"Cepat Ara keburu berangkat papamu, entar!"
Ara meringis, walau hanya dari panggilan telepon saja, suara sang mama masih terdengar begitu menyeramkannya saat masuk ke dalam telinganya. "Iya Mama ... Ara turun ini bentar lagi," balasnya lalu buru-buru menutup panggilan telepon itu.
Ara bergegas turun begitu sudah siap dengan dandanan kampusnya. Rok pendek berwarna merah muda dan kemeja pres bodi kesukaannya siap menemani dalam menguras otaknya seharian nanti.
Berjalan dengan malas-malasan sambil menguap, Ara menatap dari kejauhan pria yang digadang-gadang sebagai adik terbaik versi sang mama. Pria itu hanya senyum sesekali saat papanya tengah bercerita. Entah cerita tentang apa. Mungkin cerita tentang masa mudanya yang digandrungi para wanita atau kisah inspiratif ala bapak-bapak dalam mengejar kariernya, dan yang pasti sudah Ara dengar berjuta-juta kali sampai dia hafal setiap detail kata-katanya.
Ara menguap lagi. Sebenarnya, pukul sembilan nanti, kuliahnya baru akan dimulai. Namun, berhubung dari pukul setengah enam tadi, sang mama dengan kekuatan bulan, membangunkannya hingga bergetar seluruh sendi-sendinya, maka di sini ia sekarang, berdiri di tangga nomor tiga dari bawah rumahnya. Luar biasa sekali, Ara butuh tepuk tangan meriah, karena ini rekor bangun terpaginya.
"Ayo, Ra sini! Ngapain malah upacara di situ? Duduk di sini!" Javas tertawa setelah meneriaki nama anaknya. Dan lagi-lagi hanya beliaulah yang mengeluarkan suara.
Ara menyipitkan mata. Berjalan gontai, gadis itu kemudian duduk tepat di sebelah Brian. Ia tampak berusaha sekali menampilkan wajah paling tidak bersahabatnya, namun Brian sepertinya tidak mau repot-repot untuk sekedar meliriknya.
"Tumben sekali anak Papa jam segini uda siap saja, di meja makan? Waaah ... sudah rapi sekali!" sindir sang papa hiperbola.
Ara hanya memutar bola matanya, karena hari ini dia sendang malas meladeni guyonan dari sang papa. Lagi pula, siapa juga yang menyita mobilnya? Pak Javas itu sendiri kan yang membuatnya mau tidak mau harus satu udara dengan saudara barunya.
Ara lagi-lagi mengamati ketiga orang yang sedang menyantap sarapan di meja makan. Sesekali ia lihat papanya sepertinya sedang berusaha untuk melucu. Padahal sebelumnya, beberapa kali Ara sudah pernah mengatakan kepada pak Javas Athaya Tonda, jika banyolan beliau benar-benar tidak lucu sama sekali. Akan tetapi, tetap saja sang papa tidak pernah menyerah dan terus mengasah bakat terpendam yang harusnya tetap dipendam itu.
Kasihan sekali si Brian. Buru-buru Ara menggelengkan kepala. Tidak! Dia pantas mendapatkan semua itu, mengingat apa yang sudah pria itu lakukan kepadanya tadi malam. Gara-gara dia, mobilnya disita. Parahnya lagi uang sakunya yang tidak tahu menahu itu, juga harus ikut terkena imbasnya. Malang sekali nasibnya. Apa salahnya sih, berbohong sedikit saja. Pura-pura buta dan tidak menganggapnya ada.
"Pa ... Ara pakai mobil Ara, ya? Ara ada kuliah masih jam sembilan nanti tahu...," mohon Ara. Siapa tahu tuan Javas terbuka hatinya.
"Terus masalahnya? Kamu kan bisa bareng sama Papa. Kalau enggak mau, kamu bisa naik bus, taxi online, ojek online?"
"Kan uang saku Ara ... Papa potong lima puluh persen, katanya! Ara harus berhemat, dong."
"Oh iya Papa lupa."
Ara melotot. Tahu gitu Ara dari tadi diam saja.
"Kamu kan biasanya nebeng sama siapa itu? Word?"
"Apa lagi sih, Paaaaaa...?" Ara memijat pelipisnya yang dari semalan sudah merasa pusing akibat papa dan saudara angkatnya.
Otak Ara seketika membeku. Dia kasihan sekali kepada otaknya yang masih pagi hari, tetapi sudah harus dipaksa berpikir keras untuk meladeni kegaringan dari sang papa.
"Sama Word iya, kan?" ulang Javas lagi. Yah, seperti biasa ekspresi dari sang papa tetap serius seperti biasa, walau pun dirinya bermaksud untuk melucu.
"Ampuuuun ... Axel, Paaaa...."
"Bukan Word, ya?" Papanya tertawa dengan kejayusannya sendiri.
Demi apa? Papanya garing banget. Papanya tidak sadar apa, dari tiga orang yang ada di meja makan hanya papa sendirilah yang tertawa heboh. Mungkin hanya telur omelet yang sudah digoreng ini yang bisa mengerti lelucon dari beliau.
"Salah sendiri, kamu diam-diam ke luar malam lagi. Kita khawatir, Ra ... kamu itu cewek." Kali ini sang mama yang dari tadi diam, mulai bersuara dan itu bukan kabar baik.
"Iya, Ma Ara salah." Lebih baik mengalah, dari pada panjang urusannya. Berurusan dengan sang mama akan lebih menguras otak dari pada dengan papanya.
"Bareng saja sama Papa dan Brian. Supaya kamu juga bisa makin dekat sama adik kamu. Ngobrol kek apa kek gitu! Iya kan, Bri?"
Brian sebenarnya hanya tersenyum sepersekian detik saja. Yah, bahkan bukan senyum dalam arti yang sebenarnya. Mungkin, hanya sekedar menggerakkan bibirnya saja. Namun, untuk beberapa detik berikutnya tiba-tiba Ara seolah melihat kilatan cahaya serta bunga-bunga di sekitar tubuh adik angkatnya.
Tuhan, sepertinya ini bukan sesuatu yang baik, pikirnya.
Spontan Ara menunduk, namun saat kembali lagi mencuri pandang ke arah Brian, nafasnya seolah terhenti. Gadis itu mendapati ada dua lesung pipi yang bertengger di wajah adiknya saat berbicara dengan sang mama. Segera kembali, Ara menggelengkan kepala sembari merapalkan mantra penangkal ketampanan Brian. Gadis itu berjanji akan memasukkan nama Brian ke dalam daftar hitam pria yang harus dihindarinya. Jangan sampai terlena, pria itu benar-benar berbahaya.
Ara mencebikkan bibirnya, menyipitkan kedua mata sembari melipat kedua tangannya di d**a. Lagi-lagi, dia seolah kasat mata. Tentu saja hanya Brian yang membuatnya merasa seperti itu. Sejak kedatangan pria itu, Ara sepertinya harus merelakan pusat perhatian kedua orang tuanya beralih kepada Brian. Seperti saat ini, dua manusia berjenis kelamin laki-laki yang ada di depannya tengah melakukan sesi wawancara yang bikin dirinya bosan setengah mati. Sungguh membosankan, jarak sekolah baru Brian yang dulunya adalah sekolahnya, seharusnya hanya membutuhkan waktu dua puluh menit saja, namun baru sepuluh menit berada di dalam mobil dia sudah ingin lompat dan lari saja.
"Ra, kenapa diam saja? Kamu enggak ingin tanya-tanya mengenai Brian?"
Ara menyipitkan kedua mata ke arah kaca spion. Di sana gadis itu melihat papanya tengah memberi kode kepadanya. Dia sebenarnya tahu apa yang dimaksud papanya, namun dia sengaja pura-pura bodoh saja.
"Jangan kaget ya, Bri. Ara anaknya memang begitu. Kamu sabar-sabar saja." Diikuti anggukan dan senyum dari Brian setelahnya.
Ara melotot. "Maksudnya dengan, B-E-G-I-T-U?"
Pak Javas hanya nyengir saja seolah tidak ada suara yang bertanya. Selanjutnya, sepanjang perjalanan ketiga manusia yang ada di dalam sana hanya sibuk dengan pikirannya masing-masing saja.
Mobil akhirnya berbelok masuk ke pelataran sekolah. Suasana sekolahnya dulu tidak ada yang berubah. Yah, hanya warna cat gerbangnya saja sekarang yang berbeda. Termasuk, orang-orang di dalam sana tentu saja.
"Ra, Papa ke dalam dulu. Kamu mau ikut?" Pak Javas sibuk dengan sabuk pengaman dan berkas-berkas yang akan ia bawa.
Ara memutar bola matanya, dia tahu papanya hanya menggodanya saja.
"Siapa tahu kamu kangen sama ruangan Bu Astri. Reuni, mungkin?" Papanya mengedipkan sebelah matanya.
Bu Astri adalah guru penghuni tetap ruang bimbingan konseling, yang dulu tidak pernah lelah memanggil namanya. Ara bahkan sempat berpikir, jika bu Astri ingin mempersunting dia sebagai mantunya di masa depan. Karena, desas-desusnya dia memiliki putra sulung yang belum menikah diusia tiga puluh lima tahun, dan itu dulu beberapa tahun yang lalu.
"Yakin ini enggak mau, keluar? Kalau gitu tunggu di sini dulu, ya? Jangan nangis ... nanti nangis...," goda sang papa memecah ingatannya.
"Yang lama Pa, jangan buru-buru!" teriak Ara kemudian, saat papa dan Brian akhirnya berjalan menjauh darinya.
Lima belas menit kemudian papanya baru kembali.
"Capek ya, Pa? Sama Ara juga," sindir Ara melirik sekilas papanya.
"Kelihatan banget ya, Ra?"
Ara mengangguk. Brian juga bakalan sadar kalau saja pria itu peka, betapa bekerja kerasnya sang papa. Gadis itu lalu berpindah pada kursi depan di samping papanya sambil beberapa kali memperbaiki posisi duduknya.
"Papa ingin dekat, Ra sama Brian. Tiba-tiba kehilangan orang tua tentu saja enggak mudah. Apalagi, harus juga beradaptasi lagi dengan lingkungan baru, suasana baru, bahkan keluarga baru. Kamu baik-baik sama dia, ya?"
Pak Javas menghela napas sambil menatap jalan yang ada di depannya. "Dulu, anak itu lucu sekali. Pipinya gembul kayak bakpau," kenangnya di sela-sela tawa.
Kemudian papanya kembali diam mengamati para siswa yang berlalu lalang. "Papa, benar-benar enggak menyangka bakalan kejadian kayak begini. Bastian dan Andita...."
Ara berdehem saat sang papa tidak sanggup melanjutkan ucapannya. Dia tahu, jika sang papa juga sangat kehilangan kedua sahabatnya.
Papa mengusap kepala putrinya dengan sayang. "Ra ... hewan, hewan apa yang bersaudara?"
Ara mengerjap. "Hah, apa?" Dia belum siap dengan perubahan situasi ini. Bukankah baru saja ada adegan menyedihkan yang ditampilkan oleh sang papa? Ini air mata masih baru akan berancang-ancang akan ke luar lo. Masak harus dipaksa masuk, lagi?
"Ra ... dijawab dong, Ra?"
"Yuk, Pa ... dinyalain saja mobilnya, anterin Ara."
"Papa kasih tahu ya jawabannya, ya?" Pak Javas belum juga menyerah dengan tebakan aneh yang tiba-tiba.
Demi baktinya dengan sang papa, Ara pun akhirnya mengangguk juga sambil memaksa senyumnya, walau rasanya sangat berat untuk melakukannya.
"Katak beradik."
Kalau ini adegan pada sebuah film, mungkin akan ada suara jangkrik dan hembusan angin yang datang tiba-tiba.
"Hahahahaha!" Ara pun pura-pura tertawa, setelahnya. Gadis itu berharap, Malaikat harus mencatat perjuangan Ara sebagai anak berbakti, setelah ini.
"Jadi kakak beradik yang saling menyayangi, ya...," lanjut sang papa kembali dengan mode seriusnya.
"Iya Papaku, Ara akan berusaha semampu Ara." Meskipun, akan butuh banyak waktu sepertinya.