Bab 18. Misi Rahasia

2158 Kata
Demi apa pun juga, Tiffa sudah hampir menjerit senang lantaran ketika ia membuka mata ada sosok Aredric yang saat ini bernama Rivaille. Tiffa lantas mengangguk dan menahan diri untuk tidak membalik tubuh Rivaille dan menciuminya dengan ganas. Ia sudah sejak tadi melihat sosok reinkarnasi Aredric pada diri Rivaille begitu nyata sampai terkadang ia masih tidak percaya bisa bertemu dengan Rivaille. Padahal selama ini ia sudah berusaha untuk membangkitkan Aredric dari kematian demi cinta yang selama ini terkubur hidup-hidup bersama dengan jasad Aredric yang tewas di tengah peperangan. Tiffa hidup dan mengutuk dirinya sendiri atas kesalahan yang ia perbuat di masa lalu. Ia sudah lama hidup dalam penyesalan dan menyiksa diri tanpa melakukan hibernasi. Mencari berbagai informasi tentang cara membangkit manusia yang telah mati. Tapi semua itu berakhir sia-sia karena informasi yang ia dapat tidak lengkap. Rivaille melepaskan tangannya yang membekap mulut Tiffa perlahan. Posisinya yang berada tepat di atas tubuh Tiffa sudah bagai nikotin paling berbahaya dan sulit sekali untuk ditepis keberadaannya. “Kenapa kau malah hibernasi disini?” Rivaille mulai bertanya. Ia sudah ingin bertanya tentang mantra apa yang Tiffa gunakan untuk menyentuh tubuhnya tadi. Tapi Rivaille mengurungkan niat untuk menanyakan hal itu karena itu terlalu memalukan baginya. Tiffa tersenyum tipis. Dan disaksikan oleh Rivaille yang hanya di terangi oleh cahaya dari barier yang melindungi mereka. Rivaille dengan jelas menyaksikan betapa indahnya senyuman itu walau hanya sebuah senyuman kecil. “Aku sedang memulihkan tenaga. Mungkin aku butuh tiga sampai empat hari untuk hibernasi singkat. Jadi aku berharap kau tidak menggangguku seperti tadi.” Rivaille menahan air wajahnya agar tidak memerah. Bisa gila dia jika Tiffa tahu apa yang ia lakukan tadi. “Kau aneh. Kau hanya perlu istirahat beberapa jam untuk memulihkan inti jiwamu, tidak perlu hibernasi singkat. Kecuali jika kau sudah dalam kondisi yang sangat lemah.” Tiffa kali ini tersenyum semakin lebar. Jelas sekali bahwa Rivaille, sosok putra mahkota ini tidak sebodoh kedengarannya ketika Iefan menceritakan tentangnya. Rivaille mungkin mengetahui hal-hal dasar, tapi sayangnya itu hanya berdasarkan teori dari buku. “Aku belum pernah hibernasi selama hidupku. Dan ini pertama kalinya aku melakukan hibernasi singkat untuk memulihkan tenagaku. Dan ya, aku memang sedang dalam kondisi sekarat sepanjang hidupku karena kutukan.” Rivaille lantas menarik kemeja Tiffa sampai bagian dadanya terekspos sempurna. Apa benar Tiffa dalam keadaan sekarat? Jika benar, maka Rivaille harus segera memasukkan wanita ini ke dalam tabung sebelum ia berubah menjadi abu dan mati sia-sia. Ia menekan bagian tengah d**a Tiffa dan sedikit mencari titik jiwanya yang sulit sekali didapat. Dan ketika Rivaille berhasil mendengar getaran tipis dari titik jiwa Tiffa, ia langsung terdiam. “Titik jiwamu terluka.” Rivaille jelas sekali merasakan titik jiwa Tiffa yang sudah begitu lemah. Dan itu sangat berbeda dengan titik jiwa miliknya yang tampak dengan deras mengalirkan kekuatan dari sari darah manusia yang ia serap. Tapi milik Tiffa berdetak. Detaknya mirip jantung, tapi hanya sepuluh detik sekali berdetak. Ia tidak mengertik kenapa bisa seperti itu. Apakah selama ini vampire bermutasi dan semakin baik dengan habitatnya seperti hewan yang berevolusi? “Aku akan jelaskan nanti. Vian sedang berjalan kemari, sebaiknya kau segera pergi.” Rivaille berdecak kesal dan turun dari atas tubuh Tiffa. Lalu sekejap mata ia memasuki jalan rahasia dan pergi. Cklek! “Tiffa? Kenapa kau bangun?” Vian sedikit aneh ketika melihat kakaknya yang baru saja ia tinggal beberapa menit sudah kembali bangun. Sambil setengah terbangun, Tiffa bertopang pada kedua tangannya sambil menatap Vian. Alasan apa yang akan ia gunakan? Tidak mungkin jika ia berkata bahwa Rivaille menggerayangi tubuhnya ketika ia hibernasi. Bisa langsug gila jika Vian tahu. “Tidak ada.” Vian berjalan mendekat dan melepaskan bariernya dengan tatapan curiga sekali. Jangan-jangan kakaknya ini pura-pura hibernasi saja? “Apa maksudnya tidak ada? Kau pura-pura hibernasi?” Kali ini Tiffa membiarkan Vian mengomelinya. Tiffa kembali merebahkan tubuhnya dan menyamping untuk memunggungi Vian yang sudah mulai dengan kutbah tidak pentingnya. Salahnya sendiri kenapa ia pergi tadi, Rivaille dengan pintarnya menyelinap dan hampir berbuat macam-macam tadi. -Kamar Rivaille- Ia melepaskan pakaian atasnya dengan sekali tarik hingga kancing bajunya terlepas semua. Sosok fans yang membuatnya kepanasan dan dehidrasi sesaat. Ia belum sempat bertanya ini dan itu tapi pria bernama Vian itu mengganggunya. “Sial!” Rivaille harus memastikan ia bisa sedikit menghasut Tiffa agar mau ikut dengannya dan menuruti semua perintahnya. Mungkin ini akan memakan waktu yang lama lantaran Tiffa yang tampak memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Ia kini berjalan menuju lemarinya saat merasakan hawa adiknya berjalan mendekati pintu kamarnya. Mengambil kemeja secara asal dan kemudian mengancingkannya santai. Adiknya Eredith ini jauh lebih pintar dari Elunial, pasti dia datang untuk bertanya-tanya. ‘Kak, aku masuk.’ Suara Eredith terdengar dari balik pintu. “Hmm.” Eredith pun membuka pintu kamar kakaknya dan menyaksikan sendiri kakaknya yang sedang berpakaian. Kemudian matanya tidak sengaja melihat kemeja yang sudah siap menjadi kain lap di atas lantai. “Apa sesuatu terjadi ketika kalian berbincang-bincang tadi?” Eredith bertanya. Ya! Rivaille sudah tahu itu. Tapi ia tidak akan mengatakan apa pun bahwa ia sehabis dilecehkan dan melecehkan balik. “Tidak penting.” Sambar Rivaille sambil merampas kemejanya yang rusak di atas lantai dan kemudian memasukkannya ke dalam keranjang kotor. Eredith paham sekali jika kakaknya hari ini sedang dalam mood yang siap menerkam orang. Tapi masalahnya jika Eredith tidak bertanya sekarang dan berdiskusi, takut semakin sulit ke depannya. “Apa strategi kita sekarang? Tetap kabur atau bagaimana?” Tanya Eredith berjalan menuju rak buku kakaknya. Ia hanya tertarik pada ilmu pengetahuan dibanding apa pun. Rivaille juga sedang berpikir keras saat ini. Mereka sudah bersiap untuk kabur dan ternyata ayahnya kembali lebih cepat dari dugaannya. Belum lagi dengan membawa guru yang ternyata mampu membalikkan kerajaannya menjadi butiran pasir. “Sudah terlambat. Kita sudah tidak bisa kabur karena pertahan sudah semakin tebal sejak kedatangan wanita itu.” Ujar Riaville. Tapi Eredith punya rencana lain lantaran kerajaan sebentar lagi akan berganti raja seminggu lagi. Tapi jika kekuasaan penuh dipegang oleh kakaknya, Eredith mungkin akan bebas pergi kemana pun yang ia mau. “Aku dengar ayah berdiskusi dengan para tetua untuk menyerahkan kerajaan sepenuhnya pada raja selanjutnya.” Rivaille tersenyum sinis. Sejak kapan mereka mau menuruti ayahnya? Rivaille sendiri tahu sifat para tetua seperti apa. “Aku tidak terlalu berharap.” Eredith menaikkan pundaknya sekali sambil mengembalikan buku ke dalam rak lagi. “Aku akan pergi selama dua hari untuk mencari tahu informasi tentang wanita itu.” Rivaille mengangguk mengizinkan adiknya untuk pergi. “Kapan kau akan berangkat?” “Sekarang lebih baik.” Dan Eredith pun langsung pergi setelah ia melapor pada kakaknya. Semoga saja Tiffa bukanlah sosok yang berbahaya. Karena jika berbahaya, tentu ia akan berbahaya untuk orang-orang di dalam kerajaan. Setelah kepergian Eredith, Rivaille langsung mengunjungi ruang bawah tanah dan bertemu dengan Frankenstein. Laboraturiumnya sudah gelap gulita dan hanya menyisakan satu penerangan disana. Cahaya temaram di atas meja yang dimana disana Frankenstein sedang membaca buku. “Sepertinya gurumu sangat kuat. Getarannya sampai ke dalam sini.” Suara pria itu menggema di dalam laboraturium. Rivaille tampak mendudukkan diri di kursi sejenak sambil memperhatikan tabung hasil kerja kerasnya yang sudah tertutup dengan kain hitam. Mahakarya yang akan mengantarkan dirinya pada kehidupan abadi dan penuh kekuatan. “Situasi sudah berubah. Aku akan mengirimkanmu keluar dari sini karena perkiraanku meleset tajam.” Ya. Rivaille tidak punya pilihan lain selain mengirim Frankenstein keluar agar tidak ada hawa keberadaan di dalam laboraturiumnya. Dan lagi pula ia bisa sedikit memberi Frankenstein kebebasan sejenak, mungkin saja dia bosan di ruang bawah tanah. “Tidak jadi kabur?” Tanyanya sambil menutup buku pelan di atas meja. Sebuah tanda tanya besar sebenarnya. Sekuat apa guru yang dikirim untuk mengajari sosok pria dingin dan cerdas ini? Sedikitnya ia ingin tahu seperti apa wajahnya. “Aku masih mencari tahu asal usul orang ini denga bantuan Eredith. Jangkauan observasi auranya terlalu luas. Semut yang berjalan di luar pagar istana saja dia bisa merasakannya.” Kali ini Frankenstein yang sedikit ngeri. Jika ruang bawah tanah ini sampai tercium juga, mungkin saja orang itu yang akan menjadi musuh mereka. Keputusan yang cukup bijak jika Rivaille menyuruhnya untuk pergi menjauh dari istana dan menutup laboraturium untuk sementara demi keamanan rahasia. “Lalu kapan aku bisa pergi dari sini? Apa yang sedang dilakukan oleh orang itu?” Rivaille berjalan menuju pintu lain yang ada di ruang bawah tanah. Dimana pintu itu yang menghubungkan jalan menuju terowongan di dekat lembah. Karena hari sedang hujan, mungkin saja terowongan itu diluapi oleh air. “Kabar baiknya, dia sedang hibernasi untuk tiga hari ke depan. Sebaiknya pergilah besok saat hujan sudah reda. Dan aku ingin menyampaikan satu pesanku pada seorang biksu di China bernama Hang Zou untuk segera menyiapkan pasukan dalam waktu dekat.” Frankenstein tentu saja terkejut dengan perintah Rivaille. Menyiapkan pasukan? Dia akan menyerang kerajaan lain dalam waktu dekat? Berani sekali padahal dia belum diangkat menjadi raja. Dan bagaimana dengan para tetua nanti? “Aku rasa ini terlalu terburu-buru. Para tetua itu sudah pasti menghentikan perbuatanmu sebelum perang kembali pecah seperti puluhan ribu tahun yang lalu.” Ia langsung saja memprotes mengenai rencana gila itu. “Seminggu lagi aku akan menjabat sebagai raja yang baru. Masalah tetua bodoh itu, aku punya rencana lain untuk memaksa mereka hibernasi.” “… Wow. Itu cukup cepat.” Rivaille lantas membuka kunci pintu jalan keluar rahasia. “Hang Zou sangat sulit untuk ditemukan. Kau harus lebih keras untuk mencarinya.” Frankenstein lantas menggelengkan kepalanya kesal mengingat terakhir kali ia bertemu dengan biksu itu. Hang Zou yang pernah ia temui dulu seperti vampire yang tidak pernah bersosialisasi dengan vampire lain. “Aku tahu.” Rivaille pun kembali ke kamarnya setelah ia memberi informasi pada Frankenstein. Secepatnya ia akan mengurus ini dan itu untuk mengatur strategi dan memperluas wilayah. Untuk sementara ini ia akan diam dan jadi anak baik. Setidaknya sampai ia diangkat menjadi raja seminggu lagi. -Ruang hibernasi- Melvern dan Iefan menemani Griffin yang bersiap untuk hibernasi hari ini. Setelah ia kehabisan tenaga karena mengomeli Rivaille, akhirnya ia menyerah dan memutuskan untuk hibernasi saat itu juga karena lelah dengan semua kegilaan yang ada. Iefan memandangi beberapa peti mati yang tersusun di dalam ruangan. Ayah dan ibunya masih lama bangkit dari hibernasi. Sejak ia tahu bahwa Rivaille ternyata tidak sebodoh tingkahnya, ia merasakan perasaannya tidak enak sekali. Ia lantas menggandeng tangan Melvern keluar dari ruang hibernasi dan kemudian menyuruh beberapa orang untuk berjaga di sekitar ruangan. Ini bukan sekedar perasaannya saja, entah kenapa ia merasa aka nada sesuatu yang besar akan datang di masa depan ketika anaknya memimpin kerajaan. “Menurutmu, bagaimana dengan sosok Rivaille yang sekarang?” Tanya Iefan disela-sela perjalanan mereka dengan santai menuju kamar pribadi. Melvern menggeleng tidak yakin. “Malam yang dingin dan badai ini mungkin saja pertanda sesuatu yang buruk akan terjadi sebentar lagi.” Perkataan Melvern seperti sedang menghipnotis Iefan untuk kembali berpikir apakah keputusannya sudah tepat untuk mengangkat Rivaille menjadi raja. Di dalam koridor dengan minim cahaya ini terhubung langsung dengan ballroom tengah. Yang dimana Iefan dan Melvern akan melewati kamar tamu yang dimana itu adalah ruangan Tiffa dan Vian beristirahat. “Sedang berjalan-jalan malam, King Iefan? Queen Melvern?” Melvern terkejut sekali mendengar suara Vian yang tiba-tiba menyambar seperti petir. Hawa keberadaan Vian memang tipis sekali sampai Iefan sendiri lupa jika di aula tadi sempat melupakan sosok Vian. Koridor minim cahaya itu langsung terang dalam waktu satu detik ketika kilat menyambar. Menampilkan sosok Vian yang tengah berdiri di depan jendela sambil memandang ke arah luar. Tidak ada yang bisa ia lihat dari badai yang hebat ini. “Kau membuatku terkejut, Tuan Yovanka.” Ucap Melvern masih menjaga tata kramanya. Vian terkekeh kecil tapi tetap diam di tempat ia berdiri. “Aku hanya suka dengan hujan. Setiap hujan aku akan berdiri disini samapi hujan berhenti.” Iefan mendengus kasar dalam hati. Vian yang dari tampangnya seperti preman ini ternyata sangat melankolis sekali. Menatap hujan? Laki-laki galau mana yang setia memandangi hujan seperti Vian? “Hujan terkadang bisa menyiram luka pada hati yang terluka. Mendinginkan kepala yang panas karena emosi. Dan juga membawa ketenangan.” Vian kini tersenyum ketika syair yang Melvern katakan persis seperti puisi rindu seorang wanita dengan kekasihnya. “Seminggu lagi aku akan mengangkat Rivaille menjadi raja. Aku harap kakakmu bisa segera mengambil perannya sebagai guru disini.” Iefan mulai tidak suka dengan kehadiran Vian yang terlihat seperti pria playboy yang suka menggoda banyak wanita. Tidakkah ia lihat ada Iefan yang berstatus sebagai suami Melvern? Cih! Jika saja bukan adik dari Tiffa, sudah sejak tadi Iefan melemparkan pria laknat ini dari jendela. Vian mengangguk sekali sambil tersenyum kecil. “Kalau begitu kami kembali ke kamar kami. Selamat malam, Tuan Yovanka.” Ucap Melvern yang langsung berpamitan karena suaminya yang sedang dalam mood yang buruk. Ketika Vian kembali berdiam diri di depan jendela, ia hanya sedang memperhatikan aura aneh yang ada di bagian bawah istana ini. Matanya kembali memerah lantaran hujan dan badai menyamarkan aura dan Vian sedikit kesulitan untuk melihat jenis sihir apa yang ada di bawah istana. “Ck! Ini jelas sekali sihir darah.” Gumam Vian. ‘Sayangnya terlalu lemah.’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN