Matahari bersinar begitu terik siang itu, seolah-olah berdiri tepat di atas puncak kepala, sinarnya begitu menyengat sehingga terasa membakar kulit. Namun, sama sekali tidak menyurutkan semangat para Prjurit Guardian untuk berlatih.
Di sebuah lapangan yang luas membentang, mereka tengah mengayunkan pedang masing-masing, melakukan gerakan yang serempak dan suara teriakan penuh semangat yang mengalun dari mulut mereka terdengar saling bersahut-sahutan. Keringat yang bercucuran menjadi bukti betapa gigih mereka menempa diri agar menjadi lebih kuat demi bisa melindungi kerajaan dari bahaya apa pun yang bisa saja mengincar.
Berdiri di depan, memperhatikan para prajurit yang sedang berlatih pedang tidak lain sang pemimpin Prajurit Guardian, Labhrainn. Tatapannya bergulir ke sekeliling, memperhatikan satu demi satu gerakan prajuritnya. Saat dia menemukan ada prajuritnya yang salah melakukan gerakan maka dia tidak akan segan-segan menegurnya, memberitahu gerakan yang benar agar prajurit itu tak lagi melakukan gerakan yang salah.
Di tengah-tengah fokus Labhrainn mengawasi latihan prajuritnya, ekor matanya tanpa sengaja menatap ke arah depan, pada sosok seseorang yang terlihat sedang mengendap-endap pergi. Labhrainn berdecak jengkel karena meski melihatnya dari kejauhan, dia tahu persis siapa orang itu.
“Aezar!”
Satu teriakan dari Labhrainn mengalun keras, hingga tak lama kemudian sosok pria maju ke depan dari barisan dan menghadapnya.
“Iya, Tuan. Saya Aezar di sini.”
Sosok pria itu jika dilihat dari perawakannya terlihat berusia sekitar 32 tahun. Pria yang gagah dengan tubuh yang terbentuk sempurna karena selalu ditempa dengan latihan keras setiap hari. Dia adalah Aezar, yang bukan hanya kemampuan bela diri dan berpedangnya yang sudah diakui kehebatannya, melainkan ilmu pengetahuannya terkenal sangat luas. Dia pria yang sangat cerdas dan begitu diandalkan di camp Prajurit Guardian.
“Kau ingat kan tugas apa yang aku berikan padamu?”
Aezar mengangguk, “Tentu saja, Tuan. Saya tidak pernah melupakan tugas utama yang anda berikan pada saya.”
“Lalu bagaimana perkembangannya?”
Ditanya seperti itu, Aezar hanya bisa menghela napas panjang, sebuah respon yang menunjukan kebingungan, rasa lelah dan keputusasaan. “Saya sudah berusaha semampu saya, tapi ….”
Labhrainn mengangkat satu tangan, tanpa Aezar menjawabnya dengan detail pun dia tahu apa yang ingin diucapkan pria itu.
“Aku tetap berharap banyak padamu, Aezar. Aku memberimu tugas itu juga karena aku percaya hanya kau yang mampu mendidiknya dengan baik. Kau hanya perlu lebih tegas pada anak itu. Jangan karena dia anakku, kau jadi sungkan padanya. Jangan segan-segan menghukumnya.”
Aezar mengangguk patuh, “Baik, Tuan. Saya akan menuruti perintah anda.”
“Aku lihat tadi dia menyusup keluar lagi dari camp. Kau urus dia, Aezar.” Labhrainn menggelengkan kepala, terlihat frustrasi jika ditilik dari raut wajahnya. “Anak itu kenapa bisa jadi begitu. Aku tidak habis pikir karena dia sangat berbeda dengan kedua kakaknya. Aku harap kau berhasil mendidiknya sampai dia berubah menjadi lebih baik.”
“Saya akan berusaha, Tuan.”
“Ya, ya, ya. Pergilah, Aezar. Jika perlu seret dia agar kembali ke camp.”
“Akan saya laksanakan sekarang juga, Tuan.”
Setelah memberikan anggukan penuh hormat dan sedikit membungkukan badan, Aezar pun melangkah pergi. Langkah kakinya sangat cepat karena yang dia pikirkan sekarang hanyalah mengejar orang yang selalu menyusahkannya tersebut.
Tidak sulit bagi Aezar menemukan orang itu karena seperti yang dia duga orang itu tengah bersantai sembari merebahkan diri di bawah sebuah pohon rindang yang berada tak jauh dari camp.
Aezar berdiri bertolak pinggang sembari menggelengkan kepala menatap sosok yang sedang berbaring santai dengan menjadikan tanah berumput sebagai alas tempat tidurnya. Salah satu tangannya menutupi mata sehingga sangat wajar jika orang itu tak menyadari kedatangan Aezar.
Aezar menggulirkan mata untuk mencari benda apa pun yang bisa dia gunakan untuk memberi pelajaran pada orang itu. Dia pun menyeringai ketika sebuah ide terlintas di benaknya begitu melihat sebuah sumur tak jauh dari tempat mereka berada.
Tanpa ragu Aezar menghampiri sumur, dia mengambil seember air dan kembali berjalan menghampiri orang yang masih dalam posisi yang sama, yaitu tertidur dengan santai tanpa tahu hukuman berat akan segera didapatkannya.
Byuur!
“Aaaakkhh!”
Orang itu seketika bangkit dari posisi berbaringnya menjadi duduk dengan napas yang terengah-engah. Sekujur tubuhnya basah kuyup terutama bagian kepala karena Aezar tanpa belas kasihan baru saja menyiram orang itu dengan air dingin seember.
“Aezar, kenapa kau menyiramku?”
Aezar mendengus, tak merasa bersalah sedikit pun. “Itu hukuman yang terbilang ringan. Tadinya aku berniat membakar rambutmu sampai jadi botak.”
Orang itu … Northcliff, langsung melebarkan mata mendengar rencana teramat kejam dari Aezar yang selama ini menjadi teman sekaligus mentornya dalam berlatih berbagai hal.
“Jahat sekali kau ini. Masa iya mau membakar rambutku? Kalau aku jadi botak berarti aku tidak akan tampan lagi. Mana ada wanita yang mau denganku nanti.”
“Salah sendiri kau selalu menyusahkan aku. Apa kau tahu gara-gara kau menyusup keluar dari camp, ayahmu memarahiku lagi? Sebenarnya maumu apa, North? Kau ini sudah dewasa. Ingat, usiamu sudah 20 tahun tapi tingkahlakumu masih sama seperti anak ingusan.”
Alih-alih tersinggung, Northcliff justru tertawa lantang, “Memang apa kaitannya aku menyusup dari camp dengan usiaku yang kini sudah menginjak 20 tahun?”
Aezar memutar bola mata, seolah dirinya tak habis pikir dengan jalan pikiran seorang Northcliff. “Tentu saja ada kaitannya. Kau ini bukan anak kecil lagi, North. Sudah saatnya kau menjalankan tugas dan kewajibanmu sebagai bagian dari Prajurit Guardian. Seharusnya kau rajin berlatih. Bukankah aku sudah mengajarimu bela diri dan cara menggunakan pedang? Kau jangan bersikap seolah aku tidak pernah mengajarkan apa pun padamu. Kau tidak bisa apa-apa tapi aku yang kena amarah ayahmu.”
Northcliff menyengir lebar, tak terlihat merasa bersalah meskipun tindakannya yang selalu bermalas-malasan karena tak mau berlatih membuat sang mentor menjadi sasaran empuk ayahnya marah-marah.
“Aku tidak tertarik mengikuti perang, Aezar. Aku tahu kalian sering berlatih setiap hari karena sedang mempersiapkan diri untuk berperang dengan Kaum Paladin, kan?” Northcliff menggelengkan kepala, “Terkadang aku heran, tugas kita itu seharusnya melindungi kerajaan dari penjahat yang ingin membahayakan kerajaan dan seluruh rakyat. Tapi kalian malah sibuk berperang dengan Kaum Paladin yang seharusnya tidak dijadikan musuh. Aku tidak mau latihan karena tidak tertarik ikut berperang. Bukankah besok itu waktunya berperang karena itu semua orang berlatih segiat itu hari ini?”
Aezar memijat pangkal hidungnya sekarang, berbicara dengan Northcliff yang selalu seenaknya dan terlalu santai menjalani hidup itu benar-benar membuatnya frustrasi. “Peperangan ini sangat penting, North. Kita harus menjaga nama baik Prajurit Guardian dari Kaum Paladin yang selalu merendahkan kita. Mereka itu memang musuh kita sejak zaman nenek moyang. Sebagai generasi penerus yang perlu kita lakukan hanya meneruskan perjuangan nenek moyang. Lagi pula, di mana kepedulianmu pada kaummu sendiri? Kau ini bagian dari Prajurit Guardian juga. Apalagi usiamu sudah 20 tahun, sudah saatnya kau ikut berperang bersama kami demi membela kehormatan kita di hadapan Kaum Paladin.”
Northcliff mengembuskan napas pelan, raut wajahnya terlihat masih enggan untuk ikut campur dengan urusan dua musuh bebuyutan yang selalu berperang tersebut. Ya, Northcliff … sang reinkarnasi Crawford Skylar itu kini telah menginjak usia 20 tahun. Namun, pria itu begitu santai menjalani hidupnya seolah tak memiliki beban di saat keluarga dan rekan-rekannya di camp Prajurit Guardian setiap hari selalu menempa diri agar menjadi kuat, Northcliff justru menghabiskan waktunya dengan berleha-leha. Sering menyusup keluar yang membuat semua orang repot, terutama Aezar yang ditugaskan menjadi mentor sekaligus pengajar untuk Northcliff karena dia yang selalu kena teguran dari Labhrainn jika Northcliff sudah berulah.
“North, kau ini putra pemimpin Prajurit Guardian. Kedua kakakmu juga begitu disegani karena mereka memiliki kekuatan luar biasa. Apa kau tidak malu dengan kondisimu sekarang?”
Northcliff mengernyitkan dahi, “Malu? Malu kenapa? Aku tidak merasa memiliki alasan untuk merasa malu.”
Aezar menggeleng-gelengkan kepala semakin dibuat frustrasi oleh cara berpikir Northcliff yang belum juga dewasa di saat usianya sudah dewasa. “Tentu saja kau seharusnya malu. Posisimu cukup penting di dalam camp karena kau ini putra seorang pemimpin. Kau malah seperti ini, selalu bersantai dan malas berlatih. Kau tahu tidak semua Prajurit Guardian menjulukimu prajurit terlemah. Kau ini pecundang.”
Detik itu juga, Northcliff tertawa lantang, sama sekali tak terusik meskipun tahu betapa buruk julukan yang diberikan untuknya. “Aku tidak peduli apa pun yang mereka katakan tentangku,” katanya seraya menopang kepala dengan dua tangan yang diletakan di belakang kepala. “Bukan mereka yang memberiku kehidupan. Aku juga tidak pernah mengusik mereka. Jadi, silakan saja kalian mau mengatakan apa pun tentang aku. Aku tetap akan menjalani hidup sesuai keinginanku.”
Seketika Northcliff meringis karena puncak kepalanya dipukul Aezar, pria itu terlalu gemas pada Northcliff.
Northcliff mengusap-usap kepalanya, “Kenapa kau memukulku?”
“Supaya kau berhenti bicara omong kosong. Kau yang merasa bisa hidup seenaknya, tapi sadar tidak perbuatanmu selalu menyusahkan aku? Sebagai mentormu selalu aku yang dimarahi ayahmu jika kau sudah berulah.” Aezar kembali menekankan dampak perbuatan Northcliff untuknya, tapi seolah pria itu tak peduli, Northcliff hanya menyengir lebar.
Kesabaran Aezar telah mencapai batas, dia merasa harus tegas pada Northcliff. “Cepat, kita mulai latihannya. Coba kau perlihatkan padaku hasil dari yang aku ajarkan padamu. Aku menyuruhmu berlatih sendiri jika kau lupa, North.”
Northcliff dengan santai mengangkat kedua bahu, “Masa menunjukannya di sini? Kita kembali saja ke camp. Bergabung dengan yang lainnya. Tapi kau duluan, aku berjalan di belakangmu.”
Aezar tak akan tertipu dengan trik Northcliff kali ini, dia menanggapi ucapan pria itu dengan dengusan, “Kau pikir aku akan percaya? Kau pikir aku tidak menyadari rencana busukmu?”
“Rencana busuk apa maksudmu? Kau ini selalu saja berpikir negatif tentang aku.”
Aezar memutar bola mata, “Aku sudah bersamamu sejak kau masih anak-anak, North. Kau sudah sering menipuku dan kali ini kupastikan tak akan pernah terjadi lagi. Aku tahu kau berencana kabur lagi dalam perjalanan menuju camp, kan? Tidak ada alasan lagi, cepat kau tunjukan hasil latihanmu sekarang padaku!”
Northcliff mengangkat kedua bahu acuh tak acuh, “Bagaimana aku bisa menunjukan hasil latihan? Aku tidak memegang pedang.”
Tahu itu hanya sebagian kecil dari alasan Northcliff agar dirinya tak perlu melakukan latihan, Aezar dengan sigap menyerahkan pedang miliknya yang tersampir di pinggang pada pria itu. “Ini, pakai pedangku.”
“Wah, kau yakin meminjamkan pedang itu padaku?”
“Tentu saja. Memangnya kenapa? Kau tidak akan mematahkan pedangku ini, kan?”
Northcliff terkekeh, “Ya, siapa tahu. Jangan marah ya kalau aku benar-benar mematahkan pedangmu,” ucapnya seraya mengambil pedang yang terulur padanya.
Aezar sudah memasang ekspresi wajah yang serius memperhatikan Northcliff yang sebentar lagi akan menunjukan hasil latihan, di depannya. Dia berdiri sembari bersedekap d'ada, menghadap Northcliff dengan tatapan yang lurus padanya, tidak pada yang lain.
“Cepat, North. Kenapa kau masih diam?” Aezar mulai kesal karena Northcliff hanya diam mematung seolah tak ada satu gerakan pun yang sudah dia ajarkan pada pria itu yang diingat olehnya. “Jangan bilang kau tidak mengingat satu pun gerakan yang kuajarkan padamu, North?”
Alih-alih menjawab, Northcliff justru tertawa lantang. “Siapa bilang? Aku tidak sebodoh itu. Perhatikan baik-baik ya, akan kuperlihatkan kekuatanku yang sebenarnya padamu.”
Dengan sangat meyakinkan Northcliff mulai memasang kuda-kuda, kedua tangannya sudah siap sedia mencabut pedang dari sarungnya yang dia letakkan di pinggang. Aezar juga sudah tak sabar ingin melihat hasil yang dia ajarkan pada Northcliff selama bertahun-tahun. Berpikir akhirnya dia akan melihat hasil latihan muridnya begitu Northcliff mengangkat satu tangan, siapa sangka tangan itu bukan mencabut pedang melainkan menggaruk kepalanya sendiri.
Aezar seketika menggeram kesal, “Ada apa lagi, North?”
“Aku baru ingat tadi pagi mendapat pesan dari Lamia untuk disampaikan padamu.”
Wajah Aezar yang serius seketika berubah salah tingkah begitu nama itu disebut. Bertahun-tahun bersama, tentunya Northcliff mengetahui semua hal tentang Aezar, termasuk nama wanita yang dicintai pria itu.
Melihat Northcliff sedang menyeringai lebar yang terlihat menyebalkan di mata Aezar, pria itu berdeham. Baru menyadari Northcliff lagi-lagi menipunya. “Berhenti mengatakan omong kosong, North. Sampai kapan kau terus bermain-main seperti ini? Cepat tunjukan kemampuanmu di depanku. Aku sudah menunggu sejak tadi.”
“Tapi aku serius tadi Lamia mengatakan sesuatu padaku untuk disampaikan padamu.”
Aezar mendecih, “Jangan bohong. Aku tidak akan tertipu kali ini.”
“Jadi, kau tidak percaya?”
Dengan tegas Aezar menggelengkan kepala, “Sama sekali tidak. Aku tidak akan tertipu lagi oleh tipu muslihatmu, North.”
“Kalau begitu silakan tanyakan langsung pada Lamia.” Northcliff tiba-tiba mengangkat satu tangannya tinggi di udara dan hal itu sukses membuat Aezar terheran-heran. “Lamia! Ke sini sebentar!”
Terutama saat mendengar Northcliff berteriak seperti itu dengan tatapannya yang tertuju ke arah belakang, Aezar detik itu juga seolah membeku di tempatnya berdiri. Pria itu berbalik badan dengan gerakan perlahan, terkejut luar biasa ketika benar-benar melihat Lamia sedang berjalan menghampiri mereka karena mendengar teriakan Northcliff.
“Tuh, kan, aku tidak berbohong. Sana, temui dia. Kau pasti tidak ingin dia marah karena kau mengabaikannya, kan? Ini kesempatanmu menyatakan cinta padanya, Aezar.”
Wajah sangar Aezar yang biasanya tegas, berubah dalam sekejap menjadi merah merona jika sudah berhadapan dengan sosok wanita yang diam-diam dia cintai. Di dunia ini mungkin hanya Northcliff yang mengetahui rahasianya ini.
Dengan kurang ajar, Northcliff mendorong punggung pria yang sepuluh tahun lebih tua darinya sekaligus mentornya tersebut. “Sana, temui dia. Kau pasti tidak ingin aku mendengar pembicaraan kalian, kan?”
Bagai kerbau yang dicocok hidungnya, Aezar menurut. Dia bahkan melupakan tujuan utamanya untuk menyaksikan Northcliff memperlihatkan hasil latihannya. Pria itu kini berjalan menghampiri wanita cantik bernama Lamia tersebut.
Begitu mereka sudah berdiri berhadap-hadapan, suasana canggung melanda. Aezar yang terkenal dengan kemampuan hebatnya dalam berbagai bidang itu dalam sekejap berubah seperti patung yang hanya bisa diam membisu dengan kepala tertunduk seolah lupa cara berbicara.
Lamia memecah keheningan dengan berdeham, “Ada apa, Aezar?” tanyanya, bingung karena Aezar yang berdiri di depannya hanya diam membisu dan terlihat gugup bukan main.
“I-Itu, katanya kau ingin mengatakan sesuatu padaku, ya?”
Kening Lamia mengernyit dalam, terlihat sama sekali tak memahami ucapan Aezar. “Apa maksudmu? Bukankah tadi kau dan Northcliff yang memanggilku karena itu aku menghampiri?”
Kepala Aezar yang menunduk seketika mendongak, dia mengerjapkan mata bingung. “Tapi bukankah kau mengirimkan pesan yang ingin disampaikan padaku melalui Northcliff?”
“Hah? Apa maksudnya? Aku tidak pernah menitipkan pesan apa pun pada Northcliff.”
Aezar mengatupkan mulut, kedua tangannya terkepal erat begitu menyadari lagi-lagi dia terkena tipuan Northcliff. Pria itu pun berbalik badan, bermaksud memberi hukuman pada murid kurang ajarnya itu. Namun, sayang seribu sayang karena yang dia dapatkan hanyalah pedangnya yang tergeletak di tanah tanpa ada sosok Northcliff lagi di sana. Pria itu berhasil melarikan diri lagi.