bc

JADI MADU SUAMIMU

book_age18+
35
IKUTI
1K
BACA
dark
family
HE
fated
drama
sweet
bxg
serious
office/work place
small town
cheating
childhood crush
affair
polygamy
wild
like
intro-logo
Uraian

Inari Handayani tidak pernah menyangka reuni kecil dengan teman SMP-nya membuka kembali pintu yang seharusnya dibiarkan terkunci. Bramasta—laki-laki hangat yang dulu hanya ia kenal sebagai anak pendiam kelas—kini hadir kembali dalam hidupnya dengan cara yang terlalu lembut, terlalu tulus, terlalu memabukkan.

Mereka jatuh cinta. Tanpa rencana. Tanpa logika. Namun ketika Inari tahu Bram telah memiliki istri dan seorang anak, semuanya sudah terlambat. Ia mencoba pergi, tapi enam bulan kebersamaan, perhatian, dan dukungan dari Bram telah menjadi candu yang merasuk terlalu dalam.

Bramasta memintanya tetap tinggal. Sebagai istri kedua. Diam-diam.

Tanpa sepengetahuan Raisa, istri pertamanya.

Inari, perempuan yang pernah hancur karena diselingkuhi mantan suaminya, kini harus menghadapi kenyataan pahit: ia berada di posisi yang dulu pernah melukai dirinya. Dia menjadi Madu.

Cinta ini salah. Cinta mereka menyiksa. Namun ia tidak bisa mundur. Karena mencintai Bram adalah luka… tapi juga satu-satunya hal yang membuatnya merasa hidup kembali.

chap-preview
Pratinjau gratis
Prolog
Hujan di Malang malam itu tidak deras, tapi cukup untuk membuat lampu kota tampak buram dari balik jendela ruang tamu kecil milik Inari Handayani. Suara tetesannya menyusup pelan, bersahutan dengan detak jantungnya yang berdegup terlalu keras. Ia duduk di sofa, selimut tipis melingkari tubuhnya, menatap ke luar jendela dengan pandangan kosong, meski matanya bergerak mengikuti arah hujan. Bau tanah basah dan udara malam yang sejuk menusuk hidungnya, seakan menekankan kesendiriannya. Di meja, ada dua cangkir teh. Satu sudah dingin. Uapnya telah lenyap, meninggalkan bekas ring di meja kayu. Satu lagi masih mengepul, hangat, seperti hatinya yang masih berharap. Dia menyiapkannya tanpa sadar, tanpa memikirkan konsekuensinya—karena lelaki yang sebentar lagi mengetuk pintu itu adalah orang yang seharusnya ia hindari sekuat tenaga. Bramasta. Nama itu mengguncangnya setiap kali terucap di dalam kepala. Teman SMP yang kembali hadir setelah hampir dua puluh tahun lenyap tanpa jejak. Lelaki yang ia pikir hanya nostalgia sesaat. Lelaki yang ia kira single. Lelaki yang membuatnya jatuh cinta terlalu mudah. terlalu cepat dan terlalu dalam sampai akhirnya dia harus menelan pahitnya kenyataan. Ia sudah tahu kebenarannya. Dia sudah dilihatnya sendiri foto-foto itu di media sosial. Foto yang seharusnya tidak pernah ada dalam hidupnya. Cincin. Pernikahan. Anak. Perempuan cantik bernama Raisa yang sudah tujuh tahun membangun rumah tangga dengan Bramasta. Inari menelan keras-keras. Rasanya seperti menelan kepingan kaca yang tajam. Tujuh tahun. Waktu yang sama ketika ia menjalani peran istri—sebelum ia diceraikan oleh suaminya sendiri karena lelaki itu memilih perempuan lain. Ironi itu menamparnya begitu keras sampai rasanya tubuhnya mati rasa. Dulu ia korban. Sekarang ia pelakunya. Dulu dia adalah orang yang hancur karena orang ketiga. Sekarang, dia menjadi peran orang ketiga tersebut. Ia ingin mundur. Seharusnya ia mundur. Harusnya ia menutup pintu hatinya dan membiarkan Bramasta tetap jauh. Akan tetapi hati manusia tidak sesederhana itu. Setiap kali ia mencoba berhenti, bayangan enam bulan terakhir muncul begitu jelas. Ketika Bramasta menjadi satu-satunya orang yang peduli. Ketika ia jatuh, Bramasta memeluknya. Ketika ia terluka, lelaki itu ada di sana. Ketika ia merasa sendirian, Bramasta menampung tangisnya. Tanpa pertanyaan, tanpa syarat dan tanpa pernah mengungkapkan apa yang ia rasakan. Semua kenyataan itu membuatnya hancur, karena kini ia tahu sebagian dari kebaikan itu adalah kebohongan. Bramasta tidak sepenuhnya mencintai atau memilih dirinya. Dia milik wanita lain. Tok… tok… tok. Ketukan pintu terdengar. Inari memejamkan mata. Ia mencoba menenangkan napasnya yang tersengal. Tidak siap dan tidak akan pernah siap. Namun waktu tak pernah menunggunya siap. Ia membuka pintu perlahan. Bramasta berdiri di depan sana, masih dengan senyum hangat yang dulu membuatnya luluh pada usia 14 tahun, dan kembali menghancurkannya di usia 34 tahun. Rambutnya sedikit basah oleh hujan, jaket hitamnya menempel di tubuhnya, dan mata itu… mata yang dulu selalu mampu membaca isi hatinya, kini menatap lurus ke arahnya dengan ketulusan yang menyakitkan. “Inari…” suaranya rendah, lembut, penuh rindu. “Tadi hujannya agak deras di daerah rumahmu. Kamu baik-baik aja?” Inari hanya tersenyum kecil. Ia tidak menanyakan kembali tentang Raisa. Tentang anak mereka. Karena ia tahu, ia tidak berhak. Juga, dia tidak mau menghancurkan semua kepingan indah di antara mereka. “Aku bikin teh,” katanya pelan, suara bergetar meski ia berusaha terdengar tenang. Bramasta masuk tanpa curiga apa pun. Tanpa tahu bahwa Inari sudah mengetahui segalanya. Tanpa tahu bahwa Inari sedang berperang dengan dirinya sendiri—antara logika yang memaksanya berhenti, dan hati yang memohon untuk tetap tinggal. Ia ingin berkata malam ini: “Kita harus selesai. Aku tidak bisa jadi madu atau penghancur rumah tanggamu. Aku tidak mau jadi perempuan kedua seperti wanita yang dulu merebut suamiku." Namun perkataan itu tidak pernah keluar. Semua seolah tertahan di ujung lidahnya. Setiap kali Bramasta menyentuh pundaknya dan berbisik, “Aku kangen kamu, Ri…” Semua tekadnya runtuh. Flashback tiba-tiba menyerangnya. Ingatan tentang masa SMP, ketika pria itu memberinya catatan rahasia di bawah meja, ketika mereka tertawa bersama di lapangan sekolah, dan ketika ia pertama kali merasakan debar yang aneh di daada. Ingatan tentang hatinya yang pernah hancur karena pengkhianatan cinta, dan sekarang, hancurnya terasa berulang—hanya kali ini dengan cara yang lebih menyakitkan. Sebab, dialah penjahatnya di sini. Inari tersenyum samar, pahitnya nyaris tak terlihat. Karena kenyataan paling menyakitkan adalah—ia masih mencintainya. Ia tahu, mencintai Bramasta adalah kesalahan terbesar yang bisa ia lakukan saat ini. Akan tetapi hatinya, meski terkoyak, tetap memilihnya. Malam itu, ia membiarkan Bramasta duduk di sofa, meminum teh, dan mencintainya dalam ketersembunyian. Ia mendengarkan suara hujan, mencium aroma teh hangat, merasakan kehangatan yang seharusnya tidak ada di antara mereka. Bramasta menggandeng tangannya ke kamar dengan senyuman hangat yang membuat hati Inari bergetar. Mereka sudah menikah secara siri beberapa bulan lalu. Bramasta berkata belum bisa resmi secara negara karena ada urusan yang belum selesai. Inari mengangguk, percaya, tapi hatinya tetap bertanya-tanya. Di kamar, mereka saling menatap dalam diam. Kehadiran satu sama lain terasa begitu intens, seperti waktu berhenti sejenak untuk mereka. "Aku rindu kamu, Inari," bisik Bramasta lembut, matanya menatap dalam ke matanya. "Aku juga rindu kamu, Bram," jawabnya pelan, jantungnya berdetak cepat. Mereka saling dekat, tangan bertaut, napas berirama. Malam itu, kehangatan dan kedekatan mereka menjadi satu, membiarkan hati yang lama terpendam berbicara, tanpa kata-kata yang harus dijelaskan. Setiap kata yang keluar dari mulut Bramasta seperti jarum yang menusuk, tapi juga seperti balsem yang menenangkan luka lama. Inari tahu, besok, ketika fajar datang, air mata akan menetes tanpa henti. Ia akan menangis karena kesalahan ini, karena rasa cintanya yang tak termaafkan, dan karena posisi yang harus ia pilih—menjadi istri kedua. Untuk malam ini, ia memilih tenggelam. Karena kadang, cinta tidak datang sebagai hadiah—melainkan sebagai hukuman. Di luar jendela, hujan semakin menipis. Kota Malang tampak basah dan sunyi. Inari menatap suaminya, menyadari bahwa hidupnya telah kembali pada titik yang sama, hanya saja kini ia tahu rasa sakitnya akan berbeda—lebih dalam, lebih berat, dan lebih kompleks. Di dalam kamar itu, di antara desahan napas dan gairah yang memuncak, dua hati yang terikat oleh kenangan dan kebohongan memilih untuk tetap bersama. Bukan karena cinta yang bebas, tapi karena cinta yang terlarang. Malam itu, Inari memutuskan menerima kenyataan yang pahit bahwa kadang, mencintai seseorang adalah cara paling kejam untuk menghukum diri sendiri. Apalagi di saat cinta tulus itu berlabuh ke orang yang salah.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
311.6K
bc

Too Late for Regret

read
294.3K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.7M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.3M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
138.6K
bc

The Lost Pack

read
410.6K
bc

Revenge, served in a black dress

read
148.9K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook