga baru yang pindah ke pemukiman ini, ada tradisi dimana orang baru harus menyapa para tetangganya dan membagikan makanan. Aku sudah membawakan roti dan juga selai. Kau bisa membagikannya pada mereka.”
Vian yang mulai asik bermain kursi roda milik Aredric mulai bersiul pelan.
“Ya. Kau harus menyapa mereka. Jika kau tidak menyapa, mereka bisa mengira kau orang jahat.”
Ucapan Vian langsung mengganggu pikiran Aredric. Dan ia akhirnya goyah dan mau mengikuti saran dari Tiffa.
Setelah ia keluar rumah, ia mendengar suara berisik orang yang sedang bercakap-cakap dengan satu sama lain. Suara anak-anak kecil yang tertawa dan juga sepoi angin.
“Oh? Nona Tiffa. Lama sekali rasanya aku tidak melihatmu lagi. Bagaimana jalan-jalannya? Apakah menyenangkan?”
Wajah Aredric langsung pucat dan ia semakin menggeggam erat keranjang roti di atas pangkuannya.
“Sangat menyenangkan. Oh! Perkenalkan, dia Aredric. Semalam baru saja pindah kemari.”
Tiffa memperkenalkan. Kedua tangan Aredric gemetaran ketika ia mengangkat keranjang roti itu pada seorang wanita yang tengah berbicara dengan Tiffa.
“Oh~ Dia tampan sekali. Aku Rosemarry, panggil aku Marry. Aku tinggal tiga rumah dari rumahmu.”
nnnn nnnnn nnnñ nnnnnñ nnnnnnn nnnnnn. nnnnn nnnnnn nnnn nnnn nnnn nnnn