Bab 43. Kidmudgeon

1005 Kata
Tiffa sampai salah memotong tangkai bunga karena tahu betapa tidak bergunanya Vian hidup di muka bumi. “Kalau begitu kau bisa menemaniku untuk melatih Rivaille mengembangkan skillnya.” Tapi Vian langsung tertawa mendengarnya. Enak sekali kakaknya menyuruhnya sesuka hati. “Tidak. Aku tidak ingin jadi seongok batu diantara kemesraan kalian.” Ucapnya santai dan tidak mau menderita seorang diri. Tiffa juga tidak terlalu peduli jika Vian tidak mau membantunya. Tapi ia juga tidak sanggup menghadapi kemesuman Rivaille yang semakin bertambah gila setiap harinya. “Aku berencana untuk mengambil cuti lebih awal dan berlibur ke Hawaii setelah ini.” Vian langsung tertarik dan menaikkan sunglassnya ke atas. “Bulan madu?” “What?” Tiffa menoleh cepat dan mendelik emosi. Bisa-bisanya Vian mengoloknya seperti itu. “Apa? Apa pertanyaanku salah? Untuk apa kau cuti lebih awal dan berlibur kesana? Bulan madu?” Tanyanya lagi lebih memperjelas. Tiffa melempar tangkai mawar yang penuh duri ke arah paha Vian karena kesal. “Tidak ada bulan madu. Hubungan kami belum sedalam itu.” Vian kali ini mematikan ponselnya lalu melepas sunglassnya. Ekspresinya sulit sekali ditebak sedangkan Tiffa semakin curiga dengan ekspresi itu. “Kau dan Aredric sudah pernah bercinta puluhan kali. Tapi tiba-tiba sekarang berkata seperti kau wanita suci di muka bumi. Come on man! Aku bahkan tahu berapa kali kalian berciuman!” BLARR! Sumpah. Vian berani bersumpah nyawanya hampir diujung tanduk saat kakaknya baru saja mengirimkan api biru mematikan itu ke arah selatan tubuhnya. “A-aku akan tutup mulut.” Ucapnya tergagap. Tiffa menghempaskan rangkaian bunga yang sudah disusunnya itu dengan kasar. Ia lupa jika adiknya adalah vampir paling jujur sedunia. Vian sebenarnya tidak salah. Itu hanya kelalaiannya saja kenapa ia bisa bercerita setiap kali ia melakukan sesuatu pada Aredric. Hanya karena ia melihat sang adik sangat populer dikalangan manusia dan banyak gadis yang ditidurinya, Tiffa nekat bertanya padanya mengenai hubungan asmaranya dengan Aredric. Bahkan sampai membongkar percintaan pertama mereka di ladang belakang kastil. Rasanya memalukan sekali saat Tiffa mengingatnya. “Tidak ada yang melarangmu untuk berhubungan dengan bocah itu. Itupun jika kau kuat berlama-lama dengannya.” Ujar Vian mual sekali mengingat bagaimana bocah menyebalkan itu terus-terusan mengganggu kakaknya. “Ck! Itulah kenapa aku butuh cuti lebih awal.” Tiffa langsung berkeluh kesah. Vian sebagai adik yang berbakti pada kakaknya itu tentu saja langsung membuka sesi tanya jawab dari hati ke hati. “Aku berpikir bocah itu sedang mencari perhatian darimu. Kau harus ingat bahwa umurnya baru 400 tahun. Masih terlalu muda untuk diajak serius.” Tiffa langsung menempelkan dahinya di atas meja. Ia merasa beban hidupnya bertambah ribuan kali lipat beratnya. “Lalu aku harus bagaimana? Aku tidak mungkin mengiyakan ajakan bercinta darinya. Dia masih dibawah umur.” Ucapnya malah membuat Vian jadi ikut terbebani. Ia bukan ingin mengajari anak kecil untuk melakukan hal dewasa. Tapi ia gemas sekali karena bocah-bocah di zaman sekarang yang dewasa sebelum waktunya. “Ck! Kidmudgeon. Kau harus bisa memakluminya.” Tiffa meniup rambut yang menutupi wajahnya. Kepalanya sudah ribuan kali merapalkan kata itu di kepalanya tapi tetap saja sulit ia terima. “Kau mungkin bisa mengajarinya untuk bersikap sebagaimana mestinya vampir muda. Aku curiga sebenarnya dia itu meniru kebiasaan burukmu.” Ucapnya langsung menuduh sang adik yang telah meracuni pikiran Rivaille. “Ck! Jangan melemparkan kesalahanmu padaku, Tiffa. Bocah ingusan sepertinya bukan tanggung jawabku.” Vian menyandarkan tubuhnya pada sofa dan memperhatikan kakaknya yang sedang menangisi kesialannya. Tapi dari postur tubuhnya saja ia bisa menebak bahwa kakaknya itu butuh melampiaskan sesuatu. “Ck! Pergi dan temui dia sekarang. Biasanya orang bisa berpikir positif jika urusan dibagian selatan sudah terpenuhi.” Tapi Tiffa justru mengalami pergolakan batin yang cukup mengerikan. Tapi jika dipikir dengan keras pun ia tidak mungkin terlalu lama menahan diri. Ia pun berdiri dan mengemasi semua bunga-bunganya lalu kembali ke kamarnya untuk kembali berpikir. Setelah ia meletakkan bunga rangkaiannya di dalam kamar, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk. Tiffa tahu persis siapa gerangan yang datang ke kamarnya itu. Rivaille membuka pintu kamarnya. "Apa hari ini kau tidak melatihku?" Tiffa mendudukkan diri di kursi sambil memijat keningnya. Ia sekarang malah seperti ibu-ibu anak lima yang sedang bingung bagaimana cara membayar tunggakan iuran sekolah. "Tidak. Kau istirahat saja hari ini." Ucapnya lesu sekali. Ia berharap sekali hari ini tidak bertemu dengan Rivaille. Padahal sengaja ia tidak berbalik dan memandang wajahnya agar bisa mengendalikan diri. Tapi Rivaille malah berjalan masuk dan mendekat. Tangannya terulur untuk memijat pelan kedua pundak Tiffa. Akal sehatnya kali ini sungguh berteriak menggila. “Aku tidak bermaksud membuatmu kesal setiap kali kau mengajariku dan berlatih.” Kata Rivaille jadi tidak tega melihat gurunya seperti ini. Sudah beberapa hari ini memang ia merasa dirinya sudah keterlaluan karena terus menerus membuat Tiffa kesal. Tapi mau bagaimana lagi? Bagi Rivaille, semua ekspresi Tiffa sangat manis di matanya. Dan juga, ia tidak bisa lepas dari kecantikan gurunya sendiri. Ia menahan diri. Bukan karena ia hanya ingin bercinta. Tapi perasaannya sudah meluap tidak bisa lagi terbendung. “Apakah kau marah jika aku mengajakmu bercinta?” Tanyanya sedikit berhati-hati. Tapi ia merasakan kedua pundak Tiffa tegang sekali. Saat Tiffa menoleh, iris matanya sudah berubah saja dan menampilkan sling cerah yang membuat Rivaille merinding. “Apa kau keberatan jika aku memakai mata ini ketika kita bercinta?” Tiffa malah bertanya balik. Tapi Rivaille sedikit kurang mendengar perkataan Tiffa karena tidak fokus. Tiba-tiba saja Tiffa berdiri dan menarik kerah bajunya dengan kasar. Tiffa sungguh melumat bibirnya dengan kasar sekali. Tidak seperti ciuman mereka yang biasanya. Tapi karena ia laki-laki dan sudah menjadi kodratnya untuk mendominasi, Rivaille juga ikut menganktifkan mata hitamnya. Tiffa yang tadinya bisa ia dorong dengan mudah ke atas ranjang ternyata tetap berdiri di samping ranjang. Tubuhnya tidak tergerak sedikitpun ketika Rivaille mendorongnya. Saat ia merasa harga dirinya tercoreng, perlahan tubuhnya tertarik ke depan karena Tiffa menariknya lalu menjatuhkan diri di atas ranjang. Dan itu adalah gerakan paling seksI yang pernah Rivaille lihat. “Apa kau yakin siap menerima apa resikonya bercinta dengan seorang raja, Tiffa?” Rivaille berbisik sambil menjilat telinga Tiffa. “Aku tidak ingin gelar lain selain ratu di Heddwyn.” Putusnya mutlak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN