Brian terbangun dari tidurnya. Bibirnya berkedut bersusah payah menahan erangan. Tidak ... dia tidak boleh menangis. Rasanya sakit sekali. Pria itu meremas dadanya sambil sesekali memukulinya. Ini mimpi yang ke sekian kali. Mimpi ini terus mengganggunya seolah sebagai pengingat betapa tidak berbaktinya ia dengan orang tua. Betapa menyedihkannya melihat kuburan kedua orang tuanya yang berdampingan di sana.
Setelah sedikit tenang. Brian mengambil ponsel miliknya. Melihat sekilas jam yang tertera di sana dan melemparnya asal. Berjalan ia menuju balkon. Mengerutkan kening saat pria itu mendengar suara-suara berisik tak jauh dari sana.
"Sssst ... psst ... Pak ... Pak Bagus! Bukain gerbangnya. Dih, malah ngorok ini orang."
Tidak kehabisan ide Ara kembali memanggil satpam yang seperti sahabat karibnya itu. Kebiasaan buruk, batinnya. Padahal tadi dia sudah memperingatkan pria berusia tiga puluh tahun itu untuk tetap terjaga.
Hari ini pesta ulang tahun teman Roland. Pria yang baru satu minggu yang lalu menjadi kekasihnya itu memaksanya untuk menemaninya. Ara tidak memiliki pilihan, selain menyetujuinya. Yah, walau dia tidak benar-benar menyukai kekasihnya yang sekarang itu, setidaknya dia akan sedikit menunjukkan bahwa dirinya adalah pacar yang pengertian. Selain, memang dia yang sebenarnya juga sangat menyukai pesta-pesta semacam itu.
Yah, akan tetapi kesukaannya bertolak belakang dengan kedua orang tuanya. Mereka akan sangat murka, jika mengetahui Ara ada dalam gerombolan para anak muda yang merayakan apa pun di dalam klub dengan minum-minum sebagai pelengkap. Namun, gadis itu tidak kehabisan ide. Dengan diam-diam dia bisa bekerja sama dengan satpam rumahnya untuk bertemu teman-temannya. Tentu saja, itu semua tidak gratis. Dia hanya harus mencomblangkan pak Bagus dengan mbak yang bertempat tinggal di sebelah rumahnya.
Ara melotot melihat pak Bagus yang tidak bergerak sedikit pun, walau beberapa kali ia panggil namanya. Gadis itu harus segera memutar otak. Kalau tidak, masalah akan menghampirinya.
"Pak! Bangun! Istri Bapak melahirkan! Bangun, cepetan!" seru Ara semakin mengeraskan suaranya. Tentu saja gadis itu tidak mengeluarkan suaranya dengan maksimal, jika tidak ingin ditendang oleh kedua orang tuanya.
Begitu mendengar suara Ara yang sedikit dikeraskan. Di dalam sana, Pak Bagus langsung membuka mata, berdiri, kemudian bergerak ke kanan lalu ke kiri kebingungan. Ketika tatapan matanya tertuju pada raut amarah dari anak majikannya itu, perlahan detak jantungnya mulai berdetak normal kembali, ia pun akhirnya menghela napas panjang. Dia baru sadar, Ara hanya berkata asal untuk membangunkannya. Lagi pula, dia masih jomblo. Istri siapa coba yang ia hamili sampai melahirkan. Menghamili seorang perempuan lebih horor dari tatapan anak majikannya, pikirnya.
"Pak! Malah ngelamun ini, Bapak! Bukain!"
"Iya ... iya bentar Non sabar...," ujarnya sambil tangannya bergerak membuka gerbang dengan ngos-ngosan. "Lagian Non ... dari mana saja sih, Non. Ini sudah jam tiga pagi lho. Nanti pak Javas marah, salah siapa?"
"Ya salah Pak Baguslah ... siapa lagi?"
"Kok gitu, Non? Kenapa pulang jam segini sih, Non ... cari masalah saja."
Ara mengibaskan tangan dan masuk ke dalam pelataran rumah begitu pak Bagus sudah berhasil membukakan gerbang untuk dirinya. "Hadeee ... kepo banget sih, Pak Bagus. Ssst ... kalau Pak bagus gak berisik juga gak bakalan ketahuan Aranya. Lagi pula masih jam tiga pagi doang belum juga jam enam."
Berjalan mengendap-endap Ara akhirnya bisa memasuki rumahnya juga. Jantungnya hampir saja lompat dari tempatnya saat ia melihat sosok tinggi di hadapannya.
"Apakah itu gendruwo?" gumamnya. Ara mendekat lalu menggeleng. "Bukan deh kayaknya. Masak gendruwo ganteng ini." Gadis itu langsung siap siaga memasang kuda-kuda saat sosok tinggi tampan itu berjalan mendekatinya. "Lo, siapa? Maling, ya?"
Brian menghela napas. Kenapa tadi dirinya mendekat? batinnya. Tanpa mengindahkan pertanyaan Ara, pria itu pun memutuskan putar arah lalu berjalan menuju kamarnya.
"Lo, maling?" ulang Ara lagi, bertanya dengan masih memasang kuda-kuda.
Brian memutar tubuhnya lagi lalu melipat kedua tangannya di d**a. "Jam kerja maling jam berapa?"
Ara kembali berdiri pada posisi normalnya. Melakukan kuda-kuda ternyata cukup menguras energinya. Dia akan kalah lebih dulu sebelum berperang, karena kelelahan nantinya.
"Ya, mana gue tahu!" jawabnya nyolot.
"Maling biasanya beraktivitas di siang hari atau malam hari?"
"Malam hari sih, biasanya," jawabnya polos.
"Maling, biasanya datang dari luar atau dari dalam rumah?"
"Ya, dari luar rumahlah."
"Siapa yang sekarang malam-malam menyelinap masuk dari luar?"
Ara berdehem. "Gue."
"Jadi siapa di sini yang maling?"
"Gu—“
"Kamu!" potong Brian lalu buru-buru berlalu. Akan tetapi, lagi-lagi Ara menahannya.
"Lo siapa, sih?"
"Siapa, Bri?" tanya Javas dan Ara secara bersamaan. Membuat perempuan itu akhirnya tersadar, jika ada penghuni baru di dalam rumahnya. Terkutuklah ingatan buruknya. Padahal baru juga tadi siang, ia berkenalan dengan manusia tiang listrik ini. kenapa Ara sudah melupakannya?
Ara buru-buru bersembunyi di belakang tubuh tinggi Brian. Sedikit bersyukur dengan tinggi pria itu yang mampu menutupi tubuhnya yang bertinggi pas-pasan ini. Perempuan itu menarik-tarik ujung kaos Brian, berharap diselamatkan dari amukan kepala rumah tangga yang ada di keluarganya. Pak Javas begitu menyebalkan dan sangat mengerikan, jika sedang mengeluarkan taringnya. Dirinya tidak akan sekuat itu menghadapinya.
"Bri ... bantu gue dong, tolong," bisiknya.
"Bri ... kenapa? Ada masalah?" tanya Javas khawatir.
Brian menggelengkan kepala. "Enggak, Pa. Hanya..." Brian melirik perempuan yang sedang mencengkeram ujung kaosnya dan berdiri di belakang tubuhnya. "Aku tadi cuma bantuin bukain pintu kak Ara, Pa," Pria itu menggeser tubuhnya. Menampilkan sosok gadis yang tengah menunduk menyembunyikan wajahnya.
Ara melotot begitu tersadar, tidak ada lagi tameng yang menutupinya. "Dasar adik baru sialan!" geramnya tertahan. Ara akan membuat pelajaran yang setimpal untuk manusia menyebalkan ini, nantinya. Tunggu saja.
Javas menyalakan lampu dan seketika senyum khas pembunuh berdarah dingin keluar dari wajahnya.
"Ara! Sudah Papa bilang, jika Papa tidak akan tinggal diam lagi kalau kamu lagi-lagi pulang malam, bukan? Mobil kamu Papa sita. Silakan naik bajai saja setelah ini!"
"Pa! Tidak bisa gitu dong, Pa!" Ara mengentak-entakkan kakinya. Sebut saja dia kekanakan, yang penting mobil tetap bisa ia gunakan. Kampusnya cukup jauh dari rumah, akan begitu melelahkan, jika dia harus bangun pagi dan naik kendaraan umum. "Ara enggak pulang malam." Perempuan itu menunjuk jam dinding yang menunjukkan pukul tiga lebih seperempat dini hari.
Javas membuang napas beratnya. "Ok selamat, uang jajan kamu Papa potong lima puluh persen!" jawabnya pada akhirnya.
"Pa!" seru Ara tidak terima.
"Selam—“
"Cukup ... cukup, Pa. Ara minta maaf."
"Janji apa?"
"Janji enggak Ara ulangi lagi."
"Baik ... uang jajan tidak jadi dipotong lima puluh persen ... tapi tiga puluh lima persen saja. Sekian, saya undur diri dan terima kasih." Javas terkikik dan kembali masuk ke dalam kamar. Melanjutkan aktivitas tidurnya yang sempat terganggu akibat ulah dari anak-anaknya.
Ara melotot kepada Brian. Namun lagi-lagi laki-laki itu tidak memedulikannya dan malah kembali berjalan menaiki tangga.
"Bri ... awas ya, lo!"
Brian menghentikan langkah kakinya. "Awas, apa?" tanyanya dengan wajah datar.
Ditatap seperti itu membuat Ara jadi salah tingkah. Mendadak suaranya mengecil, keberaniannya menjadi sekecil uang sakunya saat ini. Apalagi saat mengingat pertanyaan konyol dari papanya kemarin mengenai Brian yang akan dijodohkan dengan dirinya, yang tentu saja itu hanya banyolan pak Javas saja. Walau, diam-diam ia mengamini juga. Namun, buru-buru Ara memaksa dirinya sendiri keluar dari mimpinya. Gadis itu, menggelengkan kepala sambil mengumpulkan sisa-sisa kewarasannya.
"Pokoknya awas saja," lirihnya berusaha mempertahankan harga dirinya.
Brian mengurungkan niatnya. Perlahan pria itu berjalan kembali mendekat. "Awas apa?" tanyanya sekali lagi berniat menggoda gadis di hadapannya.
"Kalian sedang apa? Tidur anak-anak sudah malam." Papa Ara, ternyata sudah berdiri pada tempatnya tadi.
Keduanya menoleh secara bersamaan. Ara menghela napas lega melihat sang papa berdiri di sana. Untuk kali ini dia sangat berterima kasih kepada sang papa. Gadis itu pun menggunakan kesempatan itu untuk berlari, segera memasuki kamarnya, tanpa menoleh kembali ke belakang. Sungguh, ternyata Brian lebih berbahaya, dari pada yang ia sangka.