Bab 19. The Past

2082 Kata
Hanya sebagian orang yang bisa menggunakan mantra darah dengan sempurna. Dan dari apa yang Vian lihat dari mantra darah yang digunakan untuk menutupi sesuatu di dalam tanah itu belum sempurna karena efek tidak terlihatnya masih bisa terbaca oleh Tiffa dan Vian. Vian kemudian kembali ke dalam kamarnya lagi. Merasa bodoh sekali memandangi keluar jendela padahal sedang badai. Lebih baik ia memandangi wajah kakaknya yang cantik dari pada seperti pria gundah gulana yang putus cinta memandangi hujan. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Vian masih nyaman dengan posisi rebahan di atas sofa sambil bermain game di ponselnya. Semalaman penuh ia menjaga Tiffa agar dia benar-benar hibernasi. Tapi pagi-pagi sekali juga pintu kamarnya diketuk oleh aura tidak dikenal di depan pintu. Tok tok tok Vian lantas menurunkan kakinya dari punggung tangan kursi dan duduk dengan sempurna sambil tetap memainkan gamenya. Tidak berniat bertegur sapa dengan siapa pun di pagi hari. Tradisi paginya yang sacral agar moodnya tetap bagus seharian penuh. “Ada urusan apa?” Tanya Vian dengan nada tidak niat sama sekali. ‘Mengantarkan pakaian ganti untuk para tamu.’ Baik hati sekali kerajaan ini memberinya pakaian untuk ganti. Vian kemudian meletakkan ponselnya setelah layar ponselnya tertera tulisan WIN. Sebenarnya mereka tidak perlu repot-repot memberinya pakaian ganti karena Vian bawa pakaiannya sendiri. Dengan langkah malas Vian berjalan ke arah pintu. Wajahnya lesu dan semalam ia tidak tidur demi menjaga kakaknya tercinta dari gangguan vampire liar disini. Mungkin saja ada bukan? Vian tidak tahu saja bahwa Tiffa hampir di macam-macami oleh Rivaille kemarin. Cklek Di depan pintunya, Vian melihat seorang vampire berbaju putih polos dengan sebuah kalung mantra pengikat di lehernya. Cukup unik sebenarnya, tapi Vian malah merasa kerajaan ini terlalu ketat jika para pelayan harus disumpah seperti itu. Pelayan pria itu tidak berani mengangkat wajahnya untuk memandang lawan bicaranya ketika ia memberikan pakaian kepada Vian. Betapa membosankannya jika ia menetap di kerajaan ini dalam waktu seminggu saja. “King Heddwyn mengundang anda untuk hadir di gazebo belakang satu jam lagi.” Ucap sang pelayan yang kemudian langsung undur diri dari hadapan Vian. Walau dengan ekspresi datar dan nyaris tidak peduli, Vian jujur saja penasaran dengan ruang bawah tanah itu. Mungkin saja jika ia hadir di acara pagi mereka, ia bisa sedikit mendengar informasi terbaru bukan? Ia pun segera bersiap-siap. Setengah jam lebih awal, Vian dengan rajinnya keluar dari kamar tamu dan kemudian berjalan-jalan sebentar untuk mengamati keadaan sekitar. Burung-burung berkicau, bunga-bunga bermekaran. Pemandangan yang biasa ia lihat ketika dalam masa kejayaan dulu. Dan sedikit tambahan, aroma abu yang baru hilang ketika pagi menjelang setiap kali Tiffa selesai menyerang kerajaan lain. Haahh… Vian sedikitnya rindu dengan masa itu. Selagi Vian berjalan-jalan pagi, Rivaille sudah memantau dari gedung sebelah untuk mengamati kamar tamu yang masih tertutup rapat. Gorden berwarna merah marun itu masih menghalangi beberapa pasang mata yang ingin mengintip ke dalam. Termasuk Rivaille saat ini. Keinginannya untuk melihat Tiffa hari ini harus terbayarkan lantaran kemarin ia belum sempat berbicara banyak. Kutukan apa yang sedang diderita wanita itu? Jika ia menyerap seluruh kekuatan dari wanita itu, apakah kutukannya akan menimpa kepadanya atau tidak? Rivaille di pagi harinya yang sudah sangat sibuk berpikir. Padahal adiknya, Elunial baru saja tertidur pagi ini karena semalaman ia bergadang mengerjakan proyek pesawatnya. Ia duduk di balkon kamarnya dengan wajah yang masih saja terlihat marah. Padahal memang seperti itulah wajah asli Rivaille yang sedang dalam mood biasa saja. Bayangan Iefan ketika melihat ekspresi putranya pagi ini adalah suram. Ia bahkan mengusir Rivaille dari gazebo belakang istana karena mengganggu mood. Dan disinilah ia, duduk dan menikmati pagi seorang diri. Sinar matahari akan terlihat sekitar pukul dua belas siang karena kondisi kerajaan yang ada di lembah. Menikmati pagi di belakang istana hanya untuk melihat sesuatu yang masih berkabut. Ketika asik melamun memikirkan masa depannya, Rivaille melihat sosok kepala pirang bercepol itu sedang berjongkok di dekat semak-semak. Sempat berpikir bahwa dia sedang melakukan sesuatu yang maksiat di semak-semak. Awalnya saja, Rivaille berdiri dari posisi duduknya dan memperhatikan pria itu lagi. Tidak peduli apa yang dilakukan pria gila itu, yang terpenting adalah Tiffa seorang diri di kamarnya. Sambil tersenyum misterius, Rivaille beranjak dari balkon kamarnya dan bergegas menuju kamar Tiffa. Dengan perasaan senang karena mendapat kesempatan lagi, Rivaille sedikit bersemangat untuk menemui Tiffa. Dan sayangnya wanita itu masih hibernasi ketika ia datang. ‘Ck! Aku harus menunggu sampai dia bangun empat hari lagi. Sialan!’ Batin Rivaille bersedekap kesal. Padahal ia sudah semangat sekali tadi. Karena merasa sia-sia menatap vampire yang sedang hibernasi, Rivaille sudah hendak kembali ke kamarnya sampai sebuah pikiran laknat merasuki otaknya. Jiwanya mendadak sejahat iblis sekarang. ‘Bagaimana jika aku bangunkan saja?’ Rivaille lantas tersenyum jahat lalu berjalan mendekati ranjang tempat dimana Tiffa berbaring saat ini. Rivaille bukannya ingin berpikiran kotor, tapi memang disaat seumuran dirinya, sudah waktunya ia untuk mencari pasangan untuk bereproduksi. Sayangnya pelampiasan nafsunya tidak ada. Hanya ada vampire membosankan yaitu wajah-wajah penghuni kerajaan. Bagaimana jika alat reproduksinya tidak berfungsi karena terlalu lama mendekam di dalam lembah? Minimal ayahnya itu membiarkannya untuk membawanya berpergian minimal satu kali dalam seratus tahun. Tapi Iefan tidak melakukannya. Membuat Rivaille seperti perjaka pingitan yang menunggu tuan putri melamar dirinya. Cuih! Tidak sudi sekali. Gelar macam apa yang sedang ia sandang ini. Memikirkannya saja Rivaille bisa sakit kepala. Ia kini menaikkan satu kakinya ke atas ranjang. Masalah bagian tubuh mana yang akan ia sentuh, ia akan pikirkan nanti. Sekarang yang terpenting adalah memandangi wajah cantik itu dulu sampai puas kemudian memulai aksi bejatnya. ‘Wajahnya benar-benar cantik. Apakah orang jaman dulu cantik-cantik?’ Rivaille sudah berani menyentuh poni Tiffa tanpa ragu. Mengagumi pahatan indah dari wajah cantik bagai sentuhan lembut seperti porcelain di wajah Tiffa. Perhatian Rivaille sekarang beralih pada lekukan cantik dan lentik bulu mata itu. Mata indah bagai permata sapphire itu bersembunyi dibalik kelopak matanya yang tenang. ‘Wanita ini sungguh….’ Jari jemari Rivaille dengan cepat menjelajahi setiap inci wajah itu. Mulai dari pipi hingga ibu jarinya yang perlahan membelai lembut bibir ranum itu. Apakah ini bibir yang sama ketika ia melihat Tiffa tersenyum padanya? ‘Lembut….’ Rivaille kini sudah sepenuhnya kehilangan akal sehat. Ia harus membangunkan wanita ini sebelum pria cepol itu datang dan kembali mengganggu. Tapi keraguan mulai menjamah pikirannya. Jika wanita ini sungguh terbangun, lalu alasan apa yang harus ia katakan? ### Pikiran Rivaille ### “Oh kau terbangun? Hahaha aku sedang berusaha membangunkanmu dengan cara yang berbeda.” Rivaille menggeleng kuat. Alasan tidak masuk akal. “Cepat bangun atau aku akan lakukan sesuatu yang lebih dari ini.” Tidak! Bukankah dia terdengar seperti vampire tukang perkosa? ### Rivaille yang sekarang benar-benar vampire polos jika masalah percintaan. Tapi dari novel telenovela yang pernah ia baca, wanita menyukai tipe pria yang agresif. Agresif dalam segala hal. Yang berarti Rivaille harus banyak membaca novel lain sebagai referensi. Tatapannya memandang fokus pada bibir itu. Tidak ia sangka bahwa hanya dengan memandangi bibirnya saja Rivaille tergoda untuk mencicipinya sedikit. Ya! Sedikit. Tapi tidak ada yang tahu sedikit dalam ukuran Rivaille itu seberapa banyak. Jika saja Rivaille tahu bahwa aroma dari mulutnya bisa Tiffa hirup dengan sempurna. Lembabnya bibir itu dan juga tajamnya mata itu menatap wajahnya. Seandainya Rivaille tahu, jika dulu sekali Tiffa juga pecinta yang payah. ‘Sialan! Lebih baik kau segera bangun atau aku… atau… CK!’ Dengan hentakan keras Rivaille bangun dari posisinya dan langsung berguling ke samping. Berbaring di sebelah Tiffa sambil memandang wajah itu lagi dari samping. Baru kali ini ia merasa kacau hanya karena melihat wanita. Tidak sadar akan perubahan dirinya yang dingin dan kejam, dihadapan Tiffa yang sedang hibernasi ia seperti pria yang tidak sadar bahwa ia sudah menyukai vampire wanita yang sedang tertidur itu. Dalam kurun waktu yang singkat tentunya. Dan pagi hari yang berat untuk Rivaille. -Gazebo- Vian baru tiba di gazebo terlambat lima belas menit karena ia cukup terkejut dengan berbagai tanaman yang ada di kerajaan ini. Tanaman unik yang hanya tumbuh di daerah lembah yang tentu saja itu menjadi tanaman langka. Seperti Moon Red yang Vian ambil dari kebun tadi. Setangkai Moon Red yang kegunaannya sebagai pemutih alami kulit manusia. Tapi sayangnya hanya beberapa orang yang bisa meracik khasiat dari kelopak bunga Moon Red. Karena apabila serbuk sari Moon Red terhirup oleh manusia, mereka bisa langsung mati karena racun mematikan dari serbuk sari Mood Red. Vian sudah berencana untuk membawa beberapa tangkai ketika ia pulang untuk membuat hiasan dari gaun malam rancangannya bulan depan. “Bunga itu beracun.” Iefan yang pertama kali menegur Vian ketika vampire pria itu tampak memandangi bunga itu dengan lekat. Melvern sedikit takut untuk menegur lantaran efek racun itu juga berefek pada vampire juga. “Aku tahu.” Ucap Vian santai. “Aku sudah memantrainya agar serbuknya tidak terbang kemana-mana.” Lanjut Vian yang kemudian mendudukkan diri di sofa yang tersedia. “Kami menanam bunga itu untuk menghukum mati para pelayan yang melanggar peraturan di kerajaan ini. Aku terkejut anda bisa memasuki kebun itu dan memetik satu tangkai bunganya.” Ucap Melvern masih dengan nada sedikit ngeri. Sejujurnya Vian tidak akan tertarik jika itu tanaman biasa. Masalahnya bunga merah secantik Moon Red ini berada di dalam rumah kaca dan tumbuh liar disana. Ketika Vian mendekat ke arah rumah kaca, betapa terkejutnya ia melihat ratusan Moon Red tumbuh di dalam sana. “Aku tahu, banyak pakaian pelayan lusuh di dalam rumah kaca.” Ucap Vian santai. “Apakah Nona Yovanka tidak ikut?” Vian lantas menatap Iefan sambil tersenyum kecil. “Kakakku sedang tidak dalam mood yang baik hari ini karena kejadian kemarin. Ia tidak mau keluar kamar selama beberapa hari ke depan.” Ucap Vian beralasan. “Ah! Begitu rupayanya, maafkan kejadian kemarin.” Vian mengangkat tangannya tidak masalah. Sambil meletakkan Moon Red di atas meja, Vian mulai untuk sedikit santai sekarang. Ia memandangi Melvern sejenak dan memperhatikan wajahnya dengan fokus. “Aku pernah bertemu dengan anda dulu. Beberapa ribu tahun yang lalu. Kau dulunya sebagai putri raja kerajaan Losirous yang ke dua puluh tiga waktu itu. Perawakan wajahmu masih terlihat sama seperti sekarang. Setidaknya kau bereinkarnasi dengan nasib yang baik.” Vian menuangkan teko yang berisi darah ke dalam cangkirnya sendiri. Iefan menggelengkan kepalanya pagi ini karena ocehan yang tidak masuk akal tapi terdengar seperti fakta. Reinkarnasi? Apakah vampire bisa berinkarnasi? Jasad mereka saja menjadi abu. Jika itu manusia, Iefan mungkin akan percaya. “Lalu? Bagaimana istriku mati waktu itu?” Iefan sedikit berbasa-basi tidak tertarik. Vian lantas mengangkat kakinya arrogant sekali sambil menatap Iefan dengan tatapan begitu menantang. “Kami membantai seluruh anggota kerajaan Losirous sampai para pelayan dan tikus-tikus tidak berguna disana juga ikut mati terbakar.” Takk! “Sepertinya di masa lalu kita seorang musuh ya?” Iefan marah sekali dengan pernyataan yang Vian katakan. Ia sudah merasakan sejak awal bahwa pria itu akan senang mencari masalah ke depannya. Melvern memberi kode pada Iefan agar bersikap tenang. “Aku beruntung terlahir kembali dengan jabatan sebagai ratu di kerajaan Heddwyn. Semoga kalian tidak membunuhku untuk yang kedua kalinya di zaman ini.” Vian tentu saja membalas senyuman Melvern sambil menjentikkan jarinya. Iefan yang sedang mengangkat cangkir minumannya tiba-tiba dikejutkan dengan sebuah bayangan yang bergerak terbias di permukaan cairan darahnya. Apa itu? Ia lantas memperhatikan cuplikan itu sejenak sebelum ia menjatuhkan cangkirnya ke atas lantai. “Kau….” Vian tertawa karena ekspresi Iefan yang tampak begitu terpukul dengan apa yang ia lihat. “Yang anda lihat itu adalah berasal dari memori yang aku lihat waktu itu. Sekarang kau percaya?” Iefan tidak sanggup menjawab dan menatap Melvern tanpa ekspresi. Kejadian di masa lalu, yang dimana Melvern melindungi ayahnya di medan perang ketika beberapa tombak menghujam tubuhnya dan membuatnya tewas seketika. Kematian yang sangat menyakitkan. Iefan tidak tahu seperti apa ia mati di masa lalu. Tapi setelah kengerian yang ia lihat sekilas tadi, ia jadi merasakan bahwa dulu ketika ia hidup di masa lalu, ia pasti juga akan dibunuh dengan kejam jika mereka berpas-pasan dengan dua orang ini. “Apa yang terjadi di masa lalu?” Tanya Iefan sambil memegangi kepalanya berusaha melupakan bagaimana Melvern terbunuh. Tapi Vian sama sekali tidak suka menceritakan masa lalunya. Selain karena masa kejayaan yang harus ia banggakan, tapi masa kelam juga ia rasakan ketika Tiffa mendapatkan kutukan itu. Kutukan yang langsung mengubah hidup kakaknya sampai saat ini. “Itu hanya akan jadi dongeng jika aku ceritakan di zaman ini.” Ucap Vian dengan wajah mengeras emosi. Ia juga tidak menyangka mereka masih bisa hidup sampai saat ini. Hidup dari zaman ke zaman dan seumur hidup bersembunyi. ‘Ini semua karena makhluk itu….’ Vian mengangkat wajahnya dan memandangi Iefan beberapa detik. “Musuh terbesar kalian adalah Lucifer. Dia dalang dari semua kehancuran di masa lalu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN