Bagai sebuah petir menggelegar tepat di atas ubun-ubun ini, surat yang kugenggam jatuh dengan sendirinya, beberapa saat kemudian putraku Ardan keluar dengan wajah muramnya. "Apa salahku, Ris? selama ini aku sudah jadi suami setia, baik, tak pernah kasar padamu." Ardan mencecar Rista dengan banyak pertanyaan, luka di hatinya teramat kentara, dan sebagai seorang ibu aku pun dapat merasa. "Tahu ga, haram hukumnya bagi seorang istri menggugat cerai duluan tanpa sebab, apa kamu ga takut terhadap murkanya." Rista malah menunjukkan wajah pongahnya, seolah ia benar dan anakku berada di posisi yang salah. "Jangan bawa-bawa dosa! Coba inget-inget lagi selama kita nikah apa kamu pernah kerja cari nafkah? apa itu juga bukan perbuatan dosa?" tanya Rista dengan jumawa. Ardan menunduk dalam tentu

