Apakah ini nasib sial? Nasib baik? Nasib baik dan sial?
Ara tahu matanya berhari-berhari butuh sekali penyegaran setelah melihat berlembar-lembar soal ujian semesternya yang begitu melelahkan. Namun, dengan keadaannya yang seperti ini? Haruskah ia bahagia melihat ciptaan Tuhan yang begitu sangat indahnya bersinar di depan matanya?
"Boleh aku masuk?"
Seperti tersihir, Ara seketika mengangguk sambil menggerakkan kedua ujung bibirnya. Namun, begitu tersadar dirinya pun buru-buru menggelengkan kepala sembari menyilangkan kedua tangannya ke depan. Dia tidak boleh terbuai, itu yang ia coba sematkan dalam hati dengan imannya yang minim ini. Walau pria di hadapannya ini sangatlah tampan, akan tetapi dia tidak boleh terkecoh. Kebanyakan tokoh psikopat yang ada pada drama Korea yang sering ia tonton, juga berparas sangat rupawan.
"Lo, siapa?" tanya Ara mencoba sesinis mungkin. Sialnya, kedua pipinya malah bersemu. Tubuhnya, mengkhianatinya.
Ara gelisah di tempatnya. Untung saja saat ini, ia terlindung dengan masker wajah yang dipakainya. Orang di hadapannya, tidak akan mungkin bisa melihat kedua pipinya yang begitu murahan ini.
"Ra, ini Brian. Sekarang Brian jadi adik kamu." Sarah muncul dari balik badan tubuh Brian. Mengucapkan sebuah kalimat yang membuat anaknya melongo di tempatnya.
"Mama sehat?" Ara maju beberapa langkah menyentuh kening mamanya. "Sepertinya Ara yang kurang sehat." Memindahkan tangan pada bokongnya yang seketika langsung ditoyor oleh sang mama.
"Enggak sopan!" seru mamanya.
"Habisnya Mama ada-ada saja. Ngomong adik baru enteng sekali. Kapan, Mama brojolnya? Tiba-tiba sudah segede monas." Ara, kembali mengusap kepalanya yang baru saja kembali jadi korban tangan sang mama. "Oooh, Mama ikut acara prank Uya Kuya, ya?"
Melihat sang mama berwajah serius. Ara, mendadak mulai dilanda kecemasan. Ia mengamati pria di hadapannya dengan seungguh-sungguh.
Apakah, mamanya diam-diam berselingkuh dari papanya? Padahal katanya mamanya tadi hanya keluar untuk pergi ke pasar. Apakah, jangan-jangan di pasar sekarang sudah tersedia penjual adik-adik gemes macam manusia yang ada di hadapannya, ini?
"Di pasar ada yang jual adik, Ma? Diskon ya, Ma?" Ara menggelengkan kepala. "atau jangan-jangan Mama selingkuh, ya?"
Toyoran lagi-lagi mendarat dari belakang kepala Ara. Bukan mamanya yang melakukan itu, melainkan papanya sendiri yang muncul dari balik punggung Ara.
"Mana ada Mama selingkuh, Ra ... Mamamu itu cinta mati sama Papa. Ganteng gini kok diselingkuhi," tukas sang papa yang seperti biasa, taraf kepercayaan dirinya melebihi rata-rata.
Ara menyipitkan mata ke arah sang papa. Dia masih belum begitu mencerna dengan baik, apa yang terjadi saat ini.
"Sudah ... sudah ayo masuk dulu. Ayo, Le! (dalam bahasa Jawa berarti anak laki-laki) Kamu juga ikutan masuk," ajak mama Ara. Sang mama, menggandeng posesif tangan pria itu melebihi apa yang pernah di lakukan kepada dirinya.
Ara masih memperhatikan dengan seksama tampilan pria yang baru saja diperkenalkan sebagai adiknya. Bahkan sampai tiga manusia itu duduk pada sova ruang tamu pun, Ara belum berhenti menilainya.
Pria itu memiliki tinggi badan di atas rata-rata pria Indonesia kebanyakan. Teman-teman kampusnya mentok juga paling tinggi mungkin 170-an. Dia bahkan lebih tinggi dari papanya yang notabene bertinggi badan 174-an. Mungkin tingginya kira-kira 180 cm. Suka sarapan tiang listrik kayaknya nih pasti. Kulitnya ... Sungguh, setelah ini Ara akan bertanya perawatan di mana pria itu.
Kulitnya mirip tahu saking putihnya. Tapi, sebentar, kenapa pria itu semakin dilihat semakin mirip dengan sang mama? Ara membandingkan warna kulitnya deng sang mama. Ia menggelengkan kepala begitu menyadarinya. Jangan-jangan, ternyata mereka ini adalah anak kembar? Iya ... jangan-jangan mereka anak kembar yang sudah lama terpisahkan.
"Ngelamun ... duduk sini, Ra," ajak sang mama.
Ara mengangguk. Ragu, gadis itu pun menuruti sang mama dengan duduk di depan ayah, mama, serta pria yang baru diperkenalkan menjadi adiknya.
"Ma ... ini kembaran Ara?" lirih Ara ragu-ragu. Wajahnya serius sekali.
Sang papa terpingkal-pingkal. "Anakmu, Ma..." Javas menggelengkan kepala setelah mengusap air matanya.
"Jangan ngawur!"
Ara, berdecak melirik pria yang tengah duduk di antara kedua orang tuanya. Dia tidak salah lihat, kan? Sekilas, ia seperti melihat pria itu tersenyum mengejek ke arahnya.
"Brian, ayo Papa antar ke kamar kamu. Capek, kan?"
Ara menatap horor ke arah sang papa yang mendadak berubah menjadi orang lain. Sangat jelas berbeda saat berhadapan dengan dirinya. Asal tahu saja, papanya tipe manusia jahil dan cenderung aneh saat berhadapan dengan dirinya.
Pikiran buruk kembali menyelimutinya. Jangan-jangan, sebenarnya anak kandung mereka adalah Brian, bukan dirinya. Secara, dari segi wajah pria itu lebih mirip dengan kedua orang tuanya. Sekali lagi, saat dicermati dengan seksama. Semua yang ada di Brian adalah perpaduan keduanya.
Tidak mungkin....
Ara melempar masker wajahnya sembarangan, kemudian buru-buru menatap sang mama begitu papa dan Brian, sudah tidak terlihat lagi.
"Ma jujur ke Ara ... jangan-jangan ... Ara, bukan anak kandung Mama sama Papa? Jangan-jangan yang anak kandung itu dia? Ara anak pungut ya, Ma? Mana keluarga kandung Ara, Ma?"
Namun bukan simpati atau setidaknya pelukan menenangkan, Ara malah mendapatkan lemparan bantal dari mamanya. Apa bahasa keseharian di keluarga ini adalah keanarkisan? Sungguh Ara benar-benar menyedihkan. Sepertinya ia yakin, jika dirinya benar anak pungut sekarang ini.
"Kebanyakan nonton sinetron kamu ini, Ra!"
"Iih itu kan Mama!" sengit Ara tak mau kalah. Gadis itu sudah kepalang sebal dengan perlakuan sang mama.
"Tapi yang halu kok, kamu?"
"Ya, terus kenapa tiba-tiba Ara punya adik, Ma? Mirip banget lagi sama kalian. Ara kan jadi bingung."
"Dia namanya Brian. Anaknya teman baik Mama," jelas Sarah kepada anaknya. "Ibu dan ayahnya adalah teman baik mama selama sekolah dulu. Beberapa bulan yang lalu mereka kecelakaan saat sedang dalam perjalanan bisnis. Jadi kita mutusin mengangkat dia jadi adik kamu."
"Gampang banget ngangkat anak? Emang Mama sama papa tidak perlu bicara dulu sama Ara? Minta pendapat kek, gitu? Lagipula, dia emang gak punya saudara lain, gitu?"
"Emang perlu?" jawab mamanya santai.
"Mama...," Ara benar-benar merajuk sekarang.
Mamanya tersenyum kemudian menyuruhnya mendekat. "Brian punya paman dan bibi, tapi mereka hanya peduli dengan apa yang ditinggalkan dari kedua orang tua Brian saja."
"Maksudnya, Ma?"
"Kamu tahu Joyo Grup? Perusahaan properti terbesar di Surabaya itu, Ra?"
"Ya enggaklah, Ma," sahut Ara. Dia mana tahu perusahaan-perusahaan besar. Kalau ditanya seberapa besar harapannya untuk bertemu dengan member BTS, nah itu dia baru tahu.
"Dua puluh tahun bernapas yang kamu tahu apa sih, Ra ... selain Jungkook?"
Ara terkekeh. Ternyata mamanya tahu juga pacar dari anaknya. "Itu kan calon mantu Mama."
"Astagaaa ... ampun aku, Pa...," adu sang mama ke pada papa yang baru saja bergabung di antara mereka. Javas mendorong Ara menggantikannya dengan dirinya. Jadi, beliau bisa menyandar kepada istrinya.
Ara memutar bola matanya jengah, melihat adegan horor bagi para jomblo seperti dirinya.
"Bibinya itu ambisius banget. Dia ingin menguasai semua kerajaan bisnis papa Brian. Segala macam cara dia lakukan. Kamu tahu maksudnya?"
"Maksudnya meskipun ngilangin Brian juga tidak masalah asalkan menguasai seluruh harta Brian peninggalan orang tuanya," lanjut sang Papa.
Ara mau tidak mau terhanyut oleh cerita dari sang papa. Otaknya yang imut itu ia paksa bekerja, hanya untuk mengisi rasa penasarannya.
Kedua orang tuanya saling pandang lalu sedetik kemudian tertawa terbahak-bahak.
Ara belum sadar. Ia, masih memandangi kedua orang tuanya dengan penuh kebingungan.
"Bercanda kali, Ra...," ujar sang papanya sambil sesekali tertawa.
"Maksudnya?"
"Kita cuma bercanda, Sayang ... gak usah serius gitu kali," lanjut mamanya.
"Lucu banget muka anakmu, Ma. Tahu gitu Papa videoin tadi."
"Ha, maksudnya apa, sih?" Ara mengerutkan keningnya. "What!" teriaknya, begitu tersadar dengan kebodohannya. Ini benar-benar persengkokolan yang epik. Dia sangat percaya, karena tadi mamanya yang ikut bercerita.
Bisa-bisanya mama papanya bikin cerita seperti itu dan ternyata hanya bercanda? Rasanya ingin sekali Ara pensiun jadi anak mereka.
"Tapi soal ayah dan ibunya Brian memang meninggal, Ra. Mereka mempercayakan kepada kita untuk menjaga Brian dan kami sepakat mengangkat Brian untuk jadi adik kamu, anak kami. Tidak ada protes-protes."
"Akhirnya Papa punya anak laki-laki."
"Akhirnya Mama punya anak pintar. Dia juara olimpiade matematika lho, Ra. Olahraganya juga jago. Senangnya ... Mama bisa nyombong kalau arisan."
Ara terperangah. Bisa-bisanya mama papanya bicara seperti itu di hadapannya? Apa mereka tidak sadar, jika itu menyakiti hati mungilnya?
"Bisa-bisanya Mama dan Papa bicara seperti itu, sih? Ara, sedih tahu jadinya. Ara, kan juga pintar. Mama sama Papa gak bersyukur banget punya anak cantik kayak Ara."
Mama memeluk Ara. "Cup ... cup, Sayang. Terima saja kenyataan," ujar sang mama lalu diselingi tawa dari sang papa.
"Maaaaaaa..." Ara lalu melepas pelukan mamanya. "Lagian gede-gedean dia kok Ara yang jadi kakak. Umur berapa dia?"
"Dia kelas dua belas SMA, Ra. Berarti umur tujuh belas, ya? Tiga tahun lebih muda dari pada kamu."
"Berondong ya, Pa?"
Papa mengangguk. "Tapi kayaknya lebih dewasa dia dari pada kamu. Umur cuma formalitas aja deh kalau kamu, Ra...," kata papa Ara.
"Papaaaaaa!!!!"
"Jadi bersikaplah baik sama Brian. Keluarganya hanya kita sekarang," pungkas sang mama.
Ara, mengangguk pada akhirnya. Walau pun masih banyak sekali pertanyaan yang mengganjal di dalam benaknya. Bertanya kepada kedua orang tuanya tidak menjadikan dia banyak informasi dan mendapatkan solusi, karena malah akan membikin dia bertambah emosi.
"Tapi, Ra kalau dia sebenarnya Papa jodohkan sama kamu, kamu mau?"