Bab 2 : Istikharah

843 Kata
Hati ini milik Allah. saat hati mu mulai meragu, mendekatlah pada Nya dan mintalah petunjuk agar Ia yakinkan pilihan hati mu, pilihan yang tentu terbaik dan diridhoiNya. **** Hafna tiba di rumah kedua orang tuanya tepat lima menit sebelum magrib. Namun dia belum mengatakan apapun saat tiba di sana. Mungkin akan lebih baik bagi Hafna menyampaikan segalanya usai melaksanakan sholat. Saat Hafna menampakan wajah di depan pintu, sebenarnya Abi dan Umi sudah merasakan ada yang salah dari putri mereka. Firasat mereka mengatakan Hafna ada masalah, namun baik Abi dan Umi belum berani bertanya. Mereka hanya dapat menanti penjelasan Hafna. Usai menunaikan kewajiban sholat magrib, dimana Abi dan a' Razzan--abang Hafna baru saja pulang dari masjid, mereka berkumpul di ruang keluarga. Kini semua pasang mata menatap Hafna dengan pandangan serius, dengan sabar menanti wanita itu menyampaikan apa yang ingin ia katakan. Namun menit berlalu, Hafna masih diam dengan tangan saling memilin diatas paha. Ia tampak ragu juga takut. Bagaimana reaksi keluarganya saat mengetahui fakta bahwa Gufran, sang suami menikah lagi? Dan yang lebih parah tanpa sepengetahuan dan izin darinya. "Kamu kenapa sih Na?’ tanya Razan lantaran tak tahan dengan kebiusan sang adik, “bukannya hari ini Gufran pulang ya? Kok malah kesini?" Pertanyaan beruntun yang diajukan Razan semakin membuat bibir Hafna kelu untuk menjawab. Dari mana ia harus memulai? "Umi, Abi, A', sebelumnya Nana mohon kalian jangan emosi dulu.” Ketiganya kompak mengangguk. “Sebenarnya Mas Gufran...." ada jeda dalam ucapan Hafna. Ia butuh pasokan oksigen. Dengan debaran kuat yang kian terasa mencekik, Hafna menarik nafas dalam, menahan air mata yang bisa saja jatuh detik itu juga. "Nak Gufran kenapa Na?" "Mas Gufran nikah lagi umi." setelah susah payah mengumpulkan keberanian akhirnya kalimat itu terdengar dari mulut Hafna. Ia menunduk lemah lantaran tak kuasa menatap manik mata para keluarga nya. Hafna tidak tahu bagaimana reaksi mereka. Ketiganya tak kunjung membuka suara, hanya hening. Tak kunjung mendapatkan balasan, Hafna memilih mengangkat wajah yang sudah basah oleh air mata. Dan saat itulah ia melihat wajah terkejut keluarganya. Umi mengatup mulut tak percaya, Abi memejamkan mata, serta A' Razzan menatap Hafna lekat dengan mata nyalang menahan amarah. "Kenapa Gufran nikah lagi? Apa dia udah gak cinta lagi sama kamu? Kenapa setelah kamu lama menunggu selama ini ia justru bawa perempuan lain dalam rumah tangga kalian?" Pria berkoko putih itu menatap sang adik dengan tatapan berapi-api. Ia tak terima jika adik sematawayangnnya di madu. Dia benar-benar tidak terima atas apa yang telah dilakukan Gufran. Pun juga Abi yang ikut mengiyakan ucapan sang putra. "Nana juga gak mau di madu A'. Nana tidak akan sanggup berbagi dengan wanita lain. Tapi mas Gufran... " Hafna tak kuasa melanjutkan ucapannya. Ia membekap mulut kuat-kuat guna menahan isakan. Melihat keterpurukan sang putri, Umi berpindah duduk, mendekat pada Hafna dan memeluk putrinya itu erat, berusaha memberikan kekuatan. Ibu mana yang tega bila sang putri disakiti oleh orang lain. "Minta cerai saja pada Gufran." "Abi, jangan memberi saran yang buruk dulu. " "Apanya yang buruk Mi? Si Gufran itu sudah menyakiti anak kita. Setelah Hafna ditinggal ke Kairo, trus dia bawa perempuan lain. Pokoknya Hafna harus cerai dengan b******n itu." Ucap Abi seperti tak terbantahkan. Sebagai seorang Ayah ia juga tidak terima putri nya dipermainkan seperti ini. Sejak awal ia pikir Gufran adalah pria bertanggung jawab, pria yang mampu mengemban amanah untuk mejaga putrinya, dan pria yang dapat membimbing Hafna hingga ke surga Allah. Tapi semuanya bohong. Semua yang pernag dikatan Gufran hanyalah tipu muslihat. Ilmu agama yang jauh-jauh ia pelajari ke Kairo sana sama sekali tak membuat Gufran menjadi pria sejati nan bertanggung jawab. "Kita harus menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin, Bi. Jangan terbawa emosi. Keputasan yang di ambil disaat emosi itu bisikan setan. Dan akan mendatangkan penyesalan dikemudian hari." "Abi tidak peduli. Abi tetap mau Hafna Cerai dari Gufran, titik! Dan jangan kembali lagi kerumah itu Hafna." ucap Abi lantang seraya berlalu dari sana. Razzan juga ikut berlalu. Ia tak sanggup melihat tangis Hafna lebih lama lagi. Hanya umi yang masih setia memeluk Hafna, mengusap punggung sang putri lembut. Razan sangat setuju dengan keputusan Abi. Pria seperti Gufran tidak pantas dimaafkan, bahkan jika pria itu berlutut sekalipun. Jika saja Gufran ada dihadapan Razan sekarang, ia akan senang hati memberikan bogem mentah. "Nana gimana keputusannya? Ingin bercerai dari nak Gufran?" "Gak tahu Mi,” Hafna menggeleng, ”Nana bingung." "Minta petunjuk sama Allah Na, laksanakanlah sholat istikharah. InsyaAllah Nana akan dapat jawaban nya." Ucap umi lembut sembari terus mengelus puncak kepala Hafna yang masih tertutup kerudung. "Iya Mi." "Apapun keputusan Nana umi pasti dukung. Bertahan atau menyerah umi dukung Nana." "Makasih Mi." Hafna balik memuluk umi. Ia peluk sang ibu erat seolah takut kehilangan sosok wanita yang luar biasa itu. Ditengah kesedihan Hafna masih bisa bersyukur. Meski badai masalah tengah menghantam biduk rumah tangganya, Hafna masih bisa merasakan pelukan hangat dari sang ibu. Ia juga sangatbersyukur, Allah begitu baik menakdirkan dirinya terlahir dari rahim seorang ibu yang luar bisa hebat. "Dan jangan lupa perbanyak istigfar Na. Allah akan mudahkan urusan hambannya yang selalu beristigfar memohon ampun pada Nya." "Iya Umi. InsyaAllah.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN