Episode 4

5727 Kata
  “Dia...?” Thalita berjalan mendekati pasien, dan mengelus kepala pasien dengan lembut. "Sepuluh tahun berlalu. Tapi kamu tidak berubah," gumam Thalita tersenyum dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya. Merasa ada yang mengusap kepalanya gadis itupun membuka matanya perlahan dan langsung menatap wajah Thalita. Gadis itu bahkan mengernyitkan dahinya merasa kaget dan tak percaya. "Kak Lita?" gumam gadis itu lirih dan pelan karena terhalang alat pernafasan yang menutupi hidung dan mulutnya. "Hallo Little Princess," ujar Thalita tersenyum. "Kak Lita masih ingat aku?" tanya gadis yang diketahui bernama Rahma itu. "Pasti Sayang, Kakak tidak akan pernah lupa sama Little Princessnya Kakak," ujar Thalita terus mengelus kepala Rahma dengan lembut. "Kakak kemana saja? Tidak pernah datang lagi menemuiku?" tanya Rahma membuatku tersenyum. "Maaf Sayang, Kakak sangat sibuk dengan study Kakak dan Kakak baru kembali lagi ke IndoNesia beberapa minggu yang lalu. Kakak datang ke rumah kamu tetapi ternyata kamu sudah tidak tinggal di sana lagi," ujar Thalita. "Iya Kak. Aku, adik-adikku dan orangtuaku pindah ke rumah yang lebih sederhana. Rumah itu dijual, karena Papa kehabisan uang untuk pengobatanku," ujar Rahma dengan lemah. "Sekarang dimana mereka?" tanya Thalita. "Tadi di sini, tapi sekarang aku tidak tau. Mereka mungkin sedang keluar," jawab Rahma. "Little Princessnya Kakak sekarang sudah menjadi Princes yang sangat cantik," ucap Thalita menatap Rahma penuh Sayang. "Kakak juga semakin cantik, apalagi sekarang sudah menjadi seorang Dokter," kekeh Rahma terllihat sedikit menahan sakit di dadanya. "Jangan tertawa dulu," perintah Thalita dan Rahma membalasnya dengan tersenyum kecil. "Istirahatlah cantik, Kakak akan memeriksa kondisimu dulu." Thalita mulai menempelkan stethoscope di telingtanya dan memeriksa kondisi Rahma. Thalita masih tak beranjak sedikitpun dari samping Rahma yang kini sudah terlelap. Pandangannya tak lepas menatap wajah pucat Rahma, hingga ingatannya kembali menerawang ke sepuluh tahun yang lalu.   Flashback on   Thalita tersadar saat bau asap, dan panas menerpa tubuh dan kulitnya. Thalita membuka matanya dan melihat sekeliling ruangan yang dia tempati sudah dilahap oleh api. Dengan kondisinya yang masih sangat lemah, Thalita terbangun dan melepas alat bantu pernafasan yang bertengker di hidungnya. Sesak langsung menerjangnya, membuatnya terbatuk-batuk karena asap yang langsung menyesakkan dadanya. Thalita mencoba meminta tolong tapi karena masih sangat lemah, suartanya  sangat kecil dan Serak. Thalita melihat api mulai menjalar mendekati blangkar yang dia tempati dan terdapat tabung oksigen di sisi blangkarnya. Lita sadar kalau api itu mengenai tabung, ruangan ini akan hancur karena ledakan termasuk dirinya. Thalita melepas jarum infusan ditangannya dengan menahan kesakitannya. Dengan susah payah Thalita menuruni blangkar sambil berpegangan ke sisi blangkar dan meja di sampingnya. Thalita berusaha untuk berdiri tegak meskipun rasa pusing menjalar, Thalita menarik sprai di atas blangkar dan membalutkannya ke tubuhnya sendiri. Setelah itu Thalita beranjak menerjang api yang menghalangi langkahnya menuju pintu keluar Thalita berhasil melewati api itu walaupun lengannya terluka karena terkena api. Thalita menahan rasa perih dilengannya dan melempar sprai yang sedikit terbakar itu dengan sembarangan. Thalita berjalan dengan gontai menyusuri lorong rumah sakit yang sepi dan juga sebagiannya sudah dilahap api. Thalita terus berteriak meminta tolong, tetapi tidak ada yang mendengarnya. Terlihat disini tidak ada orang sama sekali. Thalita berhasil berjalan menuju lift, tetapi lift sudah tidak bisa di perguNakan. Thalita kembali berjalan dengan berpegangan ke dinding menuju tangga darurat, meskipun badannya terasa sangat lemas dan kepalanya begitu pusing. Thalita tetap berjalan, tetapi naas saat membuka pintu tangga darurat, ternyata di sana sudah terlahap si jago merah tanpa celah. Thalita merasa dirinya sudah terjebak dan tidak tau harus bagaimana, apalagi perut disebelah kanannya terasa sangat sakit membuatnya sedikit membungkuk. "Tolonggggg!!!!!" teriak Thalita sambil terbatuk-batuk. Keringat sudah membasahi tubuh ringkihnya, bahkan dadanya terasa sangat sesak sekali. Thalita masih berusaha berteriak meminta tolong dengan suara lemah dan Seraknya. Thalita sudah merasa kalau umurnya akan berakhir saat ini juga disini. Dengan menyandarkan punggungnya ke dinding Thalita terus melafalkan doa dengan  memejamkan matanya. "Kakak...Kakak..." suara anak kecil samar-samar tertangkap oleh indra pendengaran Thalita membuatnya langsung membuka mata. "Siapa itu? Tolong aku," Seru Thalita dengan suara Seraknya. "Kakak,, di sini," ucapnya pelan membuat Thalita celingak celinguk melihat sesekelilinya mencari asal suara. Hingga pandangannya menangkap sosok seorang anak perempuan berambut sebahu yang memakai pakaian pasien di rumah sakit ini tengah menyembulkan kepalanya dari lubang ventilasi di sudut bawah tak jauh dari Thalita berdiri. "Kakak, ayo masuk ke sini. Kita bisa keluar lewat sini," ucapnya antusias saat Thalita sudah berjongkok di hadapannya. "Apa bisa?" tanya Thalita mengernyitkan dahinya. "Iya Kakak, kita ikutin tikus ini." Anak itu memperlihatkan tikus putih kecil ke hadapan Thalita  membuatnya  geli dan jijik sendiri. "Kamu percaya dengan tikus ini? Jangan bercanda De, ini bukan saatnya bermain-main!" ucap Thalita sedikit kesal. "Aku gak bercanda Kakak, aku serius. Tikus ini akan membantu kita keluar dari sini," ujar anak itu membuat Lita semakin bingung. "Aku memiliki sedikit keistimewaan, aku bisa mengerti bahasa hewan," ucapnya membuat Thalita kembali mengernyitkan dahinya semakin keras membuat lipatan di dahinya semakin jelas. "Percaya sama aku, Kakak. Ayoo..." ujar anak itu lagi, Lita benar-benar bingung. ‘Apa aku harus mempercayainya atau tidak’ Pikir Lita. "Kalaupun kita harus meninggal karena di lahap api ini, tetapi seenggaknya kita sudah berusaha," ujarnya. ‘Benar juga yang dia katakan, aku harus berusaha dulu. Jangan pasrah begitu saja.’ Batin Lita. "Ayo Kakak, apinya semakin dekat," ucapnya lagi. "Apa muat?" tanya Lita melihat ukuran lubang itu. "Aku yakin Kakak akan bisa masuk, aku saja bisa merangKak. Kakak pasti masuk, ayo." ucapnya membuat Lita mengangguk. Thalita mengikuti anak itu masuk ke ventilasi itu dan benar saja, ternyata badannya muat masuk ke dalam meskipun dengan posisi merangKak. Lita terus mengikuti anak itu sambil memegang perut sisi kanannya yang terasa sangat sakit. Hingga mereka menemukan ventilasi yang jalurnya kebawah. "Kakak penutupnya buka" ucap anak itu. Lita dan anak itu sama-sama membuka penutupnya dengan sekuat tenaga hingga akhirnya terbuka juga. "kita meluncur ke bawah, yah Kak" ucap anak kecil itu. "Apa kamu yakin? Gimana kalau dibawah sana sudah dilahap api? Kita tidak mungkin naik lagi kan" Seru Lita sedikit ngeri membayangkan mereka meluncur ke bawah tetapi dibawah sana api sudah menanti mereka untuk dilahapnya. "Kakak, kalau kita memang harus meninggal disini. Apa daya, kita tidak meluncurpun kita akan tetap meninggal karena kehabisan nafas karena api yang di luar sana" ucapnya. " ayo Kak, seengaknya kita coba dulu" tambahnya penuh percaya diri membuat Lita tersenyum dan ikut mengangguk antusias. "Tapi Kakak dulu, oke !! takut ada api dibawah" ucap Lita membuat anak kecil itu mengangguk. Lita menurunkan kedua kakinya dan dengan posisi terlentang, Lita meluncur kebawah diikut anak kecil itu. Keduanya meluncur dengan cepat. "AAaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!" teriak keduanya. Hingga mereka melihat cahaya di sana dari lubang penutup ventilasi membuat Lita ketakutan, takut cahaya itu dari api yang tengah berkobar. Mereka tidak bisa menghentikkan gerakannya sehingga terus meluncur dan kaki Lita langsung menabrak tutup ventilasi hingga terbuka. Tubuh Lita berguling keluar diikuti oleh gadis kecil itu. Keduanya menutup mata dan terbatuk-batuk. Lita membuka matanya perlahan dan yang pertama kali dia lihat adalah langit biru yang cerah. Lita melihat ke arah gadis di sampingnya yang masih menutup matanya ketakutan sambil memeluk erat tikus putih itu.  "Kamu baik-baik saja?" Mendengar ucapan Lita, gadis itu membuka matanya dan melihat sekeliling diikuti Lita. Ternyata mereka berada dibelakang rumah sakit. Dibagian belakang rumah sakit ternyata belum terlahap api. Lita dan gadis itu terbangun, keduanya saling pandang dan tersenyum bahagia. "Horeeeeeee" teriak girang dari keduanya sambil berpelukan."kita berhasil, Kak" ucap gadis itu. "Iya Dek, kita berhasil," ucap Lita tak kalah antusias. "Ayo kita segera pergi dari sini," tambah Lita membuat gadis itu mengangguk. Keduanya berdiri, lalu gadis itu melepas tikus yang dia pegang ke tanah. "Sekarang pergilah, dan cari keluargamu tikus kecil. Terima kasih sudah membantuku dan Kakak ini," ucap gadis itu dan terlihat tikus itu bersuara dengan suara khasnya membuat Lita menatap takjub anak di hadapannya ini. "Dadah..." ucap anak itu. "Terima kasih," ucap Lita saat tikus itu berlari masuk ke dalam gorong-gorong. Keduanya berjalan beriringan sambil berpegangan tangan. Sebelah tangan Lita memegang perutnya yang masih  terasa sakit. Meskipun badan mereka terasa remuk dan terluka karena berguling tadi, tetapi mereka tidak memperdulikannya dan tetap berjalan beriringan dengan bahagia. "Siapa nama kamu?" tanya Lita. "Aku Rahma, kalau Kakak?" tanya anak itu mendongakkan kepalanya menatap Lita. "Aku Thalita, panggil Kak Lita saja" ujar Lita tersenyum. Membuat gadis kecil itu mengangguk patuh. "Kita mau pergi kemana?" tanya Lita saat sampai dipinggir jalan. "Kakak mau pulang? Alamat Kakak dimana?" tanya Rahma "Kakak gak tau, Kakak gak punya rumah" ucap Lita bingung. 'Aku tidak mungkin kembali lagi ke mereka, sudah cukup luka yang aku dapatkan,' batin Thalita. "Kalau begitu ayo kerumah Rahma, rumahnya tak jauh dari sini kok, Kak." ucap Rahma membuat Lita tersenyum senang.   Flashback off   "Dokter Lita," Thalita tersadar dari lamunannya saat ada tepukan ringan dibahunya. Thalita menengok dan terlihat Dokter Rival berdiri dibelakangnya. "Kamu melamun? Daritadi aku panggil,” "Maafkan aku, tadi aku sedang menatap gadis ini," jawab Lita segera mengusap air matanya yang tak terasa luruh membasahi pipi. "Oh begitu, tadi aku hanya lewat dan melihat kamu di sini," ucap Rival tersenyum. "Dia sakit apa? melihat dari alat medis yang terpasang di tubuhnya sepertinya cukup kronis," ujar Rival menatap Rahma. "Dia mengidap kanker paru-paru stadium akhir," jawab Thalita. "Kasian sekali, gadis semuda ini harus merasakan rasa sakit yang teramat," ujar Rival simpati. "Iya, meskipun selalu di suntikan oxycodone tetapi itu tidak akan bertahan lama menahan rasa sakitnya," ujar Lita menatap sendu gadis yang tengah terlelap itu. "Thalita" suara dari seorang wanita membuat Thalita dan Rival menengok. "Ibu Sari?" ucap Lita menghampiri ibu itu dan memeluknya. "Kamu kemana saja? Rahma selalu mentanyakan kamu bahkan Ridha, Risa dan Riza selalu mentanyakan kamu," ucap Sari saat melepas pelukan Lita. "Aku pergi ke Wina dan melanjutkan kuliah di sana. Ibu sama BaPak apa kabar?" tanya Lita. "Ibu sama BaPak baik-baik saja, hanya keadaan Rahma-" ibu Sari tidak melanjutkan pembicaraannya, air matanya sudah luruh membasahi pipi. "Ibu tenang yah, saya akan berusaha membantu untuk menolong Rahma," ucap Lita. "Tapi hampir semua Dokter yang memerikstanya mengatakan kalau dia tidak akan mampu disembuhkan. Tingkat kesembuhannya tidak ada," tangis Sari pecah. "Saya akan coba berbicara dengan Dokter khusus, nanti akan saya kabarin ke BaPak dan Ibu. Saya akan berusaha mencari cara untuk membantu menyembuhkan Rahma," ucap Lita membuat Sari mengangguk dan Thalita memeluk tubuhnya memberi ketenangan.  *** Saat ini Lita tengah duduk disofa yang ada di ruangan Dhika, sebelumnya Lita sudah menghubungi Dhika dan Dhika memintanya untuk menunggunya di ruangan Dhika karena kebetulan Dhika tengah memeriksa beberapa pasien. Lita menatap ruangan Dhika yang terlihat bersih dan rapi, pandangannya terarah ke arah meja kebesaran Dhika. Entah ada dorongan dari mana, Lita berjalan mendekati meja dan berjalan ke dekat kursi kebesaran Dhika. Pandangannya langsung terarah ke arah pigura yang terpajang indah di meja kerja Dhika. Dimana seorang gadis yang tengah memakai gaun berwarna pink yang terlihat sangat cantik, dengan rambutnya yang disanggul dan ditata secantik mungkin menyisakan beberapa helai rambut yang terjuntai ke bawah.  Di sampingnya seorang lelaki dengan tuxedo hitamnya dan terlihat sangat gagah juga sangat tampan. Terpancar kebahagiaan dari wajah keduanya. Lita sangat mengetahui siapa orang yang ada difoto itu, dan saat acara apa foto itu di abadikan. Itu adalah foto Dhika dan Lita saat mereka bertunangan dulu, kebahagiaan yang terpancar dari wajah keduanya sangat jelas, tetapi itu meruPakan akhir kebahagiaan mereka berdua dan awal dari malapetaka yang menyebabkan semuanya menjadi seperti ini. Lita ingin mengambil pigura itu tetapi tanpa sengaja lengannya menyenggol laptop di hadapannya membuat layar itu menyala dan memperlihatkan media player yang sepertinya baru diputar. Disana terpangpang jelas wajah Thalita yang terlihat sangat pucat. Dengan tangan yang bergetar, Lita menekan spasi membuat video berdurasi 3 menit itu berputar. Mata Lita berkaca-kaca mengingat saat dia merekam video itu. 'Ternyata dia masih menyimpan semuanya, tapi apa yang terjadi? Bukankah dia sudah menikah dengan Kak Natasya?' batin Lita. Lita mendengar derap langkah seseorang, membuatnya segera menghentikan  video itu dan berjalan menuju sofa. Baru saja Lita mendaratkan pantatnya di atas sofa, pintu ruangan terbuka, dan muncullah. "Maaf sudah membuatmu menunggu lama," ucap Dhika. "Tidak apa-apa," jawab Lita sinis, Lita tidak ingin memandang Dhika. Ia tidak ingin Dhika menatapnya tengah berkaca-kaca. Dhika lalu duduk disofa yang bersembrangan dengan Lita. "Ada apa?" tanya Dhika lembut. "Saya datang ingin mentanyakan perihal penyakit pasien bernama Rahma," ucap Lita to the point. "Gadis itu..." gumam Dhika. "Kemarilah." Dhika berdiri menuju computer yang berjajar di sudut ruangannya. Dhika mulai mengotak atik computer itu sehingga muncullah organ tubuh manusia yang bernama paru-paru di layar komputer itu. Thalita sudah berdiri di samping Dhika menatap ke arah Komputer. Thalita terdiam memperhatikan setiap sudut organ pernafasan yang muncul di tiga layar kOmputer itu. "Kankernya sudah menyerang paru-paru dan mulai menyebar ke ruas jantung kirinya." ucap Dhika menunjukkan gambar yang berada di layar komputer sebelah kanannya. "kamu lihat Lita, ini arteri pulmonalis dan aorta. Kankernya sudah menyebar ke sana.” "Pasien ini termasuk pasien DNR," tambah Dhika. "Apa tidak ada jalan lain untuk menolongnya?" tanya Lita tetap fokus menatap layar computer. "Ada, mungkin jalur operasi. Tapi tingkat keberhasilannya sangat rendah," ucap Dhika. "Jika terjadi Serangan jantungpun, kita tidak boleh melakukan CPR.” "Jadi kita akan biarkan dia mati begitu saja, tanpa melakukan apapun?" tanya Lita sedikit tersulut emosi. "Itu lah inti dari aturan untuk pasien DNR" ujar Dhika membuat Thalita terdiam, bagaimana cartanya dia menolong adik kecilnya itu. Lita tidak mampu melihatnya semakin menderita. "Ada apa Lita?" Dhika selalu tau setiap gerak gerik Lita. "Tidak apa-apa, aku pergi." Lita berlalu pergi meninggalkan Dhika yang masih penuh tanya. *** FLASHBACK ON Lita tengah duduk di ayunan komplek perumahan yang di tinggali keluarga Rahma. Lita sangat bersyukur keluarga Rahma menerimanya dengan senang hati, padahal Lita masih dalam tahap penyembuhan selepas operasi ginjalnya. "Kak Lita," teriakan seorang anak kecil membuyarkan lamunannya. "Hai Sayang, kemarilah..." ucap Lita, Rahma berjalan mendekati Lita dan duduk di ayunan yang berada di samping Lita. "Kamu sudah pulang sekolah?" tanya Lita tersenyum. "Sudah Kak, tadi Ibu Guru bercerita mengenai sebuah cita-cita dan bertanya ke semua murid, apa cita-cita kami," ujar Rahma antusias. "Oya? Lalu apa cita-cita kamu?" tanya Lita antusias mendengarkan. "Aku bercita-cita menjadi seorang Guru," ucapnya dengan ceria. "Umm,, kenapa?" tanya Lita penasaran. "Karena menurut aku, seorang Guru itu sangat mulia. Dia adalah seorang pahlawan tanpa tanda jasa," ujarnya. "Aku sangat ingin menjadi seorang guru dan bisa mengajarkan murid-muridku dengan pengetahuan yang aku punya," ujar Rahma. "Cita-cita yang sangat mulia, Cantik." ujar Lita mengelus rambut Rahma dengan sayang. "Kakak doain semoga cita-cita mulia kamu tercapai yah, Amin," ujar Lita. "Amin. Kalau cita-cita Kakak apa?" tanya Rahma antusias. "Cita-cita Kakak, umm... apa yah." Thalita berpikir keras. "Sebenarnya dari kecil Kak Lita punya cita-cita ingin menjadi Dokter, Kakak ingin membantu orang-orang dan menyembuhkan mereka," ujar Lita mengingat keinginannya sejak dia kecil. "Wah, cita-cita Kakak juga sangat mulia," Seru Rahma. "Iya, tapi kayaknya cita-cita Kakak gak bisa ke capai," keluh Lita menatap lurus ke depan. "Kenapa Kak?" tanya Rahma heran. "Beasiswa Kakak dari kampus di cabut sepihak, Kakak juga dalam keadaan tidak sehat," ucap Lita lirih, hatinya teriris mengingat kejadian itu. Dimana dirinya di fitnah dan harus di cabut beasiswtanya dari kampus impiannya. Rahma turun dari ayunannya dan berdiri di samping Lita yang melamun. Di genggamnya tangan Lita yang berada di atas pangkuan, membuat Lita menatap ke arah Rahma. "Kakak jangan putus asa, Rahma yakin Kakak bisa mencapai cita-cita Kakak. Allah gak tidur Kak, dia pasti akan bantu kita untuk menggapai apa yang kita inginkan. Kakak harus yakin kepada-Nya," ucap Rahma tersenyum membuat Lita menatap Rahma dengan tatapan berkaca-kaca. "Kakak tau kan, aku mengidap kanker paru-paru dari sejak aku lahir. Tapi aku gak mau menyerah begitu saja. Meskipun keseharianku harus di bantu obat-obatan dan suntikan dari Dokter, tapi aku gak mau menyerah. Aku akan tetap berusaha menggapai cita-cita aku," ucap Rahma penuh tekad dan semangat. "Kamu masih kecil, tapi pemikiran kamu sungguh dewasa dan sangat tegar. Kakak merasa malu denganmu," ucap Lita membelai kepala Rahma. 'Bahkan sakit yang aku derita tidak separah yang dia derita. Tapi semangat hidupnya sangat besar, berbeda denganku yang sudah di ujung keputusasaan,' batin Lita. "Kakak harus gapai cita-cita Kakak, jadi suatu hari nanti saat Kakak sudah menjadi Dokter. Kakak bisa menyembuhkan aku," ucapnya antusias membuat Lita tersenyum. "Kakak janji sama kamu, Kakak akan gapai cita-cita Kakak untuk menyembuhkan kamu Sayang." Lita memeluk Rahma. Flashback Off Air mata Lita luruh mengingat saat Rahma menyemangatinya untuk bangkit kembali. Anak berumur 8 tahun begitu bersemangat untuk hidup tanpa memperdulikan penyakit yang terus menggerogoti tubuhnya. "Aku harus bisa menyembuhkannya, bagaimanapun cartanya. Aku harus melakukan sesuatu," gumam Lita. "Apa jalan operasi akan berhasil?" gumamnya. Kepaltanya terasa pening memikirkan cara untuk menyembuhkan Rahma, karena Lita juga menyadari bahwa jalan operasi tidak akan menutup kemungkinan akan gagal. Di sisi lain, Lita sangat ingin membantu Rahma, sesuai janjinya dulu. Tapi di sisi lain tidak ada jalan apapun untuk membantunya menyelamatkan Rahma. Keadaan ini sangat mempersulitnya.   Keadaan Darurat, Ruang 115   Panggilan dari speaker rumah sakit itu menggema diseluruh rumah sakit, membuat Thalita terkesiap. Pasalnya itu ruangan Rahma dirawat, dengan segera Lita berlari keluar ruangannya menuju ruangan Rahma. Beberapa orang ditabrak Lita, dan tidak Lita hiraukan hingga dia sampai diruang 115. Dan  terlihat tiga orang Suster bersama Dhika yang tengah melakukan sesuatu ke pasien. Dengan nafas yang tersenggal-senggal, Lita berjalan mendekati blangkar. Terlihat Dhika tengah melakukan CPR kepada pasien. "Berikan aku 1 ampul," ucap Dhika masih memberi CPR ke pasien. "Dokter, dia adalah pasien DNR," ujar salah satu Suster. "Jadi, apa aku harus diam saja tanpa melakukan apapun, hah?" bentak Dhika membuat Suster ngeri. Dhika memang akan sangat emosi, kalau bersangkutan dengan keselamatan pasiennya. "Beri saya 1 ampul F1 dan defibrillator. Sekarang !!!" bentak Dhika, membuat Suster itu kelabakan dan mengambil alat yang diminta Dhika, sedangkan Lita masih berdiri tak jauh dari sana dengan tangan dan tubuh yang gemetaran. Ketakutan akan kehilangan adik kecilnya, dan janji dia ke Rahma terus memenuhi benaknya. Matanya sudah berkaca-kaca melihat Dhika yang terus berusaha mengambalikan detak jantung pasien, sedangkan pasien tidak menunjukkan respon apapun. Suster menyerahkan alat yang diminta Dhika. Dhika segera mengambilnya dan meletakkannya didada pasien. Dhika mulai memancing jantung Rahma untuk berdetak kembali menggunakan defibrillator, tetapi tidak ada respon apapun dari pasien. "Sekali lagi!" ucap Dhika, dan Susterpun mematuhinya. Tetapi masih tidak ada respon. "Sekali lagi!" ucap Dhika, dan Susterpun melakukannya tetapi tetap tidak ada respon. Dhika kembali melakukan CPR pada pasien, tetapi tidak ada respon apapun. Lita yang melihatnya sudah sangat lemas, jantungnya terasa berhenti saat itu juga. Melihat seorang gadis remaja yang terkulai lemah tanpa merespon apapun. 'Please, kembalilah untuk Kakak. Kakak mohon, biarkan Kakak menyelamatkan kamu. Please kembalilah Rahma' batin Lita sudah bergetar hebat, pandangannya terus terarah ke arah Dhika yang masih berusaha menyelamatkan pasien. Terlihat Dhika kembali mengambil defibrillator dan meletakkannya didada pasien. "Isi 200 joule" ucap Dhika dan Susterpun menurutinya hingga... Deg....Deg....Deg.... Detak jantung pasien telah kembali, Dhika memejamkan matanya bernafas lega. Tubuh dan dahinya sudah dipenuhi peluh. Para Susterpun bernafas` lega karena sudah melewati situasi yang sangat menegangkan. Thalita memejamkan matanya, bernafas lega saat mendengar suara detak jantung itu kembali, air matanya yang sempat luruh segera dia hapus. 'Terima kasih karena masih bertahan,' batin Lita menatap Rahma yang tengah dipasangi alat bantu pernafasan di hidungnya. Dhika hendak beranjak, tapi saat berbalik, gerakannya terhenti saat bertemu pandang dengan Lita. Dhika baru menyadari kalau Lita ada dibelakangnya, Dhika juga mampu melihat tatapan sendu milik Lita. Tanpa berkata apapun, Dhika melewati Lita keluar dari ruangan. Dan tanpa pikir panjang, Lita mengikuti Dhika keluar dari ruangan Rahma. Sesampainya di ruangan milik Dhika, Dhika mengambil sebotol aqua berukuran sedang dari kulkas yang ada di ruangannya. Dalam sekali tegukan, Dhika menghabiskan air dalam botol aqua ukuran sedang itu. Thalita berdiri di ambang pintu dengan hanya menatap Dhika yang tengah meneguk air. Sejujurnya Lita sangat terpesona dan sangat menyukai saat Dhika tengah meminum minuman dari botol dengan peluh yang mengalir dari pelipis ke lehernya. Menurut Lita itu terlihat sangat seksi, apalagi saat Dhika menengadahkan kepalanya saat meminum, memperlihatkan lehernya dan jakunnya yang terlihat naik turun. "Ada apa?" suara Dhika menyadarkan lamunan Lita. Lita menggelengkan kepalanya menghilangkan pikiran aneh yang sempat singgah dikepalanya. Membuat Dhika mengernyitkan dahinya, lalu Lita mendongakkan kembali kepalanya. "Saya ingin bicara," ucap Lita sekuat tenaga mengatur detak jantungnya dan suartanya agar terdengar senormal mungkin. "Masuklah, jangan hanya berdiri di ambang pintu," ujar Dhika, Litapun berjalan memasuki ruangan Dhika. "Ada apa?" Dhika menyandarkan bokongnya di meja kerja miliknya dengan tangan yang di lipat di d**a. Thalita kembali memalingkan wajahnya. ‘Di saat seperti ini kenapa harus terpesona dengan ketampanan Dhika’. Batin Lita. "Apa kamu bisa mengoperasinya?" tanya Lita tanpa basa basi. Dhika yang paham maksud pembicaraan Lita, langsung berdiri tegak tanpa memalingkan pandangannya dari Thalita. "Aku ingin, tapi aku tidak bisa," ujar Dhika santai. "Apa maksudmu?" tanya Lita sinis "Tingkat keberhasilannya sangat rendah" ujar Dhika apa adanya. "Tapi apa ada kemungkinan dia bisa tetap hidup?" tanya Lita. "Kemungkinannya sangat kecil, operasi ini akan membuatnya merasakan sakit yang lebih parah" jelas Dhika. "Maafkan aku, tetapi aku tidak bisa mengoperasinya," tambahnya menyesal. "Kamu bilang seorang Dokter harus menyelamatkan pasiennya. Bahkan tadi saja kamu bilang, Apa seorang Dokter hanya harus diam saja tanpa melakukan apapun" bentak Lita tak terima dengan jawaban Dhika. "Sebut saja aku ini seorang pecundang, tetapi aku tidak bisa menyebabkan pasienku lebih tersiksa lagi," ujar Dhika beranjak memunggungi Lita. Tetapi Lita ikut beranjak kehadapan Dhika. "Jadi maksudmu, kita akan diam saja dan membiarkan dia mati begitu saja?" bentak Thalita membuat Dhika terdiam, mata Lita sudah merah dan berkaca-kaca. "Kamu bilang, dia masih punya harapan untuk hidup!" "Aku salah, maafkan aku Lita," ujar Dhika menatap Lita dengan teduh. "Aku tidak butuh maafmu, Dhika!" bentak Lita. Ini petama kalinya Lita memanggil Dhika tanpa embel-embel Dokter setelah sepuluh tahun berlalu. Dhika mengernyitkan dahiya heran dan bingung melihat sikap Lita yang begitu marah. "Tepati janjimu!" ujar Lita mencengkram kuat kerah jas Dokter yang di Pakai Dhika. Tatapan mereka bertemu, tatapan tajam penuh luka milik Lita menusuk ke mata coklat teduh milik Dhika. Perlahan air mata Lita yang sudah menggenang di pelupuk matanya luruh membasahi pipi membuat Dhika semakin yakin kalau Lita ada hubungannya dengan pasien itu. "Aku mohon, selamatkan dia," ucap Lita dengan suara yang bergetar, seraya menundukkan kepalanya dan mulai melepas cengkramannya di kerah jas yang di Pakai Dhika. "Dia mempunyai impian dan cita-cita yang besar." Terdengar isakan kecil keluar dari mulut Lita. Membuat Dhika mematung di tempatnya. Hatinya merasakan perih dan teriris mendengar isakan Lita. Perlahan Lita menengadahkan kepalanya kembali menatap mata coklat Dhika. "Aku akan melakukan apapun yang kamu mau, asalkan kamu mau mengoperasinya,"ucap Lita memelas menatap Dhika, membuat Dhika Serba salah. Di sisi lain, ingin sekali Dhika mengabulkan permohonan Lita. Tetapi Dhika juga tidak mungkin memaksakan diri untuk mengoperasi pasien yang sudah tak mungkin di selamatkan. Melihat kondisi pasien saat ini, tidak ada harapan lagi untuk di operasi, yang ada pasien akan meninggal saat operasi berlangsung. "Maafkan aku, Lita. Tapi aku tidak bias," ucap Dhika lembut, Lita menundukkan kepalanya dan kembali menangis. "Aku mohon" isak Lita terbata-bata. "Siapa dia?" tanya Dhika, karena yakin sekali kalau Lita sangat mengenal pasien remaja ini. "Dia gadis yang menyelamatkanku, sepuluh tahun yang lalu," ucap Lita menatap Dhika dengan sendu. "Aku ingin menyelamatkannya, seperti dia menyelamatkanku saat kebakaran itu.” "Aku mohon, Dhik. Selamatkan gadis kecil itu," isak Lita memelas membuat Dhika tidak tega melihatnya. "Baiklah, kita akan mengoperasinya sore ini juga," ujar Dhika akhirnya membuat Lita berbinar. "Tapi aku tidak bisa berjanji untuk keselamatan dan kesembuhannya," tambah Dhika membuat Lita ingin berkata sesuatu tetapi Dhika segera mendahuluinya. "Kita Serahkan semuanya kepada Allah," ujar Dhika membuat Lita terdiam.  "Tersenyumlah, kamu terlihat jelek saat menangis," gurau Dhika membuat Lita segera menghapus air matanya dan sedikit salah tingkah. "Terima kasih" ucapnya. “A-aku permisi,” tambah Lita dan segera keluar dari ruangan Dhika. Dhika hanya bisa tersenyum melihat tingkah Lita yang masih gengsi dan menuruti egonya. *** Kini semua Dokter sudah pada posisinya masing-masing di dalam ruang operasi. Dhika menatap Lita yang masih terlihat sendu, semua Dokterpun ikut terlihat tegang. Pasalnya mereka mengetahui kondisi pasien yang akan mereka tangani ini. "Kenapa ekspresi kalian semua sangat mengerikan seperti itu?" ujar Dhika membuat para Dokter melihat ke arahnya. Dhika selalu bisa membuat Dokter lain kembali dalam mood baiknya. "Semangatlah guys," tambahnya bersemangat. Lita tersenyum dibalik masker yang menutupi mulut dan hidungnya sambil menatap  ke arah Dhika. "Operasi sudah bisa dimulai, Dokter" ujar Claudya ikut bersemangat. "Baiklah, ayo kita fokus menyelamatkan pasien." Dhika menatap satu per satu mata orang disekitarnya hingga terakhir matanya beradu dengan mata hitam milik Lita.  Lita memejamkan matanya sekedap, seakan mewakilkan ucapan terima kasihnya. "Pisau bedah," ucap Dhika dan Suster di samping Dhika memberikannya. Dhika dibantu Lita mulai melakukan bedah didada pasien. Semuanya terasa sangat menegangkan setiap detiknya. Pasalnya sedikit saja ada kesalahan maka nyawa pasien taruhannya. Satu jam sudah berlalu, tetapi Dhika dan Lita masih sibuk dengan aktivitasnya. Dengan perlahan Dhika memotong tumor yang ada di paru-paru itu. Darah memuncrat keluar hingga mengenai baju operasi Dhika membuat Dhika maupun Lita terpekik kaget. Tuuuuuttttt............ "Detak jantung dan tekanan darahnya menurun drastic!" ujar Claudya. "Suntikan epinefrin dan tingkatkan konsentrasi oksigennya!" ujar Dhika membuat Claudya segera melakukannya. "Tekanannya terus menurun dari 60%," ucap Lita mulai ketakutan dan resah. "Berikan aku epinefrin defibrillator," ujar Dhika membuat Suster segera menyodorkannya. Dhika memasang alat itu di daerah jantung pasien. "Naikkan 20 joule," ujar Dhika. “Shock!” Deg..... tetapi garis yang muncul di layar hanya gerakan garis yang terus menurun dan melemah. "50 joule," ucap Dhika lagi. “Shock!” Deg.... Dan tetap saja tidak ada respon apapun. "Shitt !!!" Dhika menyerahkan kembali defibrillator ke Suster dan memasukkan tangan kanannya ke dalam tubuh pasien dan menekan-nekan jantung pasien. Tetapi pasien tetap tidak menunjukkan apa-apa, Dhika terus berusaha mengembalikan detak jantung pasien ke posisi normal. Sedangkan Dokter lain terlihat sangat tegang dan Lita sudah berkaca-kaca karena ketakutan. Kedua tangannya yang penuh darah bergetar hebat. "Defibrillator," ucap Dhika dan Suster segera memberikan alat pendetak jantung itu ke Dhika. Dhika kembali memasangkan alat itu disekitar jantung. "50 joule" ujar Dhika. “Shock!” Deg... masih tak ada respon apapun dan tekanannya semakin menurun. "Sekali lagi!" bentak Dhika dan Susterpun menurutinya. Deg....tetapi hanya garis luruh yang muncul di layar mesin. Dhika mengembalikan lagi alat itu ke Suster dan memeriksa denyut nadi pasien. Ia memejamkan matanya dan menghirup udara sebanyak-banyaknya. "Kenapa berhenti?" tanya Lita heran saat melihat Dhika tidak melakukan apa-apapun lagi. "Detak jantungnya tak kembali, denyut nadinyapun sudah menghilang," ucap Dhika lemah. "Lalu kenapa berhenti? Ayo lakukan lagi!" bentak Lita.  Dhika tidak membalas tatapan tajam Lita. Dhika melirik semua Dokter dan Suster lain yang terlihat tegang. "Terima kasih atas kerja sama kalian," ujar Dhika ke semua timnya seraya melepas sarung tangannya yang dipenuhi darah. "Apa maksudmu??????" bentak Lita tak percaya dengan apa yang Dhika lakukan. "Kalian semua boleh keluar, biar saya yang membersihkan semuanya," ucap Dhika membuat satu persatu orang di ruangan itu keluar. Hingga Dokter Claudya yang masih tetap berdiri di sana. "Kau juga boleh keluar Dokter Claudya," ujar Dhika membuat Claudya dengan berat hati keluar dari ruangan. Hingga kini menyisakan Lita dan Dhika berdua, Lita masih menatap Dhika dengan tajam, air mata sudah menumpuk di pelupuk matanya. Dhika membalas tatapan Lita dengan tatapan teduh miliknya. "Tidak, ini belum berakhir!" Lita beranjak ke tempat Dhika sambil melepas masker yang menutup hidung dan mulutnya., hingga kini berdiri di samping Dhika. "Operasinya belum berakhir!" "Ini sudah berakhir, Lita." ucap Dhika menatap ke arah Lita. "BELUM!!!" bentak Lita dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya. "Maafkan aku," ucap Dhika lembut, tetapi Lita hanya menatapnya sengit. "Minggir!!!" Lita mendorong tubuh Dhika, Dan mendekati pasien. Lita memasukkan kedua tangannya ke dalam tubuh pasien dan menekan-nekan jantung pasien berkali-kali. "Please, kembalilah ! kembalilah dengan Kakak, Kakak akan bantu kamu untuk mencapai cita-cita kamu. Ayo Rahma kembalilah," isak Lita terus menekan jantung pasien. "Bukankah kamu pernah bilang, kalau Kakak sudah menjadi Dokter. Kakak harus menyembuhkan kamu dan membuat kamu mencapai cita-cita kamu. Jadi kembalilah,, kembalilah Rahma!" "Apa yang kamu lakukan?" tanya Dhika yang melihat Lita terus menekan jantung pasien. Darah sudah menggenang di dalam sana. "Kamu tidak lihat aku sedang apa, hah????" tanya Lita ketus dan masih terus melakukan kegiatannya. "Hentikan!" ucap Dhika tapi Lita tidak memperdulikannya. "Hentikan!!!" Dhika menarik lengan Lita karena Lita tidak berhenti. "Minggir !!!" bentak Lita menepis tangan Dhika dengan air mata yang terus mengalir deras. "Aku ingin menyelamatkannya... hikz !!!" Lita berhenti menekan jantung pasien, karena pasien tidak merespon apa-apa. "Hikz....hikz....hikz...." Lita mulai terisak membuat Dhika menatap Lita dengan tatapan  sedihnya. Dhika merasa tidak tega melihat Lita seperti ini. "Kenapa kamu tidak bertahan sebentar lagi," ucap Lita lirih. "Kenapa kamu tidak menahan sakitnya sebentar saja" isak Lita "Hikz.... Kenapa kamu membiarkan aku gagal untuk menyelamatkanmu?" bentak Lita ditengah tangisnya. "Hikz....hikz...hikz...." isak Lita di samping tubuh pasien. Dhika beranjak membuka kain yang menghalangi wajah pasien, sehingga Lita mampu melihat wajah polos Rahma yang tengah memejamkan matanya, meskipun masih ada alat medis yang terpasang dimulutnya. Lita melihat sebulir air mata keluar dari sudut mata gadis remaja itu. Membuat Lita menatap kosong ke arah Rahma. "13 Agustus 2016. 22.30 PM. Pasien meninggal karena gagal jantung" ujar Dhika lirih. "Selama operasi pengangkatan tumor," tambah Dhika. "NGGAK !!!" bentak Lita. "Dia belum meninggal!!" ucap Lita sengit, hendak mengambil alat defibrillator untuk kembali memancingkan detak jantung Rahma. "Hentikan!" Dhika menarik lengan Lita. "Apa yang mau kamu lakukan, hah?" "Lepaskan !!!" bentak Lita menepis tangan Dhika. "Hentikan !!!" bentak Dhika kembali menarik lengan Lita. Membuat Lita terdiam menatap mata Dhika kosong. "Lepaskan aku,, hikzz" tangis Lita kembali pecah di hadapan Dhika. Dan terus mencoba melepaskan cengkraman Dhika dilengannya. Tetapi karena tenaga Dhika terlalu kuat, membuatnya kesuLitan untuk melepaskan cengkraman Dhika. "Hikz....hikzz....hikzz...." Lita menundukkan kepalanya terisak. Dhika yang tidak tega melihat Lita yang semakin terluka, langsung menarik Lita ke dalam pelukannya. Di dekapnya dengan erat tubuh Lita dan mengelus punggung Lita dengan lembut. "Selamatkan dia,, hikzz..." Lita memukul punggung Dhika, tetapi bagi Dhika pukulan Lita tidak seberapa dengan rasa sakit saat melihat Lita menangis seperti ini. "Selamatkan dia,,, selamatkan adik kecilku..." isak Lita terus memukuli punggung Dhika. "Maaf,,, tapi dia sudah pergi untuk selamtanya. Maafkan aku," ucap Dhika mempererat pelukannya. Lita sudah kelelahan dan menghentikan pukulannya pada Dhika dan membalas pelukan Dhika dengan erat. Dhika mengelus lembut punggung Lita, memberikan Lita kekuatan. Lita juga merasa sangat nyaman dalam dekapan ini. Dekapan yang selalu keduanya rindukan, dekapan yang sudah sangat lama menghilang. Dhika ingin waktu berhenti saat ini juga, Dhika ingin terus dalam posisi seperti ini. Apalagi detak jantung keduanya terdengar jelas, berdetak sangat cepat. Isakan Lita mulai berhenti, tetapi tangannya semakin erat memeluk tubuh Dhika yang sangat hangat. Dokter Claudya memasuki ruang operasi, berniat membantu Dhika menyelesaikan tugasnya. Tetapi langkahnya terhenti dan mematung di tempatnya saat melihat Lita dan Dhika berpelukan dengan sangat intim. Cukup lama Claudya menatap Dhika dan Lita dengan tatapan terluktanya, Claudya segera memalingkan wajahnya ke arah lain. Dan menghapus air matanya yang entah sejak kapan sudah luruh membasahi pipi. Khem…. Deheman Claudya membuat Lita dan Dhika tersadar. Dengan kesadaran penuh Lita mendorong tubuh Dhika menjauhinya, membuat Dhika merasa sangat kehilangan. Lita menghapus air matanya dan melirik Claudya yang tengah menatapnya tajam. "Aku akan menemui wali pasien," ujar Lita berlalu pergi meninggalkan Dhika dan Claudya yang masih mematung. "Sa-saya mau membantu membersihkan jenazah," ujar Claudya, tetapi tidak di jawab oleh Dhika. Dhika langsung menyelesaikan pekerjaannya dan membereskan semuanya. Thalita keluar ruang operasi, di sana terlihat ibu Sari dan Bapak Ahmad tengah menunggunya penuh keresahan. Melihat Lita yang sudah keluar dari ruang operasi membuat keduanya menghampiri Lita. “Bagaimana?" tanya Ibu Sari dengan tatapan khawatir. Pak Ahmad terlihat merangkul istrinya. "Maaf," ucap Lita lirih, air matanya kembali luruh. "Operasinya gagal, Rahma mengalami pendarahan yang luar biasa." ujar Lita membuat Sari menangis terisak di pelukan BaPak Ahmad yang terlihat menangis juga. "Rahma.....hikzzzzz" isak Ibu Sari, Lita tidak tega melihatnya. "Maafkan aku, aku memang tidak berguna," ucap Lita dengan lirih. "Tidak Lita, kamu sudah berusaha semaksimal mungkin. Semua Dokter yang menanganinya juga sudah banyak yang menyerah, mungkin ini jalan yang terbaik untuk Rahma," ujar Ahmad berusaha tegar. "Iya Lita, Ibu dan BaPak sudah sangat ikhlas. Mungkin ini yang terbaik dari Tuhan agar Rahma tidak menderita lagi dan merasakan rasa sakit itu," isak Sari membuat Lita terdiam. Walau begitu di lubuk hati Lita masih ada rasa kecewa karena kegagalan dirinya menolong Rahma. Tak lama Dhika keluar bersama Claudya sambil mendorong blangkar yang Rahma tempati. Wajah dan tubuh Rahma sudah ditutupi kain putih. Ibu Sari dan Bapak Ahmad menghampirinya sambil menangis terisak. "Beristirahatlah dengan tenang Sayang, berbahagialah di sana. Sekarang kamu tidak akan pernah merasakan sakit lagi." ujar Ahmad menangis dalam diam. “Pergilah dengan damai Sayang, Ibu akan selalu mendoakanmu. Semoga kamu di tempatkan di surgtanya Allah." Sari mencium wajah Rahma. Dhika menatap Lita yang menatap Rahma dengan tatapan kosong sambil menangis. Claudya kembali mendorong blangkar bersama Dhika dan membawtanya pergi ke kamar mayat. Di dalam kamar jenazah, setelah menyimpan blangkar Rahma. Dhika beranjak keluar ruangan, tetapi Claudya memanggilnya, membuat Dhika menghentikan langkahnya. Dhika membalikkan badannya menghadap Claudya yang masih berdiri di belakangnya. "Ada apa?" tanya Dhika. "Dhik, aku sering melihat kamu dan Dokter Thalita berdua. Apa sebelumnya kalian pernah ada hubungan? Kenapa kamu sbegitu mudah akrab dengannya? Bahkan aku saja butuh waktu lama untuk bisa akrab dengan kamu," ujar Claudya sangat penasaran. "Maaf Claud, tapi ini bukan urusanmu," ujar Dhika datar hendak beranjak tetapi Claudya menahan tangan Dhika. Saat yang bersamaan Thalita masuk ke dalam ruangan itu tetapi langkahnya terhenti di ambang pintu saat melihat Dhika dan Claudya. "Dhik, aku mohon beritahu aku ada hubungan apa kamu dengan Dokter Lita?" cicit Claudya menatap manik mata Dhika. Lita yang berdiri di depan pintu hanya mematung mendengar dan melihat mereka berdua. Dadanya terasa nyeri dan ngilu melihat tubuh Dhika di sentuh oleh wanita lain. "Claud, aku mohon jangan seperti ini. Aku sedang tidak ingin membahas ini," ujar Dhika melepaskan tangan Claudya. Lita seakan bingung dan Kaku, kakinya seakan tidak mampu ia langkahkan, tubuhnya sangat lemas dan hatinya sakit. Seperti peribahasa mengatakan sudah jatuh tertimpa tangga pula, itulah yang Lita rasakan saat ini. Sakit hati karena kehilangan sosok adik kecilnya dan di saat yang bersamaan Lita juga merasakan sakit mendengar wanita lain mengungkapkan perasaannya ke Dhika. Dhika melepas pegangan Claudya dan beranjak keluar. Tetapi baru dua langkah, ia menghentikan langkahnya saat melihat Lita berdiri di ambang pintu. Pandangan mereka beradu, tetapi Lita langsung memalingkan wajahnya dengan sinis. Dhika menghela nafasnya dan beranjak pergi melewati Lita tanpa berkata apapun. Lita dan Claudya bertatapan dengan sengit, Claudya langsung beranjak hendak keluar ruangan tetapi langkahnya terhenti saat berdampingan dengan Lita. "Jangan harap aku akan biarkan kamu memiliki Dhika!" ujar Claudya sengit dan berlalu pergi meninggalkan Lita sendiri. Lita berusaha mengabaikan apa yang di katakan Claudya barusan dan melanjutkan langkahnya mendekati blangkar Rahma.   ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN