02 Gilang Singgih

1078 Kata
Aku melangkah masuk ke dalam rumah, ada Devan yang sedang duduk di ruang keluarga. Dia telihat sedang mengerjakan sesuatu dengan laptopnya. Kami memang tinggal berdua, Ibu dan Bapak tinggal di Jogja. "Besok Ibu sama Bapak datang," ujar Devan saat aku meletakkan tas ranselku di atas sofa. "Lo yang jemput?" tanyaku sambil berlalu ke dapur. Aku melihat ayam panggang dan sayur lodeh tersaji di atas meja. Ada Bude Yani yang belum pulang ke rumahnya, beliau sedang menyiapkan makan malam untukku. Aku memang tadi ada acara kumpul dengan dosen-dosen muda. Hanya mengobrol ringan, karena banyak di antara dosen muda merupakan dosen-dosen baru. Aku akan membimbing satu orang dosen, dia akan berbagi jadwal mengajar bersamaku. "Gue besok ada meeting penting. Lo bisa kan, Mas?" Devan duduk di kursi meja makan. Aku pun mengikuti dengan duduk berhadapan dengannya. "Jam berapa pesawatnya?" Aku bertanya sambil mengambil piring, kemudian mengisinya dengan nasi, lauk, Bude Yani memberikan atu mangkuk sayur lodeh yang berbeda untukku. "Jam 2 sih kalau nggak delay," sahut Devan. Aku melirik Devan sekilas, umur kami terpaut lima tahun. Sudah sejak kuliah kami selalu tinggal jauh dari orang tua, hidup menjadi penghuni kosan. "Oke gue bisa," setujuku yang membuat Devan nyengir bahagia. Belakangan ini aku dan Devan selalu menghindari Ibu, bukan karena ingin durhaka. Tapi, beliau sudah sibuk ingin memiliki cucu. Tidak terlalu mendesakku, tapi Devan yang menjadi sasaran Ibu. Kegagalanku dalam berumah tangga membuat Ibu, tidak begitu memintaku menikah lagi. Alhasil dia lebih menekan Devan untuk segera menikah. Sedangkan Devan, dia masih nyaman dengan status single dan bebasnya. "Kali ini apa yang akan Ibu perbuatan? Anak teman Ibu yang mana lagi kira-kira, Mas?" keluh Devan dan aku hanya bisa meliriknya. "Gue mau ke luar kota saja lusa, ngurusin urusan di kantor cabang," lanjut Devan. Tidak menanggapi apa pun, aku membiarkan Devan mengeluh dan mengoceh. Bukannya aku tidak perhatian pada Devan, tapi kami sudah terlalu tua untuk mencampuri urusan masing-masing. Jujur saja, aku juga merasa tidak enak pada Devan. Jika bukan karena aku yang bercerai, dia pasti tidak akan dikejar-kejar Ibu seperti sekarang. "Den ..." Bude Yani muncul dari dapur. "Bude pamit pulang Den, sudah malam soalnya Den. Nanti Bude ndak dapat ojek," ujar beliau yang ternyata ingin berpamitan pulang. Aku melirik jam di pergelangan tanganku, sudah hampir jam delapan malam. Kasihan juga kalau Bude Yani harus pulang sendirian. Beliau pulang telat karena tadi aku minta untuk membereskan ruang baca, merapikan beberapa buku yang baru datang dua hari yang lalu. "Tunggu sebentar Bude. Saya antar saja," ucapku. "Nggak perlu Den." "Nggak papa Bude, saya sekalian mau beli sesuatu ke luar." Aku tidak berbohong. Aku ingin membeli pisau cukur. Bude Yani akhirnya mengangguk dan kembali ke dapur. Aku menuntaskan makan malamku yang memang tinggal sedikit. Setelah makan, aku langsung mengambil kunci mobil, dompet dan ponselku yang ada di dalam ransel kerjaku. *** Rumah Bude Yani tidak begitu jauh, jika hari masih siang beliau biasanya memilih pulang berjalan kaki. Setelah mengantar beliau, aku berhenti di depan sebuah minimarket. Alisku tertaut saat melihat seorang perempuan sedang berdebat dengan seorang pria di depan minimarket. Aku turun dari mobil, melirik sekilas ke arah mereka. "Cukup Mas, aku udah nggak mau lagi membahas soal masa lalu. Kenapa kamu harus datang lagi sih Mas?" Nada suara si perempuan terdengar sangat frustasi, meskipun wajahnya dibuat sedatar mungkin. Seketika aku teringat dengan wajah itu, aku mengenali sosok perempuan tersebut. Dia PNS cantik yang menjadi bahan obrolan para dosen dan mahasiswa laki-laki tadi siang. Dia dan timnya datang bertemu denganku, membahas mengenai aku yang akan menjadi narasumber mereka di sebuah kegiatan sosialisasi. "Wen." Aku mengernyit saat si pria menarik tangan perempuan PNS itu –aku lupa namanya. "Kasih aku kesempatan sekali lagi, please?" pinta si pria dengan tatapan memohon. "Lepas!" si perempuan berusaha melepaskan cekalan tangan si pria. Penampilan pria tersebut tidak terlihat seperti orang jahat. Mereka lebih seperti sepasang kekasih yang sedang ribut. Aku memilih tidak untuk ikut campur, aku masuk ke dalam minimarket. Aku menyusuri setiap rak display, niat ingin membeli pisau cukur aku justru mengambil beberapa cemilan. Kacang kulit, pilus dan beberapa kacang-kacangan untuk teman menonton aku dan Devan. Malam kami sering menonton pertandingan bola bersama. "Mau sekalian isi pulsanya?" tanya Mbak kasir saat dia sudah selesai menghitung belanjaanku. Aku menggeleng pelan, mengeluarkan dompet dari saku dan mengeluarkan uang seratus ribu. "Boleh minta nomor ponselnya, Mas?" Si Mbak kasir bertanya dengan malu-malu. "Kembaliannya Mbak, saya buru-buru." Aku berkata demikian, membuat si Mbak kasir gelagapan dan langsung menghitung uang kembalianku. Aku langsung keluar dari minimarket setelah mendapatkan belanjaan dan uang kembalianku. Di parkiran, aku masih mendapati sepasang kekasih tadi. Keduanya masih terlihat saling melontarkan kalimat. "Tolong biarkan aku bahagia, Mas." Si perempuan terlihat berusaha melepaskan tangannya yang digenggam kuat si pria. Aku berjalan menuju mobil, memasukkan belanjaanku ke kursi belakang. "Lepas atau aku bakalan teriak?" ancam si perempuan yang masih dapat aku dengar. Entah merasa kasihan, tidak tega juga melihat si perempuan yang dipaksa-paksa begitu, aku berjalan menghampiri mereka. Aku menarik tangan pria yang masih mencekal tangan si perempuan. "Anda tuli? Mbaknya bilang minta dilepasin," kataku sambil menatap si pria yang menatapku tajam. Aku menyentak tangan si pria, membuat cekalannya di tangan si perempuan terlepas. "Sebaiknya kamu pergi, Mas. Aku tidak mau lagi terlibat denganmu," tutur si perempuan yang kini menarik tanganku. Membuatku melepaskan si pria begitu saja. "Mobil kamu ini kan? Aku numpang sampai ujung sana," katanya kemudian. Aku berdeham pelan, membuat si perempuan tersadar dan melepaskan pegangan tangannya padaku. "Masuklah!" perintahku yang kemudian masuk ke dalam mobil, diikuti dengan si perempuan. "Terima kasih," gumamnya pelan saat mobil meninggalkan parkiran minimarket. Dia juga bernapas dengan sangat lega. "Bapak Gilang bukan?" tanyanya kemudian dan aku mengangguk membenarkan. "Rumahmu dimana? Saya antar." Aku meliriknya yang terlihat ragu-ragu. "Ini sudah malam, perempuan berjalan sendirian malam-malam itu bahaya," lanjutku lagi. Akhirnya dia menyebutkan alamatnya, ternyata dia tinggal di komplek perumahan sebelah komplekku. Tidak ada pembicaraan lagi, kami sama-sama diam. Sesekali hanya terdengar suaranya yang menunjukkan jalan menuju blok rumahnya. "Yang depan itu rumah saya," katanya sambil menunjuk sebuah rumah yang terlihat lumayan asri. Mobilku berhenti di depan rumahnya. Kami saling berpandangan dan sekarang aku mengakui perkataan para dosen dan mahasiswaku kalau dia terlalu cantik sebagai seorang PNS. "Sekali lagi terima kasih Pak. Maaf merepotkan," katanya membungkuk sopan. Tangannya bergerak membuka pintu mobil, saat dia hendak keluar dari mobil aku menahan tangannya. Aku berdeham pelan dan kemudian berkata, "Namamu. Saya lupa." Dia berbalik dan tersenyum sopan. "Wenny Kharisma," sahutnya yang membuatku melepaskan tangannya. Wenny langsung turun dari mobilku setelahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN