01 Wenny Kharisma

1052 Kata
"Benar kamu nggak keberatan sayang?" Ibu bertanya sekali lagi dan aku hanya menganggukkan kepala pelan. Aku tidak menolak sama sekali, sejak satu jam yang lalu Ayah dan Ibu mengatakan bahwa ingin menjodohkanku. Reaksiku bagaimana? Aku terima dengan lapang d**a dan ikhlas. Jika melihatku menikah bisa membahagiakan mereka aku tidak masalah. Sudah pernah dilangkahi menikah oleh adik perempuanku membuat Ibu was-was. Tidak sedikit orang yang mengatakan bahwa aku akan menjadi perawan tua. Sejujurnya, aku sudah tidak bisa lagi percaya dengan yang namanya cinta. Aku pernah merasakan pahitnya cinta bertepuk sebelah tangan. Kebodohanku selama bertahun-tahun berdampak buruk bagiku. Merasa bahwa pertemanan yang erat dan terkadang terlihat lebih dari sekedar teman itu bisa ke jenjang yang lebih serius, aku salah besar. Nasi gorengku masih ada sedikit di atas piring, aku sudah tidak lagi berselera untuk makan. Aku memilih menyudahi makanku, bangun dari dudukku. Menyalami Ayah dan Ibu secara bergantian. "Wenny berangkat dulu, Yah, Bu," pamitku. Dulu, ada seseorang yang sering menjemputku setiap pagi. Kini, semuanya berganti menjadi ojek pribadi, abang-abang dari ojek pengkolan depan yang aku minta menjadi ojek langgananku. Lo kuat Wen! Teriakan itu selalu aku suarakan di dalam hatiku. Terdengar nyaring untuk diriku sendiri. Omongan banyak orang hanya aku dengarkan sekilas, aku sekarang lebih fokus pada pekerjaanku sebagai seorang pegawai negeri sipil. Saat aku akan naik ke boncengan ojek, sebuah mobil berhenti di depan rumah. Aku melihat Wika yang turun dari mobil, di gendongannya ada Irish yang sedang tertidur. Sementara dari sisi satunya Putra turun dari mobil. "Mau berangkat kerja Kak?" tanya Wika yang kemudian menyalamiku. Aku menganggukkan kepalaku sebagai jawaban. Kemudian aku mendekat dan mencium Irish yang tertidur. "Hati-hati di jalan, Kak," pesan Wika yang kemudian dia pamit masuk ke dalam rumah. Putra juga menganggukkan kepalanya sekilas padaku. Aku merasa senang melihat Wika yang berbahagia dengan kehidupan rumah tangganya. Keputusanku memberikan kesempatan pada Wika untuk melangkahiku sudah benar. Tidak ada penyesalan sedikit pun, meskipun aku harus menerima banyak cibiran orang karena keputusanku. "Jalan Bang," ucapku pada abang ojek ketika aku sudah duduk dengan aman di boncengan. Dan mengenakan helm yang diberikan oleh abang ojek. *** "Wen, kamu jangan lupa bantu Ibu untuk hubungi dosen yang kemarin itu ya." Ibu Uci –Kepala Seksi Pengembangan Usaha, Sarana Perdagangan dan Pemantauan Distribusi yang membawahiku, mengingatkanku soal hasil rapat kemarin. "Baik Bu," jawabku sambil melihat berkas mengenai calon narasumber untuk kegiatan sosialisasi bulan depan. Gilang Singgih, seorang dosen untuk matakuliah kewirausahaan di sebuah universitas negeri yang cukup terkenal. Unsur lain pemilihan beliau ini sebagai narasumber adalah dia menjadi salah satu dosen yang sangat aktif dan giat dalam memberikan pembelajaran pada UKM. Beberapa kali nama Gilang Singgih disebut-sebut oleh rekan kerjaku. Kebanyakan memujinya yang sering sekali terlibat dengan kegiatan Dinas Perdagangan, Industri, Koperasi dan UKM kami ini. Tapi, baru kali ini aku berurusan langsung dengannya. Ini karena aku baru saja dipindahkan ke sini sekitar satu bulan yang lalu. "Mbak Mayang ..." aku memanggil Mbak Mayang yang sedang mengetik di layar komputer dengan sangat serius. "Surat pengantarnya sudah jadi Mbak?" tanyaku. "Lima menit, Wen. Eh, sepuluh menit deh!" jawabnya tanpa melihat ke arahku. Aku hanya mengangguk saja dan melanjutkan lagi pekerjaanku yang lain. Aku sedang memeriksa kelengkapan berkas untuk yang berhubungan dengan pihak lain. Materi kali ini cukup menarik, menekan pada bagimana cara mengembangkan promosi untuk usaha rumahan. "Aku pengen ikut kalian deh. Pengen ketemu Bapak Dosen ganteng," tutur Mbak Virni yang posisi mejanya tepat di sebelah mejaku. Aku tersenyum tipis mendengar penuturan Mbak Virni. Dari kami semua, Mbak Virni yang paling menyukai Gilang Singgih ini. Dia selalu menyebut Gilang Singgih dengan sebutan Bapak Dosen ganteng. "Sekali-kali ngalah dong Vir. Biar Wenny yang masih single maju," komentar Mbak Mayang. Di ruangan ini hanya aku sendiri pegawai perempuan yang belum menikah. Sedangkan untuk jenis kelamin laki-laki ada Aldi yang hari ini sedang ada kegiatan di luar. Aku sudah biasa mendengar penuturan mereka ini, baru akan dua bulan di sini mereka sudah beberapa kali menjodohkanku sana-sini. Bahkan Aldi tidak luput dari percobaan mereka. Tidak ada kata lelah dan menyerah sepertinya untuk ibu-ibu ini. "Berangkat pakai mobil Mbak Mayang ini?" Aku berdiri dan berjalan menuju meja Mbak Mayang. Si empunya meja sedang berjalan menuju pintu, akan ke ruangan sebelah memanggil Mas Joko. "Iya!" sahut Mbak Mayang yang berjalan dengan cepat. Surat pengantar sudah siap di atas meja Mbak Mayang, hanya saja belum dilipat rapi ke dalam amplop. Aku menggelengkan kepala melihat kelakuan Mbak Mayang tersebut. Aku tahu surat ini sudah siap dari kemarin dan sudah ditandatangani Kepala Dinas juga. Hanya Mbak Mayang saja yang belum membuat arsipnya. *** Mas Joko menghentikan mobil di depan gedung fakultas ekonomi dan bisnis. Aku dan Mbak Mayang kompak turun dari mobil, sedangkan Mas Joko melaju lagi mencari parkiran kosong. Aku dan Mbak Mayang memilih masuk lebih dahulu, kami sudah telat lima menit dari jam janjian. Satpam di depan pintu utama gedung fakultas ekonomi dan bisnis mencegat kami. Aku membiarkan Mbak Mayang menjelaskan tujuan kedatangan kami. Satpam tersebut juga menunjukkan kami ruang dosen. "Keda-keda di sini lumayan juga, Wen," bisik Mbak Mayang. Aku memutar bola mataku sebal. "Lumayan apa? lumayan muka tua, Mbak?" kataku menanggapi. Mbak Mayang mengangguk sambil tertawa geli. "Sst! Diam Mbak." Aku menyenggol lengan Mbak Mayang saat sampai di depan pintu ruang dosen. Setelah Mbak Mayang mengontrol tawanya, aku mengangkat tangan dan mengetuk pintu kaca di depan kami pelan. Dua kali ketukan, kemudian aku mendorong pintu tersebut pelan. Di dalam terdapat banyak meja-meja, kebanyakan meja tersebut kosong tidak ada pemiliknya. "Mejanya yang mana Mbak?" tanyaku pelan sambil melangkah masuk. Mbak Mayang mendorongku, membuatku mengaduh pelan. Seorang pria berdiri, mungkin merasa terganggu dengan kami yang berisik. "Nah itu orangnya," gumam Mbak Mayang yang jalan lebih dahulu. Aku mengikuti Mbak Mayang menuju pria yang berdiri tadi. Ternyata dia sedang membimbing salah satu mahasiswanya. Aku menarik tangan Mbak Mayang saat melihat tatapan tajam Pak Dosen tersebut. "Dia lagi ada bimbingan, Mbak," bisikku pelan. Tersadar, Mbak Mayang mengangguk sopan pada Pak Gilang. Aku dan Mbak Mayang berdiri agak berjauhan. Menunggu Pak Gilang menyelesaikan sesi bimbingannya. "Ganteng ya, Wen." Mbak Mayang menyenggol lenganku. "Single kayaknya tuh," lanjutnya. "Jangan sok tahu dan aneh-aneh Mbak. Mana ada dosen ganteng begitu masih single," bisikku. Aku benar bukan? Mana ada seorang dosen dengan gaji yang lumayan, ganteng pula masih single. Jika ada pun, itu pasti sudah jadi rebutan. Paling enggak yang seganteng Pak Gilang ini seharusnya sudah punya pacar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN