Bab 8

2621 Kata
Ray menatap Daria, yang duduk di seberangnya di sebuah kafe di Jakarta, dengan perasaan campur aduk. Ia tahu Daria tulus menyukainya, dan gagasan untuk memanfaatkannya demi rencana Abigail terasa seperti mengkhianati kepercayaan itu. Namun, ancaman Abigail, yang terselubung dalam kepedulian palsu terhadap Anne, masih terngiang di telinganya. "Kalau kau sungguh-sungguh peduli akan keselamatan Anne, maka kau akan menuruti gagasanku." Kalimat itu adalah kunci yang menimbulkan dilema bagi Ray. Ini mungkin ancaman, mungkin juga ada bahaya mengintip dari sisi yang tidak diketahuinya, yang tahu hanya Abigail sendiri. "Jadi, kau sudah menghubungi Anne?" tanya Daria, suaranya ceria, memecah lamunan Ray. Ia menyeruput latte-nya, matanya berbinar antusias. Mereka duduk di teras, tempat terbuka, jadi Daria dengan bebas bisa menyalakan sebatang rokok. Asap tipis membumbung ke udara senja Jakarta yang masih terasa lembab, hujan deras baru saja berhenti. "Aku tidak sabar untuk membicarakan proyek ini dengannya. Novelnya pasti akan jadi film yang luar biasa!" Ray mengangguk pelan, menghindari tatapan mata Daria. "Sudah, tapi dia... agak sibuk. Mungkin lebih baik kalau kau yang mencoba menghubunginya. Dia mungkin lebih terbuka denganmu." Ray menyerahkan sebuah kartu nama yang sudah disiapkannya, dengan nomor telepon Anne. Kartu itu terasa dingin di ujung jarinya, seolah menyimpan rahasia dan beban yang tak terucap. Ia sengaja tidak memberikan detail lebih lanjut tentang penolakan Anne yang tajam, tidak ingin Daria merasa menjadi pemain cadangan atau, lebih buruk lagi, alat dalam permainan yang jauh lebih besar. Ia merasa seperti seorang sutradara yang sedang mengarahkan sebuah drama rumit, dengan skenario yang terus berubah di menit terakhir. Ray tahu Anne tidak bodoh. Instingnya mengatakan bahwa Anne melihat ini sebagai kesempatan, bukan hanya tawaran murni. Daria mengambil kartu nama itu dengan semangat pejuang empat lima. "Tentu saja! Aku akan langsung menghubunginya. Aku yakin dia akan tertarik setelah mendengar tawaran dari Abigail." Ia tersenyum lebar, membayangkan kolaborasi yang akan datang, seolah-olah pintu ke dunia baru saja terbuka lebar di depannya. "Aku akan bilang padanya bahwa kita akan datang ke sini, ke Jakarta, untuk membicarakan detailnya." Ray hanya bisa tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. "Ya, katakan saja begitu. Aku akan menemanimu, tentu saja." Dalam hati, ia merasa agak lega bahwa Daria yang akan menghadapi Anne secara langsung. Ini memberinya sedikit waktu untuk memikirkan langkah selanjutnya, bagaimana ia bisa mengarahkan situasi ini tanpa terlalu banyak merugikan siapa pun, terutama Daria dan Anne. Ia merasa seperti seorang sutradara yang sedang mengarahkan sebuah drama rumit, dengan skenario yang terus berubah di menit terakhir. Beberapa hari kemudian, Daria mengirim pesan kepada Ray: "Anne setuju bertemu! Dia bilang dia penasaran dengan tawaran film. Kita bisa bertemu besok sore di kafe yang sama." Ray membaca pesan itu dengan alis terangkat tinggi. Anne setuju? Setelah pesannya yang tegas untuk tidak dihubungi lagi? Ini menarik. Pasti ada sesuatu yang membuat Anne berubah pikiran. Rasa penasaran, mungkin, atau mungkin Anne ingin mencari tahu lebih banyak tentang "proyek" ini sebagai cara yang tidak terlalu mencurigakan untuk mendekati kebenaran tentang Stefan. Ray tahu Anne tidak bodoh. Instingnya mengatakan bahwa Anne melihat ini sebagai kesempatan, bukan hanya tawaran murni. Keesokan sorenya, kafe yang sama terasa lebih ramai, namun Ray dan Daria berhasil menemukan Anne duduk di salah satu meja sudut. Ray segera menyadari bahwa Anne tampak lebih tegang dari biasanya. Ada lingkaran hitam tipis di bawah matanya, seolah dia tidak tidur nyenyak selama berhari-hari. Kulitnya pucat, dan ada kerutan samar di antara alisnya yang menunjukkan beban pikiran yang berat. Ketika Anne melihat Ray, ekspresinya mengeras sesaat, sebuah kilatan marah melintas di matanya—kemarahan yang tak sepenuhnya dipahaminya—namun ia segera mengalihkan pandangannya ke Daria, memaksakan senyum ramah yang terlihat agak rapuh. "Halo, Anne," sapa Daria hangat, duduk di seberang Anne. Auranya yang ceria sedikit meredakan ketegangan di udara, seolah membawa angin segar ke dalam ruangan. "Senang sekali akhirnya bisa bertemu denganmu. Aku Daria, dari tim produksi Abigail." "Halo, Daria," jawab Anne, suaranya agak kaku, seolah ia harus berusaha keras untuk mengeluarkannya. Anne segera menyadari kecantikan alamiah wanita di hadapannya ini. Mata dan hidungnya sangat indah, proporsional, tanpa cela. Dan kulit itu, sungguh-sungguh putih, bukan seperti kulit putih perempuan _bule_, Hong Kong, Korea, atau Jepang, melainkan putih bersih seperti s**u, dengan rona hangat yang khas. Tampaknya wanita ini memiliki campuran antara Timur Tengah dengan Asia Timur, menjadikan penampilannya sangat istimewa, bahkan di tengah keramaian Jakarta yang multietnis. Sebagai sesama wanita, Anne tiba-tiba merasakan kecemburuan yang irasional sedang melanda dirinya, perasaan aneh yang bergejolak di dalam perutnya. Ia melirik Ray sekilas lagi, tatapan penuh pertanyaan yang tak terucapkan, seperti isyarat Morse yang hanya mereka berdua pahami: "Mengapa kau ada di sini setelah apa yang kukatakan? Dan siapa sebenarnya wanita cantik ini, yang terlihat begitu nyaman di dekatmu?" Ray hanya mengangguk kecil pada Anne, memberikan isyarat bahwa ia hanya menemani Daria, mencoba meyakinkan Anne bahwa kehadirannya adalah bagian dari kesepakatan profesional yang tidak bisa ia hindari. "Anne, Daria akan menjelaskan detail tentang tawaran Abigail. Ini kesempatan besar untuk novelmu." Daria, tidak menyadari ketegangan yang sedang berkembang antara Ray dan Anne, atau memilih untuk mengabaikannya dengan fokus profesional, langsung bersemangat menjelaskan visi Abigail untuk adaptasi film. Ia berbicara dengan gestur tangan yang antusias, matanya berbinar saat menggambarkan bagaimana tema-tema dalam novel Anne bisa diangkat ke layar lebar dengan sentuhan sinematik yang kuat, bagaimana Abigail terkenal dengan detail visual dan narasi yang mendalam. Daria juga menyebutkan bahwa Abigail sangat terkesan dengan kedalaman karakter dan plot yang kompleks, terutama bagaimana Anne berhasil menciptakan _villain_ yang begitu berlapis dan _heroine_ yang begitu rapuh namun kuat. "Ada sentuhan personal yang kuat di sini, Anne," kata Daria, dengan nada tulus yang memikat, "Abigail merasa seolah-olah ada bagian dari dirimu dalam setiap karakter. Itu yang membuat novel ini terasa begitu hidup." Anne mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk, namun Ray bisa melihat bahwa pikirannya tidak sepenuhnya pada pembicaraan film. Pujian Daria itu seolah diabaikan begitu saja, melayang di atas kepala Anne tanpa bekas. Matanya sesekali melirik Ray, seolah mencari petunjuk atau jawaban atas pertanyaan yang belum terucap, sebuah kerlipan keraguan yang tak pernah padam. Ia tampak seperti seorang detektif yang sedang menyaring setiap kata, mencari celah, mencari kebohongan di antara kebenaran yang disajikan. "Tentu saja, ini baru tahap awal," kata Daria, mengakhiri penjelasannya dengan nada optimis. "Abigail ingin bertemu langsung denganmu untuk membahas lebih lanjut, tapi karena dia masih sibuk di Kuala Lumpur, aku diminta untuk datang ke sini dan menyampaikan ketertarikannya." Anne akhirnya berbicara, suaranya terdengar lebih tenang, namun dengan nada yang lebih tajam dari sebelumnya, seperti bilah pisau yang diasah perlahan. "Aku... tertarik. Tapi ada beberapa hal yang ingin kutanyakan." Ia menatap Daria, lalu pandangannya beralih ke Ray, tatapan itu terasa seperti tusukan dingin yang menembus topeng ketenangannya. "Ini tentang... _inspirasi di balik cerita_. Apakah Abigail—maksudku, bos kalian ini—_tahu banyak_ tentang hal itu?" Ray merasakan jantungnya berdebar keras di dalam dadanya, ritmenya cepat dan tak beraturan. Ini dia. Anne mulai memancing, mencoba menguji seberapa jauh Abigail dan Ray mengetahui kebenaran di balik fiksi yang ia tulis. Sebenarnya, cerita ini juga bukan seluruhnya mengutip dunia nyata, hanya beberapa bagian memang ada kaitannya, namun bagian-bagian itulah yang krusial dan bisa membahayakan jika terungkap. Daria, yang tidak tahu apa-apa tentang latar belakang sebenarnya, menjawab dengan polos, "Tentu saja! Abigail sangat menyukai bagaimana kamu membangun dunia cerita dan karakter-karakternya. Dia bilang itu sangat otentik." Daria tersenyum lebar, sama sekali tidak menyadari jebakan yang sedang dipasang Anne, atau mungkin dia terlalu tulus untuk mencurigai hal tersebut. Anne tersenyum tipis, senyum yang tidak sampai ke matanya, seolah hanya sebuah topeng tipis. "Begitu ya. Aku penasaran, _bagaimana_ Abigail bisa menemukan novelku? Aku tidak merasa novel ini terlalu populer. Bahkan, aku tidak ingat pernah mengedarkannya secara luas." Sebuah kebohongan kecil yang diucapkan dengan begitu meyakinkan, membuat Ray makin waspada. Anne jelas sedang memancing, menguji integritas mereka. Ray tahu ini adalah pertanyaan jebakan lain yang rumit. Anne jelas mencurigai sesuatu yang lebih dalam dari sekadar tawaran film biasa. Ia harus berhati-hati, setiap kata bisa menjadi pisau bermata dua, membuka celah untuk Anne menggali lebih dalam. "Ah, itu..." Daria sedikit ragu, menoleh ke Ray, mencari bantuan, seolah memberikan relay kepadanya. "Ray yang menemukannya. Dia bilang dia sangat terkesan dan merekomendasikannya kepada Abigail." Keempat mata itu kini tertuju pada Ray, tapi mata Anne lebih tajam menatapnya dengan penuh pertanyaan yang tak terucapkan, menunggu penjelasan yang bisa meyakinkan atau justru menguak kebohongan. Ray tahu ini adalah momen krusial. Ia harus memberikan jawaban yang meyakinkan, namun juga tidak terlalu banyak mengatakan apa-apa, dan yang terpenting, tidak menunjukkan kegugupan sedikit pun. "Ya," kata Ray, mencoba terdengar santai, sambil menyesap kopi hitamnya yang sudah dingin, mencoba menyembunyikan kegugupan di balik gestur sederhana. "Aku memang kebetulan membaca novelmu di online. Kupikir ceritamu punya potensi besar. Aku sering mencari bakat-bakat baru untuk Abigail. Dia punya mata yang tajam untuk potensi, dan aku hanya membantunya menemukan permata tersembunyi." Ia mencoba memancarkan aura profesional, menyembunyikan motif sebenarnya yang jauh lebih gelap dan personal. Celakanya, ia tak merasa bahwa Anne mempercayainya. Anne mengangguk perlahan, namun tatapan matanya masih menyelidik, seperti seorang investigator yang mencurigai setiap detail. Ia tertawa ringan. "Begitu. Jadi, ini murni karena potensi cerita?" Ia menekankan kata "murni," seolah menantang Ray untuk berbohong, seolah ia bisa melihat menembus kebohongan. Ray menahan napas sesaat, memikirkan setiap skenario, setiap konsekuensi dari jawabannya. "Tentu saja," jawabnya, mencoba terdengar yakin, suaranya sedikit lebih berat dari biasanya. "Abigail hanya peduli pada cerita yang bagus. Dia selalu mencari kisah yang bisa menyentuh hati penonton, dan ceritamu punya kekuatan itu." Ia berharap kata-katanya terdengar meyakinkan bagi Anne, meskipun di saat yang sama agak meragukannya sendiri. Ia merasa seolah-olah ia sedang memainkan sandiwara, dan Anne adalah satu-satunya penonton yang benar-benar memahami naskah aslinya. Daria mengangguk setuju, tidak menyadari permainan kucing-kucingan yang sedang berlangsung, atau mungkin dia memilih untuk fokus pada tugasnya. "Betul sekali. Ma'am sangat selektif. Dia melihat sesuatu yang istimewa dalam karyamu, Anne." Ia tersenyum ramah, ketika menambahkan, "Actually, this is your story, Ma'am_ bahkan mengundangmu untuk datang ke lokasi di sepanjang shooting, kau bisa mengatakan keberatan, jika memang tidak sesuai dengan apa yang kau bayangkan. Kau akan punya kontrol kreatif penuh." Nada Daria begitu antusias, begitu tulus, yang justru membuat Ray merasa semakin bersalah atas peran yang sedang dimainkannya. "Oh, really?" kata Anne, tampak terkejut, namun ada kilatan licik di matanya. Ia tertawa ringan, menyeruput kopinya sendiri, dan melemparkan sebuah teka-teki baru, "I wonder bos kalian ini—apa juga akan membayar semua pengeluaranku di sana?" Ada nada tantangan dalam pertanyaannya, seolah menguji batas kemurahan hati dan motif tersembunyi mereka. Anne tidak akan menerima begitu saja tawaran yang terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. "Tentu saja," kata Daria, sama sekali tidak berbohong. Sebelum berangkat, Abigail menekankan betapa pentingnya mengundang Anne datang, sedikit pun tidak keberatan membayar pengeluaran Anne selama di Malaysia. Bahkan mungkin lebih dari itu, jika diperlukan untuk memenangkan kepercayaannya. Mencari dukungan, ia melirik Ray, "Bukan begitu, Ray?" "Tentu, tentu," jawab Ray. Ia merasa suaranya pasti terasa hambar di telinga Anne, terdengar seperti rekaman, tanpa emosi. Ia tahu Anne mengujinya, menantangnya. "Kalau perlu, sekarang juga kami bisa video call_ ke Abigail, kalau masih belum yakin." Ray bahkan mengambil ponselnya, bersiap untuk menelepon Abigail. Dalam hati ia berharap Anne akan menolaknya, karena video call itu pasti akan membuat wajah Abigail dikenali, mengingat foto Stefan dan Abigail yang pernah ditunjukkannya kepada Anne. Itu akan menjadi bom waktu. "Rasanya tidak perlu," jawab Anne, tersenyum semar, misterius. Ia menangkap tatapan Ray yang menegang, dan itu sudah cukup memberinya informasi. "Aku tahu bos kalian pasti bisa membayarnya. Lagipula, aku tidak ragu soal itu. Hanya memastikan saja." Anne mengangkat bahu, seolah pertanyaan itu hanyalah sebuah formalitas, sebuah gurauan ringan. Namun, Ray tahu, itu adalah cara Anne untuk menegaskan kontrol, untuk menunjukkan bahwa dia tidak sepenuhnya berada di bawah kendali mereka, dan dia jauh lebih cerdik daripada yang mereka kira. Ray tidak tahu, sebenarnya yang melintas di benak Anne saat ini justru adalah mimpi erotisnya dengan Ray beberapa waktu yang lalu. Mimpi itu masih menghantuinya, membangkitkan perasaan aneh yang bercampur aduk dengan kecurigaan. Sedangkan sekarang ini, yang didengarnya adalah nama seorang wanita lain yang kedengarannya sangat cantik—Abigail—dan yang secara tak langsung ia dengar adalah atasan Ray. Lebih gila lagi, yang duduk di sisi Ray saat ini adalah seorang wanita cantik lain lagi dengan penampilan yang sangat eksotis, wajahnya sulit dilukiskan dengan kata-kata yang biasa ditulis Anne. Meskipun ia sendiri merasa bahwa dirinya juga cantik, tak merasa kalah dengan perempuan ini, tetapi ada beberapa bagian yang sungguh tak bisa dipungkirinya. Daria memiliki banyak penampilan fisik yang diam-diam ingin dimilikinya—mata yang memikat, hidung yang sempurna, kulit seputih pualam—tetapi ia sadar bahwa keinginan memiliki hal semacam itu tidak akan pernah terwujud. Dengan menyembunyikan rasa irinya, Anne menepis semua perasaan yang timbul itu, mendorongnya ke sudut gelap pikirannya. Pertemuan berlanjut dengan diskusi lebih lanjut tentang aspek teknis adaptasi film, durasi, casting awal, dan potensi tanggal shooting. Namun, Ray bisa merasakan bahwa Anne masih menyimpan keraguan yang dalam, sebuah tembok tak terlihat yang ia bangun di sekeliling dirinya. Ia tahu Anne tidak sepenuhnya percaya pada motif di balik tawaran ini. Ini hanyalah awal dari permainan yang lebih besar, dengan Anne sebagai pemain yang jauh lebih tangguh dari yang Ray bayangkan. Rencana Abigail mungkin berjalan, tetapi dengan risiko yang semakin tinggi, dan Ray merasa dirinya semakin terjebak di tengah-tengah intrik yang ia sendiri ciptakan. Ia bertanya-tanya, apakah Anne akan menggali lebih dalam tentang dirinya, atau tentang Stefan? Atau keduanya? Setiap detik yang berlalu adalah langkah lebih dekat menuju kekacauan yang tak terhindarkan, sebuah badai yang siap meletus kapan saja. Begitu Anne bertemu dengan Abigail secara langsung, semuanya ini sudah jelas akan terbongkar, yang bagi Abigail sendiri memang sesuatu yang diharapkan—sebuah pertunjukan besar. Tetapi bukankah reaksi Anne menjadi tidak jelas bagi Ray? Ia pasti akan merasa dijebak, dihianati. Lalu apa yang akan dilakukannya? Masa ia hanya akan mengikuti skenario yang diatur Abigail, tanpa perlawanan? Ray merasakan dingin merayap di punggungnya. Perasaannya terhadap Anne, meskipun rumit, tidak ingin melihat wanita itu hancur karena tipu dayanya. Ini akan menjadi pertarungan yang sulit, baik bagi dirinya maupun bagi Anne. Bagaimana pun juga, pertemuan itu bisa dibilang sukses bagi Daria dan Ray, dari sisi profesional. Anne berjanji untuk menghubungi mereka lagi untuk membicarakan keputusannya. Tetapi hal ini membuat Ray menjadi sangat penasaran, apakah selanjutnya Anne akan menghubunginya secara pribadi? Atau dia akan melangkah lebih jauh dalam penyelidikannya sendiri? Ia mendengar Daria berkata secara sambil lalu, ketika mereka berjalan menyusuri deretan panjang pertokoan dan aroma makanan menyeruak dari setiap resto di situ, mengisi udara dengan berbagai wewangian, "Hm! Aku tiba-tiba lapar. Kau tidak bermaksud mentraktirku di sini? It's my first time here, you know—masa tuan rumah tidak mengundangku mencicipi makanannya sendiri?" Daria mengamat-amati foto-foto makanan yang menghias setiap tempat itu dengan penuh rasa ingin tahu, matanya berbinar seperti anak kecil di toko permen. Ray tertawa, tawa yang sedikit dipaksakan untuk menutupi pikirannya yang berkecamuk. "Baiklah, ini rumahku, jadi aku yang traktir. Kau ingin makan di mana?" Ia tahu, ini hanyalah jeda singkat sebelum badai yang sesungguhnya. Daria memiringkan kepalanya ke kanan sedikit. Tampaknya hal ini adalah kebiasaannya jika sedang mempertimbangkan sesuatu yang menyenangkan, memilih satu di antara dua, attau banyak. Akhirnya ia menudingkan telunjuknya ke arah Duck King. "Itu, I want to know what is it like here! You know laah...di Petaling memang banyak yang seperti ini, tapi yang ini kelihatannya menarik." Kali ini Ray tidak ragu untuk memboroskan uang, yang sebanarnya mereka dapat dari Abigail untuk perjalanan ini. Tertawa keras-keras, ia berkata, "Baik," lalu membungkuk dan menggerakkan tangannya secara berlebihan untuk mempersilakan Daria mendahuluinya menuju ke tempat itu, "My pleasure.. " Daria tertawa keras-keras. Mata indahnya sungguh menggetarkan hati. Rasanya tak seorng pria pun sanggup menolak wanita ini. "Lebay !" katanya, menirukan cara bicara anak-anak muda Jakarta modern, dengan aksen yang terdengar lucu di telinga Ray. Ia melingkarkan tangannya, memeluk lengan kanan Ray dengan anggun, sementara mereka berjalan memasuki Duck King. *** *Ade-Lima
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN