7

787 Kata
"s**t! Pake segala lowbatt lagi nih laptop!" ucap Levin kesal, ketika laptopnya tiba-tiba mati karena lowbatt. Sementara tugasnya belum sempat dia save. Setelah menghela nafas panjang, akhirnya dia paksakan kakinya untuk ke kamar Naysilla untuk meminjam charger. Tok tok tok "Dek, gue pinjem charger laptop dong." ujar Levin dari depan pintu kamar Naysilla. Sayangnya, tidak ada jawaban sama sekali dari dalam kamar Naysilla. "Nay, Naysilla?" panggil Levin sambil mengetuk pintu kamar Naysilla. Masih belum ada jawaban. Karena tidak ada jawaban sama sekali. Akhirnya Levin mencoba untuk memutar gagang pintu kamar Naysilla. Namun gagal, sepertinya pintu kamar Naysilla terkunci. Tak lama kemudian, Fina -yang ingin mengantarkan secangkir teh hangat ke ruang kerja Dedi- melewati Levin yang masih berdiri di depan pintu kamar adiknya. "Bun, bunda, Naysilla mana ya, bun? Masa iya udah jam segini dia belom pulang?" tanya Levin tiba-tiba membuat langkah Fina berhenti mendadak. "Udah pulang kok, tadi dijemput pak Maman," jawab Fina. "Terus dia sekarang di mana?" "Lagi duduk tuh di ayunan halaman belakang," "Ngapain jam segini dia main ayunan? Inikan udah malem, bun." ucap Levin dengan sedikit khawatir. Fina hanya menggedikkan bahu. "Coba kamu samperin, deh. Dari tadi bunda ajak ngomong diem aja dia." dua detik kemudian, Fina ingat kalau di atas nampan yang dibawanya masih ada secangkir teh untuk suaminya. "Vin, bunda mau anter teh dulu ya ke ayah. Takut keburu dingin nih tehnya." Levin mengangguk, setelah itu dia bergegas ke halaman belakang untuk menghampiri Naysilla. Levin agak terkejut melihat kondisi adiknya saat ini. Coba kalian bayangkan, abang mana yang tidak khawatir melihat kondisi adiknya duduk di ayunan pukul 21.00 WIB, sendirian, masih mengenakan seragam sekolah sekaligus dengan atributnya yang masih lengkap menempel di seragamnya. Bukan cuma itu, pandangan Naysilla juga sangat kosong bak orang frustasi. Tanpa pikir panjang, Levin memutuskan untuk duduk di ayunan sebelah Naysilla. "Lo kenapa?" tanya Levin pelan memekakkan keheningan. Naysilla cuma menggeleng, tidak memberi sepatah katapun. "Mau cerita nggak? Kalau lo emang lagi badmood, gue rela kok dijadiin samsak." "Bang, salah nggak sih kalau kita jatuh cinta sama orang yang udah punya pacar?" tanya Naysilla yang akhirnya membuka mulut. "Yang namanya jatuh cinta mah nggak pernah salah, dek. Tapi mungkin waktunya aja yang belum tepat." dalih Levin seraya tersenyum. "Bang Levin pernah nggak jatuh cinta sama orang yang udah punya pacar?" "Pernah. Asal lo tau, dek, gue suka sama Gladyz udah dari SMA kelas 1." "Lha, emang bang Levin satu SMA sama kak Gladyz?" tanya Naysilla seraya melirik ke Levin. "Iya, but just because dulu dia udah punya cowok, jadi gue cuma bisa nunggu dia putus. Eh giliran dia udah putus, nyali gue tiba-tiba jadi ciut banget buat nembak dia. Bukan cuma karena itu aja sih sebenernya...." jelas Levin yang masih menggantungkan ceritanya. "Then?" "Soalnya waktu itu juga keadaannya kita udah kelas 12, gue mau fokus Ujian Nasional aja, biar bisa masuk perguruan tinggi yang gue mau. Sampe akhirnya dia udah punya cowok lagi." "Itu namanya lo nyia-nyiain kesempatan, bang. Gue nggak nyangka, kalau lo sebegok itu kalau soal cewek." "s****n lo!" seru Levin seraya menjitak kepala adiknya. "Sakit, bang, ih!" ucap Naysilla sambil mengusap-usap kepalanya. "eh tapi, bang, bukannya lo sekampus ya sama kak Gladyz?" "Iya, makanya gue seneng banget pas liat dia di kampus waktu lagi ospek. Tapi sayangnya waktu itu dia udah punya cowok lagi, dan gue mau nggak mau mesti nunggu dia putus lagi sama cowoknya sampe dua taunan kalau nggak salah." Naysilla mengernyitkan dahinya. "Kenapa pas udah jadian malah diputusin? Kan udah nunggu lama?" "Bukan putus kok, cuma break sementara. Biar kita fokus skripsi satu sama lain. Nanti kalau udah graduate, baru gue lamar dia. Karena kita bukan lagi ABG. Jadi gue nggak mau aja bertahan lama-lama sama status pacaran. " "Terus gimana caranya lo bisa sampe jadian sama dia?" Pandangan Levin terlihat seperti menerawang kembali apa yang dia alami. "Awal gue deket sama dia itu pas di kegiatan kemahasiswaan. Dia itu orangnya sering banget menyendiri. Yaudah gue samperin, eh pas gue liat dari deket nggak taunya dia lagi nangis. Then, tanpa gue minta dia cerita sendiri tentang masalahnya. Katanya cowoknya yang sebelum gue itu kasar, posesif, suka ngatur nggak jelas. And at the first time when i see her cried, I felt like painful in my heart." "Kenapa kak Gladyz bisa betah pacaran sama cowok kayak gitu selama hampir dua taun?" tanya Naysilla menyelidik. "Katanya sih karena 'cinta'. Tapi beberapa bulan kemudian, gue saranin dia buat putus. Abis cowok itu udah keterlaluan. Gue nggak tega liatnya." "Ternyata pandangan gue tentang cinta emang nggak pernah salah, ya. Dari dulu gue beranggapan 'jatuh cinta pasti berujung sakit hati', bener, kan?" "Dek, jatuh cinta nggak selalu berujung sakit hati kok. tapi mungkin prosesnya aja yang menyakitkan." "Itu buktinya, kak Gladyz?" "Itu karena dia dulu jatuh cinta sama orang yang salah. Kita nggak akan tau sesuatu yang 'benar' tanpa ada sesuatu yang 'salah' lebih dulu untuk membandingkan." "Hm, iya mungkin." "Yaudah, lo mandi sana. Bau tau!" ledek Levin sambil menjapit kedua lubang hidungnya. "Mulut lo aja tuh yang deket sama idung! Wlee," timpal Naysilla seraya menjulurkan lidahnya. "Ye, s****n! Oh iya, gue pinjem charger laptop, dek!" teriak Levin.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN