Bab 3: Jawaban Istikharah

1005 Kata
Pagi ini Hafna tampak lebih baik setelah memohon petunjuk pada sang Khalik melalui sholat istikharah semalam. Ia bisa sedikit lebih tenang meski hatinya masih bimbang dan belum mendapatkan jawaban atas pilihan mana yang harus ia ambil. Hanya saja ada keyakinan di hati Hafna. Ia yakin Allah akan menuntunnya memilih jalan yang terbaik. Bermodal keyakinan itulah senyum Hafna bisa terbit pagi ini. Ia telah rapi dengan gamis biru serta kerudung yang senada. Hafna kemudian memutar langkah ke dapur. Menyusul umi yang sudah pasti ada disana, tengah sibuk menyiapkan sarapan. "Assalamualaikum Umi" Hafna mengucap salam, mengambil atensi Umi yang tengah sibuk di depan wajan penggorengan. "Waailaikumsalam. Wah, Nana udah kelihatan segar pagi ini." "Alhamdulillah Mi." "Biar Nana yang lanjut goreng, sini Mi." Hafna mengambil alih sendok masak dari gengaman umi. Ia melanjutkan menggoreng telur mata sapi yang hanya tersisa dua butir lagi. Pekerjaan mudah. "Umi tata nasi goreng diatas meja dulu ya Na. Kamu lanjutin goreng nya." "Beres Mi." Umi beranjak ke meja makan yang berada tak jauh dari Hafna berdiri. Kini, kedua wanita beda usia itu tengah sibuk dengan tugas masing-masing. Hafna dengan penggorengam, sedang umi dengan piring-piring di atas meja. "Abi sama A' Razzan belum pulang dari mesjid mi?" Tanya Hafna sambil meletakan sepiring telur mata sapi di atas meja. "Belum Na. Palingan juga sebentar lagi. Kan biasanya abi sama Aa' mu itu setelah sholat subuh zikir dulu sampe tiba waktu fajar dan di lanjutkan sholat isryroq." "Oh iya ya. Pahala nya sama kayak haji dan umrah secara sempurna kan mi?" "Iya benar na. Berdasarkan Hadis Riwayat Imam Tirmidzi 'Siapa yang shalat subuh berjamaah kemudian dia duduk zikir (mengingat) Allah sampai terbit matahari kemudian dia shalat dua rakaat maka dia mendapat pahala seperti pahala haji dan umrah secara sempurna.... sempurna...sempurna.' "MasyaAllah, pahala nya luar biasa ya Mi." "Betul Sayang." "Assalamualaikum. " Tak selang lama, terdengar suara salam dari arah luar yang, suara Abi dan A' Razzan." "Waailaikumsalam warahmahtullah." Balas Hafna dan umi sedikit berteriak. Terdengar suara langkah kaki yang kian mendekat ke arah dapur. "Kamu udah agak baikan Na?" tanya Razan yang baru saja muncul. Ada Abi dibelakang pria itu, sedang menggulung lengan baju koko yang beliau kenakan. "Udah a' " "Kok udah rapi? Mau kemana? Jangan bilang pulang kerumah Gufran?" taanyanya lagi seraya duduk di samping Abi yang sudah mendudukan diri lebih dulu. Mata Razan memandang tajam Hafna, mewanti-wanti agar adiknya itu tidak akan pulang kerumah Gufran lagi. "Nana mau ke butik a'. Beberapa barang masuk hari ini. " “Oh gitu. Kirain kamu mau pulang kerumah sibrengsek itu. Ya udah sarapan dulu.” Pagi itu keluarga Hafna makan dengan suasana berbeda. Kesedihan, meski disembunyikan sedemikan rupa masih terasa melingkupi. **** "Mbak Hafna, tadi Mas Gufran ke sini." Kalimat itu menjadi penyambut kedatangan Hafna di butik miliknya pagi ini. Sebagai balasan Ia hanya tersenyum simpul, tak berniat membahas masalah pria itu di sini. Hafna ingin fokus pada pekerjaan, mengecek barang-barang yang masuk hari ini adalah prioritasnya. Tidak ada yang lain. Mari kesampingkan dulu masalah pribadinya. Sepanjang hari Hafna benar-benar mendedikasikan diri pada pekerjaan. Ia bahkan menahan diri untuk tidak melirik ponsel. Ia takut hatinya goyah apabila melihat panggilan maupun pesan dari sang suami. "Pasmina ini yang warna peach nya kemana Ra? Bukan nya kemaren masih ada?" tanya Hafna pada Clara yang berdiri di balik meja kasir. Ia menujukan sebuah Pasmina cantik bewarna hitam dengan motif bunga-bunga bermekaran pada gadis itu. "Oh udah ada yang mesan mbak. Ibu nya ambil setengah lusin, jadi udah habis." "Oh gitu. Alhamdulillah. Barang-barang yang baru datang itu disusun rapi ya Ra. Udah mbak cek tadi. Bilang sama Fania juga kalo dia udah selesai makan siang ya." "Beres mbak. " "kalo gitu Mbak pergi ya Ra? Assalamualaikum." "Waailaikumsalam" Hafna beranjak dan mengabil tas selempang miliknya di dekat meja kasir. Pekerjaan Hafna telah selesai hari ini. Sisa pekerjaan akan di lanjutkan oleh Clara dan Fania, dua pegawai muda yang sudah lama bekerja di butiknya. Tentu ia sangat mempercayai kedua gadis itu setelah lima tahun mereka bekerja padanya. Setelah tersenyum sekilas pada Clara, Hafna melangkah kearah pintu kaca yang menjadi pintu masuk butik. Namun belum sempat Hafna menarik ganggang pintu. dua wanita berbaju gamis masuk dengan raut yang sama-sama ceria. Keduanya tampak bercanda ria sebelum menyadari kehadiran Hafna. Mereka tersenyum yang juga dibalas Hafna. Melihat kedekatan dua wanita itu Hafna jadi teringat Bilqis, sepupunya yang saat ini menetap di Malaysia. Dulu ia dan Bilqis persis seperti itu. Sering menghabiskan waktu bersama. Memasuki satu toko ke toko lain, atau dari cafe ke cafe lain. Dan momen yang paling indah yang ia lalui bersama Bilqis ialah saat gadis itu menangis kala Hafna menikah dengan Gufran 3 tahun lalu. Hafna benar-benar merindukan sang sepupu. Entah kapan mereka punya waktu untuk saling mengunjungi. Kini Bilqis telah hidup bahagia bersama suami nya, Hafiz yang merupakan pengusaha di Malaysia. "Mau cari apa mbak?" Entah kenapa Hafna mengurungkan niat nya untuk pergi. Ia lebih tertarik melayani kakak beradik di hadapannya. Mungkin bersama mereka Hafna dapat sedikit bernostalgia mengingat kenangan manisnya bersama Bilqis. "Mau cari Khimar Merah maroon mbak. Ada?" tanya wanita yang tampak lebih tua dari yang satunya. "Ada mbak. Sebentar." Hafna berlalu dan kembali dengan Khimar merah maroon ditangannya. "Ini mbak? Untuk mbak atau adiknya?" "Kita kelihatan kayak kakak adik ya mbak?" Tanya wanita yang lebih muda. Hafna gelagapan. Apa ia salah? Ia merasa hubungan mereka seperti kakak adik. Tidak mungkin kan jika mereka Ibu dan anak? Rentang usia mereka terlihat tidak sejauh itu untuk dikatakn sebagai ibu dan anak. "Kayaknya gitu. Maaf, saya salah ya Mbak?" tanya Hafna sedikit sungkan, takut salah. "Alhamdullilah kalo kelihatan nya gitu ya kak Husna. Jadi gak ada yang ngira kalo aku istri ke dua." Wanita muda itu tersenyum, pun dengan wanita yang di panggil kakak oleh nya. Hafna membulatkan mata tak percaya. Jadi mereka berdua bukan kakak adik melainkan... Allah, apa ini jawaban dari Mu? Apa hamba harus ikhlas di madu? Apa hamba dan wanita bernama syafa itu bisa seperti dua wanita di hadapan hamba ini yang terlihat akur dan harmonis? Tidak, hati hamba bahkan masih terasa sesak mengingat kejadian kemarin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN