BAB 16 - Harta Karun Rahasia

1236 Kata
Tiba-tiba tawa Fiona menarik Yiven dari pusaran pikiran gelapnya. Suara tawa yang begitu murni, tanpa beban, hingga terasa asing di terdengar di ruangan prakteknya. "Om Dokter," bisik Fiona, mata cokelatnya membesar penuh rahasia seolah ia sedang membocorkan kode rahasia sebuah brankas. Ia menunjuk ujung stetoskop yang siap menyentuh d**a mungilnya. "Apa Om Dokter juga sedang mencari harta karun di dalam d**a-ku? Mama bilang, jantungku adalah harta karun yang paling berharga!" Yiven membeku, menahan napas sejenak. Mendengar kata 'harta karun', yang diiringi ekspresi Fiona yang sangat serius dalam menjaga 'rahasia' itu, membuat pertahanannya akhirnya runtuh. Tawa yang jarang ia keluarkan meledak, memenuhi ruangan praktek itu dengan gelombang kehangatan yang tidak terduga. Itu adalah tawa yang murni, tanpa beban, tanpa bayangan kesedihan enam tahun yang membelenggunya. Tawa yang membuatnya merasa seperti kembali ke masa lalu, ke sebuah masa di mana ia masih tahu cara untuk berbahagia. "Ya ampun, Fiona, kamu benar sekali!" jawab Yiven, tertawa kecil sambil meletakkan stetoskop dengan lembut di d**a Fiona. "Om Dokter memang sedang mencari harta karun, disini! Tapi Om harus pastikan dulu, hartamu itu baik-baik saja, ya?" Fiona tersenyum geli, dan Yiven pun ikut tersenyum singkat sambil melanjutkan aktivitasnya memeriksa ritme jantung Fiona. Momen penuh canda itu hanya berlangsung beberapa detik, namun terasa seperti keabadian yang terukir tajam di mata Nayla. Nayla menangkap momen itu dari sudut matanya, dan jantungnya serasa tertusuk belati tajam. Sebuah snapshot kebahagiaan, yang seharusnya menjadi miliknya, melayang sesaat di depan matanya. Takdir kejam telah mencuri dan merampas semua haknya atas kebersamaan itu enam tahun lalu. Nayla merasakan matanya perlahan memanas. Ia menekan kelopak matanya erat-erat, memaksa air mata yang mau jatuh untuk kembali masuk. Ia harus kuat. Ia harus menjadi tembok es yang tidak boleh retak di hadapan Yiven. Sementara Nayla berperang dengan emosinya, Yiven tenggelam dalam pusaran pikirannya sendiri. Dia berusaha keras menganalisis pasiennya, namun kehadiran Fiona, cara anak itu berinteraksi tanpa rasa takut, dan binar mata yang identik itu justru mengganggu profesionalismenya. Yiven merasakan getaran aneh, sebuah resonansi emosional yang jauh lebih dalam daripada sekadar kemiripan visual. Ini hanyalah ilusi... Sadarlah, Yiven! Yiven menggelengkan kepalanya pelan, sebuah gerakan nyaris tak terlihat. Menarik semua kewarasan dan kerasionalan terakhir yang tersisa. Yiven kemudian bangkit dari kursi. Ia menyelesaikan pemeriksaan fisik dengan cepat, lalu duduk kembali di balik meja kerjanya. Raut wajahnya berubah serius, membuat Nayla langsung merasakan ketegangan dan menatap Yiven dengan waspada. Yiven memutar tablet medisnya, memperlihatkan hasil screening dasar. "Nyonya Nayla," Yiven memulai, nadanya kini tegas dan profesional, tanpa sisa kehangatan dari tawa tadi. "Berdasarkan auskultasi dan hasil EKG awal, ada indikasi yang tidak terlalu baik. Kita perlu evaluasi mendalam. Ada... ritme yang tidak harmonis pada detak jantungnya. Kita harus pastikan ini hanya flow murmurs biasa, bukan cacat katup yang signifikan." Nayla menahan napas. Rasa takut yang nyata merayap dari perutnya, meremas organ dalamnya. Kata-kata Yiven terdengar seperti vonis mati yang diputuskan pengadilan, untuknya. "Apa maksud Anda, Dokter? Sampai bulan lalu, Dokter Heri masih bilang bahwa kondisi Fiona hanya cacat bawaan lahir biasa, dan kondisinya pun, cukup baik..." Suara Nayla kini bergetar, kali ini bukan karena amarah, melainkan ketakutan seorang ibu. "Dari awal kondisi jantung Fiona memang perlu dipantau secara berkala. Dan berdasarkan hasil pemeriksaan terakhir ini, saya tidak bisa memastikan apa pun tanpa pemeriksaan lengkap," jelas Yiven, mengetuk-ngetuk layar tabletnya. Matanya yang tajam menatap Nayla tanpa berkedip. "Sayangnya, slot untuk pemeriksaan diagnostik lengkap baru tersedia dua hari lagi, yaitu hari Rabu pukul 09.00 pagi. Saya minta maaf, jadwal kami sangat padat." Kata 'dua hari lagi' terasa seperti batu berat yang dijatuhkan di atas kepala Nayla. Karena itu berarti, ia harus kembali ke rumah sakit ini, dan bertemu Yiven lagi! Pertemuan yang tidak terhindarkan itu terasa seperti janji bertemu dengan algojo. Tetapi demi Fiona, Nayla akan menelan harga dirinya, juga menelan semua ketakutan dan kebenciannya. Nayla kemudian mengangguk, berusaha keras menyembunyikan kekalutan yang tiba-tiba menggerogotinya. "Baik. Saya akan datang. Mohon bantuannya agar semua berjalan lancar, Dokter." "Tentu saja. Percayakan pada kami," janji Yiven, menatap Nayla lurus-lurus, seolah berusaha menenangkannya. Nayla meraih lembaran jadwal dan instruksi yang diserahkan Yiven dengan tangan gemetar. "Terima kasih, Dokter," bisik Nayla pelan, tanpa melihat ke arah Yiven. Selanjutnya ia buru-buru menggandeng Fiona yang masih tersenyum ceria dan melangkah keluar ruangan. Kakinya yang gemetar terasa nyaris ambruk. Saat ia berjalan melewati koridor yang ramai menuju lobi rumah sakit, tubuhnya terasa lemas seolah kehilangan seluruh kekuatannya. Perdebatan tadi, tawa itu, dan janji pertemuan dua hari lagi telah menguras seluruh energinya. Nayla menoleh ke belakang sekilas, membiarkan pikirannya berkhianat. Bayangan Yiven dan Fiona yang bertukar tawa di ruang praktik tadi, tawa yang serupa, mata yang sejajar, masih menghantuinya. Sebuah pertanyaan pahit, menusuk ulu hatinya: Seandainya ia dan Yiven tidak berpisah saat itu, apakah mereka akan hidup bahagia dan tersenyum bersama setiap harinya, seperti tadi? Saat kemudian Nayla menghentikan taksi, ia menggigit bibirnya sampai terasa perih, memaksa dirinya kembali ke realitas. Ia menyingkirkan pikiran-pikiran tak masuk akal itu dengan paksa. Maria lebih tahu dari siapapun: mereka tidak akan pernah bisa bersama. Kisah mereka telah lama diakhiri oleh sebuah pengkhianatan yang tak termaafkan, pengkhianatan yang pad akhirnya ia tanggung rasa sakitnya sendirian. Fiona duduk di pangkuannya, diam sambil memainkan gantungan kunci berbentuk beruang di tas kecilnya. Nayla memeluk putrinya erat, mencari jangkar di tengah badai emosi yang ia rasakan. Fiona adalah satu-satunya harta karun nyata yang ia miliki, dan demi harta karun itu, ia akan kembali ke rumah sakit, menghadapi Yiven, dan menghadapi masa lalu yang siap meledak kapan saja. ..................................... Di meja kerjanya, setelah Nayla dan Fiona menghilang di balik pintu, Yiven masih termenung, mencari sisa-sisa aroma yang Nayla tinggalkan. Lamunan itu berakhir saat Suster Leni—suster yang biasa mengasisteni jadwal prakteknya—mengetuk pintu, dan masuk bersama pasien berikutnya—seorang remaja dengan kasus aritmia ringan. "Dokter Yiven," bisik Suster Leni, menunjuk tablet pasien. "Kita mulai dengan auskultasi, lalu EKG ya?" Yiven mengangguk, namun saat ia mengambil stetoskop, jemarinya terasa kikuk. Ia menyambungkannya pada earpiece dengan posisi terbalik, sebuah kesalahan konyol yang tidak pernah ia lakukan selama bertahun-tahun kariernya. Suster Leni menahan napas, matanya membelalak kaget. "Dokter? Stetoskopnya terbalik." Yiven menariknya kembali cepat-cepat. Wajahnya memerah tipis karena malu. "Ah, ya. Maaf, saya sedikit tidak fokus," dalihnya, berusaha keras menampilkan senyum profesional yang meyakinkan. Anehnya, bahkan setelah pasien demi pasien berganti, kesalahan-kesalahan kecil terus terjadi. Pikiran Yiven melayang-layang, tidak fokus pada pasien dan data di depannya, melainkan pada ruang kosong di kursi yang tadi diduduki Nayla. Setelah bertemu dengan Nayla, Yiven menyadari, selama enam tahun terakhir, ia hanya berada dalam mode bertahan hidup. Hari ini, ia merasakan sesuatu yang disebut harapan. Harapan yang sepenuhnya terikat pada pertemuan mereka berikutnya. Setelah pasien terakhir keluar, Yiven buru-buru memanggil Suster Leni mendekat. "Suster," suara Yiven kini terdengar lebih berotoritas. "Pastikan semua jadwal pemeriksaan non-darurat untuk hari Rabu pagi berjalan mulus. Khususnya untuk pasien Fiona Starla." Suster Leni mengangguk, namun raut wajahnya masih menyimpan keheranan. "Tentu, Dokter. Jadwalnya sudah diatur, pukul 09.00." Yiven memandang jam dinding. Dua hari lagi, ia dapat bertemu lagi dengan Nayla Jeneva. Waktu tiba-tiba terasa berjalan lambat. Ia seharusnya menggunakan waktu ini untuk istirahat, mempelajari data pasien rawat inap, atau mempersiapkan laporan pemeriksaan hari ini. Namun, yang ia lakukan hanyalah menatap kalender digital di mejanya, membesarkan angka '10'—tanggal hari Rabu itu—seolah ia tidak sabar dan sedang menghitung mundur menuju hari yang akan membawanya untuk kembali melihat Nayla. Dan.. untuk sekali lagi mencari bayangan Maria di wajah wanita itu. Yang tepat tersisa empat puluh dua jam lagi... .....................................
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN