"Lan ... Nolan piket lo!!" pekik Naysilla pada Nolan yang baru saja masuk kelas.
"Ett gilaa, baru juga gue dateng. p****t gue aja belum sempet nempel nih sama kursi. Lagian biasanya juga cowok nggak pada piket," oceh Nolan.
Gadis itu mendengus kesal, "Lo nggak tau? Kemarin Bu Rania ngomel-ngomel pas tau ada kebijakan nggak jelas itu di kelas kita?!"
"Emang dia mah kerjaannya ngomel mulu, makanya cepet turun tuh mukanya. Lo mau kayak dia?" timpal Nolan santai.
Naysilla menarik nafas berat, lalu menghembuskannya perlahan. "Eh Angga!" pekik Naysilla yang kini beralih ke Angga.
"Kenapa, Nay?" sahut Angga.
"Sini lo! Harusnya lo omelin tuh si kunyuk Nata!"
"Eh... Kok jadi gue yang kena?" jawab Angga gugup.
"Lo kan ketua kelas! Jangan jadi pengecut!" tegas Naysilla sedetik kemudian.
"Jadi gini temen-temen, kemarin bu Rania bilang pokoknya mulai sekarang semua cowok harus piket sesuai jadwalnya masing-masing. Nggak boleh dibedain antara cewek atau cowok. Kalau nggak, kelas X lima bakal dipindahin ruang kelasnya di gudang lantai 1." terang Angga.
"Tuh, denger nggak, Lan?"
"Hah? Denger apa?" tanya Nolan pura-pura begok.
"Lo-harus-piket-sekarang!!" bentak Naysilla dengan memberi penekanan pada setiap katanya.
"Gue lagi lemes nih," ucap Nolan belagak lelah.
"Jangan banyak alesan deh lo! Lantainya belum dipel nih." titahnya menyodorkan alat pengepel lantai ke Nolan.
"Kayaknya yang piket bukan gue doang deh yang piket? Rini sama Angga juga tuh suruh piket!"
Tidak tahan dengan kelakuan Nolan, gadis itu sampai menoyor kepalanya. "Nih kunyuk atu banyak protes banget yaa, Rini sama Angga piketnya nanti pas pulangnya. Gue tau kalau lo piketnya pas pulang, pasti lo yang ada kabur duluan!"
"Yaudah iya gue piket," ucap Nolan pasrah.
"Eh Ga, jam pertama Bu Sofie kan?" tanya Olga.
Angga mengangguk. "Iya, jam pertama BK."
"Asik, jadi semangat belajar nih!" seru Olga yang langsung berkontak mata dengan Ardi.
Bel masuk berbunyi, Bu Sofie memasuki ruang kelas X lima.
"Selamat pagi semua," sapa hangat Bu Sofie.
"Pagi juga sayang, ehh...." celetuk Olga seraya menutup mulutnya agar terkesan seperti keceplosan. Padahal itu pasti mengandung unsur kesengajaan.
"Olga, kamu mau saya kasih surat panggilan lagi?!" tanya Bu Sofie tegas.
"Boleh Bu, boleh," jawabnya santai.
"Modus lo modus k*****t!" hardik Ardi yang duduk di belakangnya Olga, melempar gumpalan kertas ke arah Olga.
"Gila lo Yog, itu si Tera mau lo kemanain?" tanya Nolan diiringi dengan gelengan kepala sambil berdecak.
"Sera nggak peka ah, males." tanggap Olga memasang wajah cemberut.
Mereka bertiga memang selalu seperti itu. Makanya kalau ada mereka suasana kelas tidak pernah sepi. Walaupun ada guru, mereka sering nyeletuk tidak jelas. Terutama di jamnya Bu Sofie.
Mereka sangat sering diberi surat panggilan ke ruang BK, namun mereka tidak pernah jera. Bagi mereka, surat panggilan dari Bu Sofie itu seperti surat cinta. Diintrogasi empat mata di ruang BK itu seperti kencan. Sakit jiwa memang.
"Tuh Ter, lo mah nggak peka sama si Olga." ledek Naysilla sambil menyikut Sera.
"Apa sih lo Nay, geli gue sama tukang tidur kayak dia. Madesu ew!"
"Madesu? Apaan tuh?" tanya Naysilla bingung.
"Masa depan suram." jawab Tera sambil bergidik ngeri.
"Jangan gitu lo, cinta mah datengnya suka terlambat. Ati-ati aja," ujar Naysilla disertai dengan lirikan dan senyuman maut.
Sera memutar bola matanya.
"Buka halaman 37. Di bab ini, kita akan belajar mengenai Motivasi dalam diri," jelas Bu Sofie.
Selama pelajaran Bu Sofie berlangsung, semua murid memperhatikan dengan serius. Sedangkan tiga kunyuk itu malah senyam-senyum kasmaran. Untung saja Bu Sofie sudah tidak asing melihat tingkah laku mereka seperti itu.
Setelah bel istirahat, Naysilla berniat untuk mengembalikan jaket Adam.
"Nih jaket lo, makasih ya." ucap Naysilla hanya sekedar untuk basa-basi, seraya menyerahkan sebuah jaket biru dongker miliknya.
"Iya, sama-sama." balas Adam, seperti biasa Adam selalu sibuk dengan games di gadget-nya.
Udah? gitu doang? datar amat. Nggak ada basa-basinya sama sekali jadi cowok. Batin Naysilla.
Bel pulang berbunyi. Entah apa sebabnya, Naysilla merasa malas untuk pulang. Jadi dia memilih duduk di pinggir lapangan. Menonton tim basket yang sedang berlatih untuk pertandingan antar sekolah bulan depan.
Matanya berbinar ketika melihat seseorang baru memasuki lapangan. Ya, siapa lagi yang mampu membuat dia ragu untuk berkedip saat melihat sosok itu. Adam Clomarson si mata cokelat.
Alih-alih wajahnya membuat Naysilla terpana, terlebih ketika ia mengenakan seragam basket SMA Bangsa yang berwarna kuning biru, ditambah bulir-bulir keringat yang mengalir di dahinya. Hal itu sukses membuat ketampananya bertambah seribu, eh salah, tapi sejuta persen. Kali ini Adam benar-benar mengalihkan dunia gadis kacamata itu.
Ah, rasanya gadis itu seperti ingin meneriakan nama 'Adam' dan memberi semangat. Layaknya yang biasa dilakukan oleh tim cheers saat pertandingan berlangsung.
"Adam...." Tiba-tiba seorang perempuan memanggilnya, dengan membawakan handuk dan sebotol air mineral.
Meski perempuan itu berseragam sama seperti Naysilla, tapi dia terlihat sangat cantik, rambutnya yang berwarna cokelat tergerai panjang, roknya lebih pendek dariku, bahkan seragam sekolahnya sepertinya telah dia rombak agar terlihat modis ketika dikenakan. Entahlah, pemandangan itu membuatku kehilangan mood-nya dan ingin cepat-cepat pulang.
Di kamar, Naysilla langsung membanting tubuhnya ke ranjang. Ingatan gadis itu mulai menerawang kembali kejadian yang kulihat tadi. Terlalu banyak pertanyaan-pertanyaan yang melayang di pikiran Naysilla.
Siapa dia? Keliatannya deket banget sama Adam? Apa dia pacarnya? Selama sekolah di SMA Bangsa gue belum pernah liat cewek itu sebelumnya. Apa dia anak baru juga? Atau jangan-jangan emang guenya aja yang terlalu nerd dan kuper di sekolah?