Prolog
🌍 Dunia Cerita – Latar yang Kompleks dan Penuh Ketegangan:
Dunia ini terbagi dalam lima wilayah besar:
1. Aurellian (Wilayah Manusia) – Di sinilah Akademi Uralis berada. Dikenal sebagai bangsa “paling licik” oleh ras lain karena sejarah pengkhianatan masa lalu.
2. Vel’zathar (Wilayah Iblis) – Berisi kastil hitam, hutan beracun, dan langit abadi yang muram. Iblis membenci manusia karena perang panjang.
3. Elarion (Wilayah Peri) – Hutan kristal yang indah dan hidup dengan sihir alam. Bangsa peri memandang manusia sebagai makhluk serakah dan kotor.
4. Zarakh (Wilayah Monster) – Dunia liar tempat para monster hidup dalam kekacauan dan kekuatan adalah hukum mutlak.
5. Ferra’Tundra (Wilayah Setengah Binatang) – Pegunungan dan salju abadi, dihuni oleh ras pejuang yang menghargai kehormatan dan kekuatan.
đź§Š Tokoh Utama: Elias
Dingin, tak banyak bicara, lebih memilih menyendiri.
Tahu cara membunuh tanpa suara, tapi sekarang menahan diri.
Di dalamnya, ada keinginan diam-diam untuk merasa hidup... bukan hanya bertahan.
BAB 1:
Anak Yang Gagal
"Oi, lilinnya aja gak nyala. Udah, nyerah aja, Elias."
Tawa pecah di tengah lapangan latihan Akademi Sihir Uralis. Di antara lusinan siswa berseragam, hanya satu orang yang berdiri dengan ekspresi datar, memandangi lilin kecil yang tergeletak di tanah.
Elias mengangkat tangan—pelan, ragu. Sekejap, hawa dingin melintas. Tapi tak ada api. Tak ada percikan. Hanya diam. Lagi.
"Luar biasa," kata salah satu siswa dari kejauhan. "Tujuh belas kali latihan dasar, tujuh belas kali gagal total."
Elias menunduk, memungut lilin itu, meniupnya pelan—meski tidak menyala—dan berkata, nyaris seperti gumaman, "Maaf."
Sang instruktur mengusap wajahnya. “Kau bisa kembali ke asrama, Elias.”
Ia mengangguk, tak banyak bicara. Lalu melangkah pergi melewati tatapan kasihan, hinaan setengah suara, dan tawa kecil yang menusuk seperti duri.
Tapi mereka semua salah.
Di dalam dirinya mengalir kekuatan yang tak punya nama di dunia ini.
Bayangan yang bergerak, kekuatan tak terlihat, insting pembunuh yang tetap tajam meski terbungkus tubuh baru. Dalam kehidupan sebelumnya, ia adalah sosok yang dibayar untuk membunuh raja, pemimpin, bahkan monster magis.
Dan sekarang?
Sekarang dia dianggap siswa paling bodoh di akademi.
> Lucu juga, pikir Elias. Dulu aku diburu. Sekarang diabaikan.
Malamnya.
Elias duduk di pojok kamar asrama lantai bawah, sendirian. Ruangan sempit itu gelap, tapi dia menyukainya begitu.
Ia membuka telapak tangan. Bayangan dari lilin kecil di atas meja mulai bergelombang pelan, mengikuti gerakan jarinya—tapi bukan seperti sihir biasa.
Bayangan itu… hidup.
> Aku belum paham kenapa kekuatanku ikut terbawa ke dunia ini. Tapi… aku bisa rasakan: ini jauh lebih kuat dari sihir manapun yang diajarkan.
Tapi ia memilih diam. Menyembunyikan semuanya. Dunia ini terlalu penuh aturan. Terlalu cepat menilai.
Keesokan paginya, suasana ramai di aula utama akademi.
"Eh, kamu udah lihat pengumuman ekspedisi?" tanya salah satu siswa pada temannya.
"Yang ke perbatasan itu? Katanya cuma tingkat C, kan? Gak menarik."
"Iya, tapi ada skrol kuno dan bonus gold. Buat yang mau cari pengalaman sih lumayan."
Elias berjalan mendekat, menatap pengumuman yang tertempel:
> Ekspedisi Akademi - Tujuan: Hutan Gelap Utraz
Tingkat Bahaya: C
Dibutuhkan: 1 peserta tambahan (karena pengunduran mendadak)
Bonus: 1000 Gold & Skrol Latihan Kuno
Matanya menyipit.
> Utraz? Bukankah itu dekat zona merah?
Ia menatap tulisan "Tingkat C" cukup lama.
Liontin kecil di lehernya—yang tak pernah ia lepas sejak reinkarnasi—bergetar pelan.
Itu pertanda. Ada sesuatu yang tidak beres.
“Elias?”
Suara lembut tapi heran terdengar dari belakang. Seorang instruktur—Ravien—mendekat dengan catatan di tangan.
“Kau yakin mau ikut? Itu jauh dan... agak berisiko. Aku tahu ini terdaftar sebagai misi C, tapi... Utraz nggak bisa dibilang aman.”
Elias hanya menatapnya sebentar.
“Mungkin aku cuma butuh… udara segar.”
Ravien mengernyit. “Kau nggak mau tanya kenapa bisa C? Padahal lokasi itu…”
Elias menyahut pelan, nyaris seperti bicara ke diri sendiri.
“Mungkin ada yang salah input, ya?”
Ravien menghela napas. “Yah… sepertinya memang ada miskomunikasi antara dewan sihir dan bagian logistik.”
Elias hanya mengangguk. Lalu menulis namanya di kolom peserta tambahan.
Sore hari.
Beberapa siswa mengobrol saat Elias lewat.
“Kok dia yang daftar, sih?”
“Dia gak bakal balik, fix.”
“Eh tapi kalo dia mati di sana… kita dapet bagiannya gak ya?”
Elias mendengarnya, tapi tak peduli.
Mereka tidak tahu siapa dia. Mereka tidak tahu apa yang dia sembunyikan.
Malam itu.
Ia duduk sendiri di taman belakang akademi, menatap bulan yang sedikit retak. Angin dingin menggesek kulitnya, tapi ia diam.
> Aku tidak tahu kenapa aku dikirim ke dunia ini. Tapi… kalau petualangan ini membawa jawabannya, aku akan pergi.
Ia menggenggam liontin itu, dan dalam diamnya, bayangan di bawahnya mulai bergetar, perlahan melengkung, seperti bersiap menyambut sesuatu.