Bab 1 Reuni Tak Terencana

1236 Kata
Langit Malang sore itu seperti dilapisi abu tipis. Mendungnya tidak mengancam hujan deras, tapi cukup membuat udara berubah lembut dan dingin—jenis cuaca yang biasanya membuat Inari Handayani ingin cepat pulang, menyeduh teh, lalu memeluk bantal sepanjang malam. Hidup sendirian selama lima tahun membuatnya terbiasa menciptakan kehangatannya sendiri, meski kadang tetap terasa seperti perlahan tenggelam dalam keheningan. Namun hari itu berbeda. Sore itu, sebuah notifikasi sederhana mengubah rutinitas hambarnya. Bramasta Pramudita mengirim pesan. Nama itu tergeletak begitu saja di layar ponselnya, seperti sesuatu dari masa lalu yang tiba-tiba bangun dari kubur. Jantung Inari berdebar. Jari-jarinya refleks gemetar, bukan karena takut… tapi karena nostalgia yang datang terlalu mendadak. "Inari? Kamu inget aku nggak? Ini Bram. Temen SMP dulu. Aku liat kontakmu dari grup alumni. Apa kabar?" Inari terdiam cukup lama sebelum membalas. Bukan karena tidak ingat, bukan pula karena malas. Akan tetapi karena nama itu membawa banyak hal yang sempat ia kubur di masa remaja yang lugu, tawa di kelas, perasaan kecil yang dulu bahkan tidak sempat diakui pada diri sendiri. Bramasta adalah teman sekelas yang pendiam, tapi selalu baik padanya. Anak laki-laki yang sering meminjamkan buku tanpa diminta. Seseorang yang dulu pernah membuatnya merasakan hangatnya perhatian pertama dari lawan jenis. Ia menarik napas panjang dan akhirnya mengetik balasan pendek. “Halo, Bram. Iya, aku ingat. Apa kabar?” Yang terjadi setelah itu adalah percakapan tanpa jeda. Mereka mengobrol seolah waktu tidak pernah mencuri sepuluh tahun dari hidup mereka. Pesan berbalas ratusan. Mereka mulai bertukar cerita, tawa, bahkan keluhan kecil. Bramasta bercerita tentang pekerjaannya, tentang kehidupannya setelah kuliah, tentang rasa lelahnya sebagai pria dewasa yang menanggung banyak hal. Inari bercerita tentang pekerjaannya sebagai guru di sekolah kecil, tentang sepinya hidup setelah bercerai, tentang malam-malam di mana ia tidak tahu harus bercerita pada siapa. Bram selalu ada—membalas cepat, menenangkan, atau sekadar mendengarkan. Tanpa sadar, mereka telah saling bertukar pesan selama berminggu-minggu. Akhirnya hari itu tiba. Pertemuan pertama sejak dua puluh tahun. Kafe itu kecil, suasananya hangat dengan aroma kopi yang memenuhi udara. Inari masuk dengan degup jantung yang tidak sempat ia kendalikan. Ia memilih kursi dekat jendela, berusaha mengatur napas yang rasanya seperti berlari. Tangannya meremas ujung tas, mencoba mengusir gugup yang tidak masuk akal lalu pintu terbuka. Di sana dia berdiri. Bramasta. Tubuhnya lebih tinggi dari yang ia ingat, bahunya lebih lebar. Rambutnya sedikit berantakan namun terlihat rapi dengan cara yang alami. Ia mengenakan kemeja hitam yang diselipkan rapi ke celana, memberikan kesan mapan yang tenang. Ketika pandangan mereka bertemu, Bramasta tersenyum. Senyum yang sama seperti dulu—hangat, perlahan, tidak berlebihan tapi cukup untuk membuat Inari merasa dadanya diremas lembut. Bramasta masih ganteng seperti dulu. “Inari…” katanya sambil melangkah mendekat. Suara itu… lebih berat dari dulu, tapi nadanya masih sama. Menenangkan. Aneh, bagaimana seseorang dari masa lalu bisa membawa kenyamanan yang terasa begitu familiar. Padahal, mereka lama tak berjumpa. “Nggak nyangka kita ketemu lagi,” lanjutnya. Inari tersenyum kecil. “Aku juga. Kamu banyak berubah.” “Gimana berubahnya?” Ia tertawa pelan. “Arah positif atau negatif?” “Positif banget,” jawab Inari jujur. Bramasta menarik kursi dan duduk di hadapannya. Sesaat, ia mengamati Inari lama, seperti sedang memeriksa apakah perempuan yang duduk di depannya benar-benar teman SMP yang ia kenal dulu. “Kamu juga berubah,” katanya. “Dulu kamu kecil banget. Sekarang… kamu kelihatan dewasa dan tenang.” “Dewasa karena umur, Bram. Tenang karena sering dihajar gelombang,” jawab Inari sambil tertawa. “Bukan. Kamu kelihatan kuat.” Kata itu membuat Inari terdiam sejenak. Ia tidak sering mendengar pujian seperti itu. Lima tahun terakhir hidupnya dihabiskan untuk bertahan—bukan untuk merasa kuat. Ia menelan air liur, menutupi gugupnya dengan senyum samar. “Kamu makin pinter ngomong, ya,” ujarnya membalas. Bramasta hanya tersenyum, menatap Inari dengan cara yang membuat hati perempuan itu terasa kembali muda. Tatapan yang tenang, tidak tergesa dan penuh perhatian. Tatapan yang membuatnya merasa dilihat… bukan sekadar dipandangi. Mereka memesan minuman dan mulai berbicara tentang banyak hal—masa lalu, teman lama, kesibukan sekarang. Tidak ada jeda aneh, tidak ada canggung. Semua mengalir. “Eh, kamu masih suka gambar?” tanya Bramasta, mengingat kebiasaan SMP Inari yang selalu corat-coret di buku. Inari terkekeh. “Enggak. Udah lama banget. Hidupku sekarang… ya begitu deh. Lari dari satu kewajiban ke kewajiban lain. Aku mengajar sekarang, jadi guru galak.” “Tapi kamu tetap Inari yang aku ingat,” kata Bramasta membantah halus. “Kalem, tapi kalau udah nyaman sama orang, kamu bisa cerewet banget.” Inari tertawa. Aneh bagaimana sebuah pujian sederhana bisa membuat dadanya hangat. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam, membicarakan hal-hal yang sudah lama tidak diucapkan. Ketika kafe mulai sepi, Bramasta menatapnya pelan. “Inari,” katanya, suaranya lebih rendah dari sebelumnya. “Aku senang banget hari ini.” Jantung Inari berdegup. “Aku juga,” jawabnya jujur. Bramasta menggeser kursinya sedikit lebih dekat. Gerakan kecil, tapi cukup untuk membuat Inari sadar akan jarak tubuh mereka yang kini hanya beberapa jengkal. “Aku harap… kita bisa sering ketemu begini,” katanya. “Aku kangen masa-masa kita bisa saling melihat dan mengobrol.” Kalimat itu sederhana, tapi nadanya… terlalu dalam untuk hubungan pertemanan. Inari menelan ludah. “Bram… kita kan udah dewasa. Banyak hal berubah.” “Hmm, iya.” Bramasta tersenyum lembut. “Tapi rasa nyaman nggak berubah, Ri. Justru makin kuat.” Inari tersipu—reaksi yang jarang muncul darinya. Bagaimana mungkin seorang lelaki yang ia tinggalkan bertahun-tahun lalu kini bisa mengguncang hatinya seperti ini? Sebelum ia bisa menjawab, Bramasta meraih tangannya. Lembut dan berhati-hati, seperti menyentuh sesuatu yang rapuh. Inari terdiam. Tubuhnya terpaku. Napasnya berhenti sejenak. “Boleh ya?” Bramasta bertanya pelan. “Pegang tangan kamu begini.” Inari ingin menarik diri. Harusnya begitu. Namun ia tidak mampu. Tangannya diam di genggaman itu. Hangat. Nyaman. Berbahaya. Setelah beberapa detik yang terasa seperti keabadian, ia berbisik: “Kalau nanti ada yang tersakiti… gimana?” Bramasta menatapnya lama. Tatapan yang tidak bisa ia artikan sepenuhnya. “Nggak akan ada yang tersakiti,” katanya tegas. “Aku janji.” Kalimat itu, di masa depan, akan menjadi racun paling manis dan paling mematikan. Kafe mulai gelap karena lampu diredupkan. Mereka berdiri. Bramasta menawarkan untuk mengantar pulang. Inari menolak, tapi pria tampan itu bersikeras. Di depan rumah kecil Inari, mereka berdiri di bawah lampu kuning yang redup. “Ri…” panggil Bramasta lembut. “Hm?” “Aku seneng banget bisa ketemu kamu lagi.” Inari mengangguk. “Aku juga, Bram.” “Hari ini… bikin aku inget sesuatu.” “Apa?” “Aku pernah suka sama kamu dulu,” ujarnya tanpa ragu. Inari membeku. Suara itu, kalimat itu… menghantamnya tepat di bagian hati terdalamnya. “Dulu aku terlalu pengecut buat bilang,” lanjutnya sambil tersenyum miring. “Sekarang… aku nggak mau jadi pengecut lagi.” Inari hanya mampu menahan napas. “Boleh ya… aku dekat lagi sama kamu?” tanyanya. Pelan, hangat dan membahayakan. Inari tidak menjawab. Namun diamnya itulah jawaban. Bramasta tersenyum—senyum yang membuat masa lalu dan masa kini beradu dalam dadanya. “Selamat malam, Inari.” “Selamat malam juga, Bram.” Ketika Bramasta pergi, Inari menutup pintu… dengan hati berdebar dan pikiran penuh kemungkinan. Ia tidak tahu, kalau setelah malam itu, ia akan menyadari bahwa laki-laki yang baru saja membuatnya merasakan hidup kembali… sudah dimiliki orang lain. Inari tidak tahu bahwa langkah kecil itu akan menyeretnya ke kisah cinta paling pahit dalam hidupnya sebagai madu suami orang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN