Mereka bertiga belum pernah merasakan seperti apa ilusi rasa sakit dari Amudith. Tapi saat Rivaille melihat adiknya yang sebagai penyalur kekuatan itu merasakan sakit yang tiada tara, ia akui kekuatan Amudith tidak main-main.
“EL!” Rivaille berteriak memanggil adiknya.
Dengan demikian teriakan itu mengalihkan perhatian Amudith padanya. Elunial segera membawa kakak keduanya menjauh dari Amudith.
Pertarungan berlangsung sengit sekali antara Rivaille dan raja Alereria. Rivaille yang menggunakan ilusi sepertinya adalah lawan yang tepat.
“Kau akan mati ditanganku, HEDDWYN!” Teriak Amudith membahana.
Rivaille yang memiliki kekuatan telekinesis akan sangat cocok berhadapan dengan Amudith. Ketika laki-laki tua itu mengirimkan rasa sakit padanya, Rivaille sempat terjatuh.
“Gahhh!”
“Hahahaha! Matilah kau! Heddwyn!” Teriaknya
Amudith tertawa senang melihat Rivaille jatuh berlutut dan mengerang kesakitan di atas tanah. Tapi itu tidak berlangsung lama karena Rivaille langsung memfokuskan pikirannya.
Tiba-tiba saja tawa Amudith terhenti dan tubuhnya tiba-tiba saja melayang di udara. Otomatis fokus pikiran Amudith juga terhenti dan tidak mengirimkan rasa sakit itu pada Rivaille.
“Berengsek! Terkutuk kau Heddwyn!” Amudith berteriak kalap.
“Eredith! Elunial!”
Elunial juga dengan segera berlari untuk menghabisi Amudith. Seluruh pemimpin regu Heddwyn yang menyaksikan itu segera berlari menuju Eredith.
Caraniel, Glarambor, Urion dan Maiden mengeluarkan kekuatan terkuat mereka. Eredith tentu saja bersiap memasang badan.
BOOMM!
Setelah Elunial berhasil memukul Amudith, Eredith yang sudah menerima seluruh kekuatan pukulan dari keempat vampir kepercayaan Heddwyn itu segera berlari menuju Amudith.
Rivaille tetap mempertahankan telekinesisnya pada Amudith dan-
BOOOMMMM!
Ledakan yang jauh lebih kuat dari sebelumya terdengar keras memekakan telinga. Elunial dan Rivaille sampai terhempas tapi masih bisa bertahan dari ledakan itu karena berada dekat dengan Amudith.
Seluruh pasukan kembali terdiam. Alereria yang tiada tanding itu akhirnya jatuh. Seluruh pasukan yang tersisa berlutut di atas tanah saat raja mereka telah mati.
Sorak sorai pasukan Heddwyn juga terdengar nyaring memeriahkan kemenangan pertama mereka. Rivaille dan kedua adiknya juga tak kalah bangga dengan kerja keras mereka.
“HEDDWYN!” Elunial berteriak semangat.
Uforia para pasukan Heddwyn menggema. Suara teriakan kegembiraan itu terdengar sampai disebuah gereja tua Kongsberg. Bersebelahan dengan sekolah TK dan sedikit ke arah timur dekat lokasi pertempuran itu.
Vian yang sejak tadi hanya duduk diam di dalam gereja tidak melakukan kegiatan yang berarti. Matanya menatap patung besar sesembahan di hadapannya dengan tatapan sendu.
Tiffa sudah menceritakan semuanya siang tadi. Lalu sekarang ia mengikuti tiga bersaudara itu berperang di Kongsberg secara diam-diam. Kemelut pikirannya tidak ingin menerima masa depan memilukan seperti itu.
Tiga bersaudara itu jelas seperti kisah di zaman dulu. Kisah para leluhur tiga ras keturunan Cleis. Di masa depan, ketiga putra Cleis akan saling bertikai untuk menjadi pemimpin.
Ikatan erat saudara kandung itu cepat atau lambat akan hancur. Karena keegoisan salah satunya yang berambisi untuk menjadi yang terkuat.
Dan sialnya orang yang akan menjadi seperti Tiffa adalah Rivaille. Reinkarnasi Aredric. Lautan api dan teriakan pilu dari masa lalu akan terulang di masa ini.
Jika saja Vian bisa merubah itu, ia ingin merubahnya. Tapi takdir telah menetapkannya seperti itu. Lalu di zaman ini Tiffa dan Vian hanya bisa menyaksikan semua itu terjadi di depan matanya. Tapi dengan sudut pandang yang berbeda.
“Memang sebaiknya kita mati sejak lama agar tidak menyaksikan semua kegilaan ini lagi, Tiffa." Gumamnya miris.
Ia pun berdiri dan beranjak pergi. Setelah ini, apapun keputusan kakaknya, Vian akan mengikutinya sampai akhir. Jika memang ia ditakdirkan mati saat itu, maka ia akan menerimanya.
'Sebagai lelucon tentang takdir yang bercanda dengan waktu.'
-Kerajaan Heddwyn-
Setelah peperangan itu selesai, Rivaille meminta kedua adiknya untuk tinggal beberapa hari disana untuk mengatur urusan kerajaan Alereria. Sedangkan Rivaille dengan beberapa pasukan pulang ke kastil mereka karena tidak boleh membiarkan kastil kosong melompong.
Pasukan yang mengantar Rivaille pun segera beristirahat dan berpesta sesuka hati mereka. Rivaille sendiri bergegas pergi menemui Tiffa yang seperti janjinya bahwa ia akan segera kembali.
Langkah kakinya semakin cepat dan langsung masuk ke dalam kamar seperti biasa. Dan matanya bertemu tatap langsung dengan Tiffa. Jubah kerajaan yang ia kenakan tadi sudah berada di pakuannya.
Perasaannya cukup lega karena Tiffa sungguh menunggunya kembali.
"Aku berhasil menaklukan Alereria." Ucapnya bangga.
Tapi Tiffa tidak tersenyum. Ia kembali tertunduk dan mengelus jubah miliknya itu. Ekspresinya masih sama seperti terakhir kali mereka berpisah.
"Berapa banyak vampir yang kau bunuH hari ini?"
Rivaille yang tadinya hendak melangkah mendekati Tiffa tiba-tiba langsung terhenti. Sayang sekali ia tidak bisa mengingat tepatnya berapa nyawa yang sudah ia lenyapkan hari ini.
"Kau menikmatinya kan?" Tiffa kembali bertanya.
Tapi pertanyaan itu sangat membekas di hati Rivaille. Ya, ia ingin berkata dan mengiyakan dengan bangga. Rasa haus darah yang membuatnya ketagihan sampai hampir saja Rivaille lupa diri.
“Aku-”
Rivaille tercekat ludahnya sendiri saat matanya melihat sebuah buku tua yang dibawa Eredith kemarin. Dan ia langsung menyimpulkan bahwa Tiffa sudah menggeledah kamarnya selagi ia tidak ada.
“Aku akan menceritakan kisah di dalam buku ini.” Ucapnya dengan nada dingin. Rivaille segera merebut buku itu dari tangan Tiffa.
“Kau menggeledah kamarku?” Tiffa sempat diam sesaat.
“Aku sudah tahu semuanya sejak aku menginjakkan kaki di lembah ini. Ruang rahasia di bawah tanah dan lorong yang diselimuti mantra darah di kamarmu… Lalu sekarang kau sudah tahu siapa aku sebenarnya. Dan seperti apa aku di masa lalu.” Tiffa menyentuh dahinya sebentar “Kau….”
Dan Tiffa kehilangan kata-kata. Kata apa yang cocok untuk Rivaille saat ini? Mengerikan? Titisan iblis? Ingin sekali rasanya Tiffa tertawa. Dulu semua vampir mengatakan dirinya demikian.
Rivaille yang melihat Tiffa seperti tengah tertekan itu lantas menghampirinya. Ia duduk di sampingnya dan memberikan buku itu pada Tiffa.
“Apa yang terjadi di masa lalu?”
Tiffa menatap buku itu dan membukanya. Ia tersenyum kecil saat melihat halaman pertamanya.
“Ini adalah kisah seorang pendosa yang yang dikutuk karena perbuatannya yang tidak masuk akal.” Rivaille ikut menatap gambar di halaman depan itu.
Padahal dari gambarnya terlihat keren. Tapi ternyata isinya semenyedihkan itu.
“Sebelum adanya bangsa vampir, leluhurku keturunan pertama dari Cleis adalah manusia biasa.” Tiffa mulai menceritakan awal mula bagaimana vampir ada di zaman dahulu.
“Dahulu, ada malaikat yang dibuang ke bumi dari nirwana. Malaikat itu bernama Lucifer. Dia malaikat berhati keras dan paling sombong di nirwana.”