"Lo nggak waras?" tanyaku heran. Galaksi hanya tersenyum miring menatapku. Emosiku sudah di puncak ubun-ubun menghadapi tingkah kekanakannya, tapi dia selalu memasang wajah tanpa dosa.
"Serah lo. Kalau lo pergi bakal gue cium." Galaksi nyengir. Ia memasukan kotak pengaman tadi ke dalam saku celananya kemudian memandangku dengan senyum jahilnya.
"Lo sendiri bakal pergi hang out sama cewek lain, kenapa gue dikurung di rumah?” tanyaku dengan intonasi marah lantaran tak terima.
"Lo kan kerja sama gue. Jadi, ya, nurut aja."
"Jawaban lo nggak masuk akal, Galaksi!"
"Mas. Panggil aku Mas." Galaksi memajukan wajahnya, memamerkan senyum menjengkelkannya tepat di depan mataku. "Mas, jawaban kamu tuh nggak masuk akal, Sayang. Gitu, dong!" katanya dengan gaya bicara menyek-menyek. Aku menaikan sudut bibir lantaran heran. Kok bisa ya ada spesies manusia semacam ini?
"Dih, najis!" kataku, tapi dia malah ketawa.
"Lo mau pergi atau nggak?" tanyanya memastikan.
"Mau."
"Ya udah, berarti bakal gue cium."
"Serah lo!" Aku berlalu dari hadapannya, melangkahkan kaki dengan terburu-buru. Membawa segunung emosi yang bertumpuk di d**a. Cowok itu tetap diam di tempatnya. Kulirik Galaksi kembali, dan dia sedang memandangku dengan wajah lempengnya.
"Selamat bekerja, Damara!"
Mendengarnya membuatku memutar bola mata saking kesal.
“Serah lo!”
***
Aku mengenakan gaun putih gading di atas lutut, lantas bercermin ke kaca lemari. Kukira ini perpaduan yang pas untuk dipakai malam ini. Kali ini aku akan makan malam bareng Sita dan beberapa karyawan shift pagi lainnya. Berhubung aku masih kesal ke Galaksi, jadi aku memutuskan untuk keluar dan berpura-pura dinner romantis bareng Andra. Padahal Andra sama sekali tidak berkontribusi dalam konspirasi ini. Aku males minta bantuan ke Andra, soalnya masih sakit hati semenjak kejadian di bioskop tempo hari.
Kujepit rambutku mengenakan jepitan warna pink. Walaupun aku nggak secantik Lisa Blackpink, tapi aku mencintai diriku sendiri melebihi apa pun. Akan kudandani diriku semenarik mungkin walaupun hasilnya mirip jamet.
Setelah mengeluarkan high heels dari rak sepatu, aku melangkah ke luar kamar kemudian berjalan santai menuju pintu.
"Heh!"
Seseorang memanggilku dari arah kamar Galaksi. Aku memutar tubuh dan menemukan Galaksi berdiri mematung di depan pintu. Dia mengenakan kaos putih polos dan kolor di atas lutut sambil memandangku dengan muka bantalnya, sementara aku hanya melongo keheranan. Kukira dia pergi hang out dengan cewek barunya, tapi kenapa sekarang malah di sini?
"Mau ke mana lo?"
"Jalan bareng Andra, lah," jawabku sombong. Galaksi menaikan sudut bibirnya. Mungkin dia jijik mengingat hubungan kurang sehatku dengan Andra.
"Nggak boleh!"
"Kenapa? Bukannya lo juga mau jalan bareng cewek baru lo?" sindirku. Galaksi hanya merotasi kedua bola matanya sambil berdecak kesal.
"Pokoknya nggak boleh!"
"Lo ngatur, ah!"
"Nyuci. Lo mesti nyuci. Baju gue banyak yang kotor!" katanya dengan nada naik satu oktaf.
"Udah gue cuci semuanya. Lo mau apa, ha?" Aku bertolak pinggang di hadapannya.
"SETRIKA, g****k. BAJU GUE KUSUT SEMUA. LO HARUS NYETRIKA!"
"Udah gue setrika semua!" kataku sambil menjulurkan lidah, kemudian memasang ekspresi mengejek. Galaksi tampak menahan emosi, ia menggaruk kepalanya kasar. Berusaha mencari alasan lain, namun tak kunjung menemukan.
"Ah. Gue sakit, Damara. Gue mau kerokan." Galaksi merengek. Dia memegang kepalanya hiperbolis sambil bersandar ke pintu. Aku menaikan sudut bibir keheranan. Bukannya barusan dia habis teriak-teriak, ya? Sehat walafiat juga. Kenapa sekarang mendadak sakit?
"Nanti habis jalan, deh, gue kerokin lo, ya?" jawabku.
"Nggak bisa, ih. Gue udah mau mati sekarang!"
"Ya udah mati aja!" kataku, kemudian balik badan dan berjalan menuju pintu.
"HEH!"
"Dadah, Galaksi!" Aku melambai tangan kemudian berlalu begitu saja. Galaksi berjalan cepat mengejarku, dan secara refleks aku berlari.
"Berhenti!" katanya sambil berlari. Dan kami kejar-kejaran. Saking paniknya, aku malah berlari menuju garasi mobil. Di sana buntu, aku nggak bisa ke mana-mana lagi. Kalau balik lagi, aku pasti tertangkap oleh Galaksi. Aduh, bodoh banget, sih, aku. Kenapa malah masuk ke sini?
Galaksi terengah-engah setelah sampai di garasi. Dia tersenyum ala psikopat saat melihatku dilanda kepanikan. Perlahan dia berjalan mendekat sambil menyeringai, sementara aku mepet ke tembok.
“Mau ke mana, Cantik?” tanya Galaksi sambil melangkah pelan-pelan ke arahku. Sumpah, perangainya saat ini mirip tokoh antagonis di tivi-tivi.
“Ijinin gue pergi, please.”
“Tadi gue bilang apa pas di toko?” tanya Galaksi. Saat ini dia berdiri sempurna di hadapanku yang mencari celah untuk kabur.
“Lo keterlaluan, Galaksi.” Aku menggigit bibir saking was-was. Galaksi menempelkan kedua tangannya ke dinding, mengukukungku dengan tubuh jangkungnya. Aku memejamkan mata lantaran panik saat wajahnya perlahan mendekat.
“Gue udah ngasih lo pilihan, Damara.” Galaksi berbicara dalam jarak kurang dari sepuluh centi meter. Wangi mint dari mulutnya terhirup sempurna, mengusik pertahan yang kubangun susah payah. Dia memandang bibirku sambil menyeringai, beralih ke mata dan kami berpandangan selama beberapa saat. Mataku terpejam rapat saat wajahnya semakin mendekat.
Cup.
Pada akhirnya Galaksi menciumku. Sebelah tangannya memegang leherku supaya aku tidak ke mana-mana. Lidahnya bergerak halus di permukaan bibirku, membelainya sampai aku hampir kehilangan akal.
Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Kudorong bahunya agar menjauh, tapi Galaksi tetap bersikukuh. Memajukan badannya dan mengunciku dalam hangat tubuhnya. Dia sedikit menggigit bibirku, membuatku membuka mulut, dan lidahnya masuk, menari-nari di dalammya.
Ya Tuhan, aku tak kuat lagi. Kugigit bibirnya sebisaku sehingga Galaksi mengaduh kesakitan dan melepas ciuman kami.
"Sakit, g****k!" protesnya.
"Lo nggak waras?" Aku melotot horror padanya yang masih sibuk mengaduh.
"Ini kesepakatan."
Kupandang wajahnya dengan amarah yang memuncak di ubun-ubun. Secara refleks, aku menampar pipinya lalu mendorong bahunya hingga cowok itu terhuyung ke belakang. Galaksi memandangku tanpa kata. Segera aku berlari ke luar meninggalkannya seorang diri.
***
"Damara kayak ada masalah gitu, sih. Ada apa?" Sita menyenggol bahuku. Seno and friends mengangguk setuju. Mereka menyedot pop ice dari wadah kemudian pura-pura teler di tempat.
"Anggur merah dulu, Damara!" kata Seno sambil mendorong jus jeruk ke arahku. Aku tetap diam memikirkan sikap Galaksi padaku. Kenapa dia malah ngasih harapan palsu?
"Buruan, biar stress lo ilang," kata Deon. "Anggur merah dulu!"
"Mata lo. Jus jeruk doang dibilang anggur merah." Sita menggebrak meja. Tak berapa lama Siti muncul dengan dua kotak pizza di tangannya lalu menghidangkannya di meja.
Semua temanku asyik makan, sementara aku hanya bergeming sedih. Sedih memikirkan nasib percintaanku dengan Andra, juga sedih karena perasaan terpendam untuk Galaksi. Ditambah hadirnya Siti yang duduk di sampingku, sakitku semakin lengkap.
"Dulu, pas gue kecil. Gue pernah ngamuk sama emak gara-gara pengen pizza di tipi. Emak gue bingung di mana belinya, akhirnya dia ke warung bawa pizza KW yang bentukannya kayak roti." Deon ketawa ngakak mendengar cerita Seno, bahkan badannya hampir ambruk ke belakang, untung saja tidak jatuh ke empang. Omong-omong, saat ini kami lagi di empangnya Sita. Di atas empang ada saung mirip Gazebo gitu buat kami kumpul-kumpul santai.
"Dan lo nggak ngamuk lagi?" tanya Deon. Seno menggeleng dengan cepat.
"Enggak, yang ada gue seneng. Besoknya gue langsung pamer ke satu sekolah kalau gue habis makan pizza. Temen satu sekolah gue pada speechless. Orang kampung mana yang makan pizza coba?" jawab Seno. Aku tertawa kecil, mencoba melenyapkan Galaksi dari otakku.
"Emang lo asli mana?" tanya Sita ke Seno.
"Solo, gue."
"Emang di Solo nggak ada pizza, No?" tanyaku.
"Dulu masih jarang."
Dan ponselku berdering. Satu pesan w******p dari Galaksi muncul. Aku mengernyitkan dahi membacanya.
[Jangan pulang malem-malem, Damara.]
Bersambung...
Gimana, Galaksi makin ngeselin, kan?
BUAT YANG PENGEN DAFTAR JADI PACAR GALAKSI, IJIN DULU KE GUE SEBAGAI EMAKNYA!
Jangan lupa komen, ya, guys :)