Bab 30. Melihat Takdir

1002 Kata
Seorang wanita dengan tudung hitam itu tidak berani mengangkat kepalanya sama sekali. Udara yang tiba-tiba menipis di dalam barier membuatnya hampir kehilangan kesadaran. "Cepat selesaikan tugasmu." Wanita itu tersentak. Nada dingin Tiffa membuatnya tertekan. "B-baik." Tiffa awalnya tidak mengerti dan semakin tidak sabaran melihat wanita itu tampak kebingungan. Ia menggosokkan kedua tangannya seperti orang kedinginan dan bagi Tiffa itu aneh sekali. "A-aku harus menyentuh telapak tangan Anda." Ucapnya takut-takut. Akhirnya Tiffa paham kenapa wanita itu menggosokkan telapak tangannya. Mungkin karena terlalu takut memintanya untuk menengadahkan tangan. Perlahan-lahan wanita itu menyentuh telapak tangan Tiffa. Lalu tiba-tiba NGIIINNGG! Seketika telinga Tiffa sakit sekali. Tapi saat ia membuka mata, pemandangan yang dilihatnya membuatmya kehilangan kata-kata. "Oh tuhanku…." Wanita tadi mundur perlahan karena ketakutan setengah mati. Ia panik sampai ingin segera kabur karena tidak sanggup melihat masa depan Tiffa. Tapi karena sudah terpasang barier tebal, ia tidak bisa keluar dan menangis ketakutan. "Kumohon biarkan aku pergi. Kumohon!" Tiffa masih tidak bergerak seolah-olah ia patung sekarang. Apa yang dilihatnya ini sangat membuatnya tidak bisa berkata-kata. Masa depan yang dilihatnya adalah kebakaran hebat yang tingginya hampir menyamai tinggi kastil Heddwyn. Seluruh vampir dan prajurit terbakar dan mati mengenaskan. Lalu Vian yang penuh luka sekarat dipangkuannya. Pemandangan itu sangat mengerikan. Lalu setelah Tiffa menyaksikan adiknya tewas menjadi abu, tiba-tiba ia ditarik paksa dengan kasar. Tiffa memberontak di masa depan ketika sosok vampir yang menariknya itu adalah Rivaille. Rivaille mencekik lehernya dan memasukkannya ke dalam sebuah tabung besar. Entah tabung apa itu, tapi Tiffa memberontak hebat. Ia berteriak memanggil nama Rivaille sambil menangis putus asa tapi Rivaille tidak mendengarkannya. Lalu perlahan pandangan Tiffa menggelap dan matanya kini bisa menatap wajah wanita tadi. Kedua mata Tiffa seketika langsung aktif. Disamping itu saat Tiffa sedang melihat masa depan, ia tidak sadar jika Eredith yang saat itu tengah mencari adiknya tak sengaja melihat Tiffa berdiri berhadapan dengan seorang wanita. Awalnya Eredith ingin bersembunyi sebelum Tiffa menyadarinya. Tapi kakinya tidak bisa bergerak dan matanya melebar ketika melihat Tiffa tiba-tiba memenggal kepala wanita itu dengan kejamnya. Kepala wanita itu menggelinding ke atas tanah dengan wajah mengerikan menghadap ke arah Eredith. 'SIAAL!' Batinnya ngeri sekali. Tiffa yang masih syok itu masih sulit mengendalikan dirinya setelah tahu satu fakfa penting dari masa depan yang dilihatmya. Rivaille ditakdirkan untuk membunuhnya. Di masa lalu, mungkin ia menyimpan dendam padanya sehingga Aredric yang seharusnya tidak bisa bereinkarnasi. Betapa kejamnya takdir itu sampai membuatnya mati mengenaskan. Puluhan ribu tahun ia jalani sebagai bentuk pembalasan dosa itu ternyata tidak membuat roh Aredric mengampuninya. Semua penderitaan dan rasa sakit yang Tiffa rasakan ternyata masih belum sebanding untuk menebus semuanya. Semua hal menyiksanya saat tangan-tangan takdir seperti tidak menginginkannya untuk hidup lagi. Tiffa menoleh ke samping dan melihat Eredith disana terpaku. Karena ia sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun, Tiffa lantas pergi dan kembali ke kamarnya. Eredith langsung tersungkur ke atas tanah dan terbatuk hebat. Tapi karena tidak kuat akhirnya ia berbaring di atas tanah sambil berusaha menetralkan inti jiwanya. 'Apa yang dilakukannya disini?' Batinnya ingin muntah mengingat kepala wanita itu yang menggelinding. -Malam harinya- Setelah acara penobatan selesai, Rivaille dan kedua adiknya mengantar ayah dan ibunya menuju ruang hibernasi. Melvern tidak henti-hentinya menangis dan Iefan tampak tidak yakin menitipkan Heddwyn pada putra sulungnya. Elunial yang paling tidak peka diantara mereka semua memutar matanya malas. "Ayolah! Semua akan baik-baik saja Bu. Kalian ini hanya hibernasi, bukan hendak gantung diri." Iefan sang ayah langsung mendelik kesal. Tangannya tak segan langsung memukul kepala anak bungsunya. Tatapannya kini tertuju pada Rivaille. "Jaga adik-adikmu." Pesannya lagi pada sang anak. "Setelah Ibu bangun, Ibu harap kalian tidak berbuat macam-macam yang membahayakan nyawa kalian. Ingat pesan Ibu! Jangan terlalu sering mengganggu kakak beradik itu juga." Melvern mengelap air matanya beberapa kali dengan tisue. Rivaille tidak banyak bicara tapi tetap setia menemani sampai ayah dan ibunya terbaring dan tertidur. Dan setelah peti mati tertutup, mereka bertiga lantas keluar lalu menuju aula lagi. "Ada apa denganmu?" Rivaille melirik Eredith yanv sejak tadi diam saja. Ia ikut berhenti ketika adiknya itu berhenti melangkah. "Aku melihat Tiffa berbicara dengan wanita di selatan kastil." Ucapnya tidak tenang. Elunial sampai kaget mendengarnya. "Yang benar? Tapi siang tadi aku melihatmya di kastil barat." Kali ini Eredith menatap balik adiknya. Mata Rivaille memicing tajam. Apakah Tiffa sudah tahu tentang rencananya? Tapi jika dilihat-lihat tampaknya wanita itu tidak tertarik dengan apa yang akan dilakukannya hari ini. "Apa kau dengar apa yang mereka bicarakan?" Eredith menggeleng. "Saat aku datang, mereka sudah selesai bicara. Lalu… Aku melihatnya membunuh wanita itu." Elunial terdiam. Rivaille semakin penasaran dengan apa yang tengah dilakukan Tiffa saat ini. Apakah wanita itu sedang menyiapkan rencana juga? "Aku akan pergi menemuinya. Kalian bersiaplah sekarang." Ucapnya lalu melenggang pergi menuju kamar tamu. Sepanjang perjalanan menuju kamar, Rivaille tidak henti-hentinya memikirkan semua kemungkinan Tiffa yang berencana menggulingkannya dari kursi raja. Semua rencana ini sudah sempurna dan seharusnya Tiffa tidak tertarik dengan kerajaan. Cklek! Saat tiba di depan pintu kamar Tiffa, ia langsung membukanya tanpa permisi lalu masuk ke dalam. Dilihatnya wanita itu sedang berdiri membelakanginya. Ruang kamarnya juga gelap sekali. Jika Rivaille bukan vampir, tidak mungkin ia bisa melihat Tiffa berdiri di tengah-tengah ruangan itu. “Apa yang kau rencanakan sekarang?” Tanyanya langsung menodong. Sebenarnya Rivaille merasa ia sedikit kejam dengan bertanya langsung seperti ini tanpa bukti. Tapi ia sedang waspada karena bisa saja Tiffa sudah menyiapkan pasukan untuk menguasai Heddwyn. Tiffa berbalik badan dan menatap Rivaille. Baju kerajaan yang dikenakannya membuat bocah sepertinya tampak bersahaja sekali. Tiffa tidak pernah tahu bahwa Aredric akan cocok mengenakan itu. Tapi tatapannya berubah sendu dan sengaja ia melangkah mendekat. “Aku berniat untuk menghentikanmu, Rivaille. Berhenti mengikuti angan-angan semu dan obsesi. Semua itu hanya akan membuatmu kehilangan banyak hal.” Rivaille mengerutkan kedua alisnya dalam sekali. Ia tidak tahu jika ternyata selama ini Tiffa sudah tahu rencananya untuk berperang. “Kau tidak tahu apa-apa tentang kerajaan ini, Tiffa. Kau tidak tahu apa saja yang kami hadapi disini.” Ucap Rivaille ikut melangkah maju dan semakin dekat dengan Tiffa. Ia tidak ingin siapapun menghalangi jalannya bahkan jika itu Tiffa sekalipun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN