“Tentu saja ada. Kau pikir aku ini sudah berapa lama hidup di muka bumi?” Eredith membuang muka.
“Pantas saja bumi selalu pemanasan global. Ternyata ada limbah yang tidak musnah setelah ratusan ribu tahun.” Vian langsung menoleh dan sengaja ia melempar korek apinya ke kepala Eredith.
“Mulutmu ini kasar juga ya.” Eredith membuang muka tidak peduli.
“Apa yang dilihat Tiffa di masa depan?” Tanya lagi tanpa menolehkan kepalanya. Tapi Vian kali ini membuang rokoknya dan ikut menatap Big Ben di seberang sana.
“Tiffa melihat kakakmu membunuh kedua adiknya karena peperangan yang terus kalian lakukan.”
Eredith langsung melotot karena terkejut dengan perkataan Vian. Ia sempat mengira Vian bercanda tadi. Tapi melihat ekspresi seriusnya, Eredith kembali menatap ke depan.
“Di masa depan, aku pun juga mati karena menyelamatkan Tiffa dari kakakmu yang menggila… Jadi kesimpulannya, aku tidak ingin mati, dan kakakmu juga tidak ingin kedua adiknya mati. Itu saja.” Vian mengakhiri penjelasan singkatnya.
Eredith jadi merasa bersalah telah meneriaki kakaknya dengan kata-kata kasar. Jika tahu ternyata kakaknya sedang berusaha merubah masa depan, ia akan setuju saja.
“Kalau begitu, seharusnya masa depan telah berubah saat ini. Karena kakakku tidak jadi melanjutkan strateginya.” Eredith langsung menyimpulkan. Tapi Vian menggeleng pelan.
“Kau ingat wanita yang bersama Tiffa waktu itu?” Eredith langsung mengangguk cepat “Dia memiliki kekuatan untuk membaca takdir seseorang.”
Eredith pun langsung paham kenapa Vian masih memasang ekspresi sedih sejak tadi.
“Masa depan masih bisa diubah. Tapi takdir tidak bisa.” Kata Eredith lagi yang memang Vian akui otaknya seencer s**u.
“Lalu bagaimana pendapatmu sekarang? Masih ingin kabur dari rumah? Kau ini seperti bocah ingusan saja. Kau pikir masalah akan selesai jika kau pergi begitu saja dari rumah? Apa kau sadar saat ini kau sedang lari dari masalah?”
Vian menepuk pundak Eredith dan memberinya semangat.
“Apakah kakakku tidak pernah mencari kabar tentangku?” Tanyanya sudah dengan mata berkaca-kaca.
“Tiffa memintaku untuk mencarimu karena dia tidak tega melihat kakakmu yang selalu murung akhir-akhir ini.”
Dan akhirnya Vian berhasil membujuk Eredith untuk pulang.
-Keesokan harinya-
Pagi yang masih gelap di lembah kerajaan Heddwyn. Rivaille sudah hadir dan berdiri di tepi danau sudah sejak sebelum matahari terbit. Ia ditemani Tiffa yang berdiri di sampingnya.
Sang guru yang sebenarnya adalah tokoh paling legendaris di masa lampau itu tampak memperhatikan dirinya yang sedang berlatih.
Tiffa kali ini mengajarinya untuk menggunakan telekinesisnya dengan jumlah besar. Rivaille diminta untuk mengangkat air di danau sebanyak mungkin ke udara.
Tapi baru dua jam mereka berlatih, Tiffa sudah dibuat kesal sampai ke ubun-ubun.
“Ck! Bisakah kau serius?” Tanyanya jengkel. Rivaille sengaja memasang ekspresi serius walaupun sejak tadi ia menahan diri untuk tertawa.
“Aku tidak bisa mengangkat air lebih dari ini.” Tiffa semakin kesal.
Demi tuhan! Air yang berhasil diangkatnya hanya seukuran semangka. Padahal saat ia menyerang Amudith tempo hari, besar tubuhnya saja seperti seekor sapi dewasa.
Karena lelah, Tiffa menyentuh dahinya frustasi.
“Jika aku berhasil mengangkat lebih banyak dari yang kau contohkan tadi, kau harus kencan denganku besok.” Tiffa mendengus kasar.
“Seperti kau mampu saja. Itu baru seukuran semangka dan kau sudah mengeluh tidak sanggup.” Rivaille tersenyum miring.
Tiba-tiba sebuah bola yang ukurannya besar sekali terangkat ke udara. Tiffa yang melihatnnya bukan bangga, tapi ia mendelik kejam tidak ada ampun.
“Pertahankan seperti itu selama satu jam, lalu kau boleh kencan denganku besok.” Ucapnya yang kemudian pergi. Rivaille melotot ngeri dan ekspresinya langsung berubah horor.
“Hey! Itu keterlaluan!”
Tapi sayangnya Rivaille tidak sanggup bertahan lebih dari sepuluh menit. Dan ajakan kencannya terpaksa ditunda karena ia ternyata masih belum mahir memainkan perasaan wanita.
Rivaille pun kembali ke kamarnya dengan keadaan tubuh yang basah kuyup. Bukan karena ia baru saja berenang di danau, melainkan karena ulah Tiffa yang membuatnya mandi keringat.
“Kak!” Elunial memanggil dari ujung koridor tepat sebelum Rivaille masuk ke dalam kamarnya.
“Ada apa?”
“Kak Ere telah kembali!” Elunial berteriak gembira sekali.
Tapi Rivaille hanya tersenyum lalu masuk ke dalam kamarnya untuk mandi dan berganti baju. Setelah tubuhnya bersih dan wangi, ia pun segera pergi menuju kamar adiknya.
Ia melihat Tiffa sudah ada disana dan entah mereka sedang membicarakan apa sebelum ia datang.
“Kenapa kalian semua berkumpul disini?”
Eredith tersenyum canggung sampai membuat Vian dan Tiffa sengaja menatap ke arah lain karena takut tertular canggung.
“Aku pulang.” Rivaille menatap adiknya lekat-lekat dan syukurlah jika adiknya itu baik-baik saja.
“Baiklah, sekarang kita semua sudah sepakat untuk saling menjaga. Maksudku, kalian bertiga dengan ikatan kekeluargaan kalian. Lalu aku dan kakakku dengan ikatan cinta diantara kami.” Kata Vian sengaja sekali. Tapi sayangnya Rivaille tidak terpancing.
Setelah masalah dengan adiknya selesai, akhirnya Rivaille bisa fokus untuk berlatih.
-Moscow-
Di sebuah bar, Louisa melemparkan beberapa lembar foto ke atas meja. McQueen sudah duduk disana dengan tangan yang sudah memegang erat botol whiskey.
“Aku melihat Vian London dengan bocah vampir yang berperang dengan kerajaan Alereria waktu itu.” Ucapnya yang langsung membuat senyuman McQueen merekah.
“Bagus, Louisa. Apa kau sudah menemukan dimana lokasi mereka saat ini?” Tanyanya menatap foto Vian disana. Dijilatnya foto itu lalu dibanting keras di atas meja. Louisa mengangguk sekali.
“Mereka berdua saat ini ada di kerajaan Heddwyn. Besar kemungkinan Heddwyn menang berperang melawan Heddwyn berkat bantuan dari Tiffa.” Ucapnya yakin dengan pendapatnya. McQueen mengangguk beberapa kali.
“Bagus, bagus. Segera siapkan pasukan, kita berangkat sekarang.”
Dan sesuai dengan perintah dari McQueen, Louisa segera menyiapkan pasukan mereka untuk berangkat ke Rjukan sekarang.
Para vampir elit yang mendengar berita bahwa Tiffa dan Vian sudah ditemukan kembali membuat mereka bersorak senang. Termasuk Louisa sendiri.
“Sebentar lagi kalian akan mati, Yovanka.”
-Heddwyn-
Tiffa dan Vian kali ini duduk menikmati pagi dengan begitu damai. Vian sibuk bermain game dan tak lupa sunglass yang sudah bertengger di hidungnya.
Sedangkan Tiffa sudah seperti nyonya besar karena tampak sedang menyusun bunga untuk dipajang di kamarnya nanti.
“Apa kau tidak ada kerjaan selain bermain game Vian?” Tiffa mulai mengusik sang adik.
“Tidak ada. Aku telah mendedikasikan sisa hidupku untuk bermain game sampai jadi professional.” Ucapnya lupa diri.