Rivaille masih setia mendengarkan.
“Ketika ia dibuang, ada satu malaikat yang membelanya. Dia ikut dibuang ke bumi karena membela perbuatan dosa yang dilakukan Lucifer. Malaikat itu bernama Cleis.”
Tiffa terus melanjutkan cerita dari para leluhurnya tentang asal usul keturunan mereka.
“Cleis jatuh cinta pada Lucifer dan memilih untuk mengikutinya ke bumi lalu hidup bersama. Mereka dikaruniai tiga orang bayi manusia, putra pertama mereka Yovanka, kedua Xandes dan terakhir Lusorius.”
Rivaille sekarang paham kenapa kecantikan Tiffa seperti malaikat salah hunian. Ternyata memang dia garis keturunan para malaikat.
“Tapi Lucifer yang keras hatinya tidak ingin ketiga putranya melebihi keindahannya. Ia berniat untuk membunuh ketiganya karena takut tersaingi. Sang ibu, Cleis melindungi anak-anaknya dan mengutuk Lucifer menjadi iblis. Cleis pun tewas dan ketiga anaknya selamat. Lucifer tidak terima, ia menjadi iblis paling mengerikan dan menjadikan ketiga anaknya sebagai vampir.”
Rivaille termenung. Apakah itu dongeng di zaman dulu? Tapi Tiffa mengingat cerita itu yang selalu diceritakan oleh ayahnya ketika kecil.
“Dan ketiga putra Cleis memiliki keturunan dan menjadi ras sampai pada kau dilahirkan.” Tiffa mengangguk.
Tangannya membuka lembar selanjutnya yang dimana ada tiga raja yang berdiri di bawah cahaya nirwana.
“Yovanka, Xandes dan Lusorius… Keturunan mereka semua bersaudara sejak ratusan ribu tahun lamanya. Walaupun sering terjadi perselisihan, para leluhur selalu mementingkan jalan perdamaian.”
Tiffa kembali membuka lembar selanjutnya. Itu adalah gambaran tentang vampir wanita yang memangku dua kepala raja di pangkuannya. Lidahnya sempat kelu sesaat.
“Tapi putri tertua Yovanka kehilangan akal sehatnya karena ambisi bodohnya sendiri… Dia menginginkan kekuasaan yang lebih tinggi. Kesombongan itu membutakan hatinya… Dia membantai seluruh keturunan Xandes dan Lusorius… Termasuk kedua orang tuanya.”
Rivaille membatu di tempatnya. Putri tertua Yovanka itu, adalah Tiffa. Ia tertunduk dan menatap deretan keramik di bawah kakinya. Pikirannya tidak bisa berhenti membayangkan bagaimana kegilaan itu terjadi di masa lalu.
Ia tidak menyangka jika kisah sebenarnya seperti itu.
“Karena arogansi itu, wanita ini terus membunuH. Baik vampir ataupun manusia… Dia haus sekali dan semakin gila seakan jika sehari ia tidak melampiaskan emosinya, ia merasa seperti tercekik… Itu berlangsung sampai ribuan tahun lamanya….”
Dari apa yang Tiffa katakan barusan, Rivaille merasa ia sudah merasakan hal itu saat tadi ia membantai hampir separuh pasukan Alereria seorang diri.
“Dan kegilaan itu akhirnya mencapai puncak kejayaan. Tapi Lucifer kembali merasa tersaingi. Ia selama ini terus bersembunyi, ketika seluruh dunia membicarakan kebengisan wanita itu, ia menampakkan diri… Wanita yang merasa paling hebat dengan kekuatan yang tiada tertandingi itu kembali dikutuk oleh Lucifer….”
Tiffa sampai pada halaman terakhir. Disana adalah gambar paling menyedihkan yang dimana wanita yang berjaya itu akhirnya tumbang karena kutukan.
“Dia dikutuk untuk selalu kelaparan. Sebanyak apapun ia meminum darah manusia, tidak akan pernah membuatnya bertambah kuat lagi dan tidak akan merasa kenyang… Inti jiwanya telah dirusak. Hanya darah manusia yang membuatnya bisa bertahan hidup sampai sekarang. Dan ketika ia bangun dari hibernasi untuk pertama kalinya… Ia merasa sangat kelaparan… Tapi puluhan orang yang dimangsanya tidak pernah membuatnya merasa kenyang.”
Rivaille tertegun. Kemarin sebelum Tiffa hibernasi, ia merasakan inti jiwa wanita itu hampir hilang. Entah apa yang terjadi kenapa bisa sampai separah itu. Matanya melirik ke arah tulisan yang agak tebal disana. Ia menunjuknya.
“Lucifer….” Rivaille tidak mengangguk. Jadi bayangan hitam besar itu adalah sosok iblis itu, Lucifer.
Tiffa menutup buku itu dan memandangi buku itu sebelum ia menghancurkannya dengan api biru yang cantik.
“Kerajaan Yovanka pun runtuh setelah putri tertua mereka sekarat. Sejak saat itu kehidupan di bumi kembali normal. Kejayaan Yovanka ternyata membawa neraka turun ke bumi bagi semua makhluk… Putri tertua Yovanka lalu hidup mengasingkan diri bersama adik laki-lakinya ke sebuah negeri yang damai.”
Tiffa menoleh dan menatap Rivaille sambil tersenyum.
“Dan disana... putri tertua Yovanka menemukanmu… Aredric.”
Rivaille untuk beberapa detik belum menangkap siapa Aredric ini. Tapi ketika melihat senyuman Tiffa terarah padanya, alisnya langsung mengkerut.
“Aku… Aredric?” Tanyanya dengan nada tidak percaya.
Tiffa mengangguk sekali, sengaja ia mengalihkan pandangannya ke arah jendela kamarnya. Ia masih ingat jelas bagaimana ia bertemu dengan sosok Aredric yang istimewa itu.
-Flash back-
Di sebuah lahan yang luas, dengan rerumputan yang menguning dan kering. Musim panas menyerap semua kesejukan dari semua tumbuhan yang ada. Bahkan malam hari ini hawa panas masih saja terasa.
Tujuh buah kereta bertenaga kuda melintasi jalan setapak menuju sebuah istana. Salah satu kereta yang diatasnya tertutup oleh sebuah kain putih untuk melindungi dari teriknya matahari itu berhenti.
Dari kereta itu, turunlah seorang pria tua yang terlihat gembira sekali. Topi lusuh yang dikenakannya dibuka dan memperlihatkan kepala plontos yang mengkilap terkena sinar bulan.
“Istana ini besar sekali! Aredric! Istana ini lebih besar dari istana tempat kita dulu!” Pekiknya memanggil seseorang yang ada di dalam kereta.
“Mulai sekarang, Anda dan Aredric akan tinggal di kawasan istana ini. Ayo! Sebentar lagi kita sampai di dalam.”
Mometh berbalik dan bergegas kembali naik ke dalam kereta. Tak lupa ia memakai topinya dan tersenyum senang kegirangan. Tiffa yang tadinya ikut turun pun ikut masuk juga.
Dan kereta yang mengangkut mereka itu kembali bergerak menuju gerbang istana.
“Baiklah, Aredric. Selamat datang di istana Agrelidus.” Ucap Tiffa menyambut keduanya setelah mereka sampai di depan gerbang.
Semua barang yang dibawa oleh Aredric dan Mometh tidaklah banyak. Hanya tiga buah kotak besar yang berisikan pakaian. Tidak ada barang berharga lain selain koin emas pemberian Tiffa sewaktu di istana sebelumnya.
Aredric yang masih di dalam kereta itu dibantu turun oleh para pelayan Tiffa. Ekspresinya sama antusiasnya dengan sang ayah karena tidak sabar sekali ingin menempati rumah barunya.
“Tolong jelaskan padaku seperti apa keadaan rumah baruku.” Kata Aredric saat merasa kursi rodanya di dorong oleh seseorang.
“Rumahmu punya dua jendela dan satu pintu berwarna hijau.” Kata Tiffa yang membuat Aredric malu sekali. Ia mengira orang yang mendorong kursinya orang lain.
“Aku rasa cukup nyaman.” Ucapnya menghentikan Tiffa untuk mendeskripsikan rumahnya lebih lanjut.
“Tentu saja. Dinding rumahmu terbuat dari susunan batu dengan lantai yang rata. Kursi rodamu tidak akan tersandung jika berlalu lalang di dalamnya.”
Aredric seketika semakin penasaran. Seperti apa dinding batu itu?