Seperti sebuah pasar pada umumnya, pasar yang berada tak terlalu jauh dari area istana Earthland Kingdom, tampak begitu ramai oleh banyak orang yang berlalu-lalang dengan berbagai kepentingan yang berbeda. Ada yang mencari peruntungan dengan berjualan di sana sehingga suara teriakan mereka yang menawarkan barang jualan pada pembeli terdengar saling bersahut-sahutan, menambah kesan ramai pada suasana pasar tersebut.
Ada pula orang-orang yang sengaja datang ke sana untuk berbelanja. Demi membeli kebutuhan sehari-hari, mereka rela berdesak-desakan dengan pembeli yang lain. Kendati demikian, ada pula orang-orang yang berlalu-lalang di sana hanya sekadar lewat, mengingat pasar itu berada di pusat kota dan menjadi jalan alternatif untuk pergi ke perbatasan kota.
Terlihat dua gadis sedang berjalan beriringan sambil bergandengan tangan karena tak ingin terpisah atau tersesat di tengah-tengah keramaian itu. Sepasang saudara yang berasal dari kaum bangsawan, Kaum Paladin … Jenedith dan Courtney.
Jika sang kakak yaitu Jenedith terlihat begitu berhati-hati selama berjalan karena tak ingin bertabrakan dengan orang lain. Berbanding terbalik dengan sang adik, Courtney yang terlihat bersemangat sehingga tak segan-segan menabrak orang di dekatnya hanya karena dia sudah tak sabar ingin segera tiba di barisan kerumunan orang yang entah sedang melihat apa.
“Permisi, permisi. Tolong, jangan halangi jalan kami!” ucap Courtney, dengan sengaja meninggikan suara. Gadis itu bahkan dengan berani mendorong orang yang tidak mau bergeser memberinya jalan, mengundang gerutuan dari orang yang keasyikan menontonnya terganggu karena ulah tak sopan gadis itu.
“Sabar sedikit, Nona. Kau tidak lihat di sini berdesak-desakan?” ucap pria berbadan gemuk yang tak terima karena punggungnya baru saja didorong oleh Courtney.
“Salahmu sendiri berdiri di sini. Sudah tahu badanmu sebesar gajah. Apa kau tahu keberadaanmu di sini hanya menghalangi jalan orang lain?” balas Courtney, gadis yang terkenal pemberani melawan siapa pun itu sangat bertolak belakang dengan dirinya di kehidupan lampau yang merupakan seorang bidadari yang sangat lemah lembut.
Pria itu menggeram marah, “Diam, kau. Lancang sekali mulutmu mengatakan tubuhku sebesar gajah!” Pria itu membentak, terlihat sangat murka jika ditilik dari wajahnya yang kini memerah sempurna.
“Karena itu faktanya. Oh, atau haruskah aku ralat? Badanmu bukan sebesar gajah tapi sebesar ikan paus.” Courtney tertawa lantang, terlihat puas menertawakan tubuh pria berbadan gemuk itu yang kini terlihat sudah tak sanggup lagi membendung amarahnya karena ejekan Courtney.
“Dasar wanita, beraninya kau menghinaku. Lihat saja, aku akan …”
“Tolong, maafkan dia.”
Pria itu sudah mengepalkan tangan, bertekad akan memukul Courtney tak peduli meski dia hanya seorang gadis muda. Pria itu hanya tak terima dengan perlakuan Courtney yang terlampau buruk padanya, sudah didorong sehingga nyaris membuatnya tersungkur ke depan, gadis itu juga dengan berani mengejeknya berbadan gajah … dan apa katanya barusan? Gadis itu juga mengejeknya berbadan seperti ikan paus. Sudah keterlaluan mulut Courtney dan harus diberi pelajaran, itulah tekad si pria gemuk.
Namun, begitu mendengar suara lemah lambut yang berasal dari sosok gadis di samping Courtney, amarah pria itu perlahan memudar, terlebih saat dia melihat gadis itu sedang mengulas senyum ramah padanya.
“Atas nama adikku, aku meminta maaf atas kelancangannya.”
Courtney mendelik pada sang kakak, tak suka karena kakaknya itu merendahkan diri di hadapan pria itu padahal derajat dan status mereka sebagai Kaum Paladin jelas lebih tinggi dibandingkan si pria gemuk yang hanya rakyat jelata.
“Kak …”
Courtney hendak mengajukan protes agar sang kakak berhenti merendahkan diri dengan meminta maaf pada pria itu. Tetapi, urung dilakukan karena Courtney meringis kesakitan dikala merasakan kakinya diinjak Jenedith, sebuah isyarat agar dia diam dan tak banyak bicara lagi. Courtney mengerucutkan bibir, tampak tak suka tapi dia juga tak berani melanggar perintah kakaknya.
“Adikku memang begitu, senang bercanda. Perkataannya tadi jangan dimasukan ke dalam hati. Sekali lagi, aku minta maaf,” ucap Jenedith, kembali mengutarakan permintaan maaf atas tindakan adiknya karena pria berbadan gemuk itu belum juga merespons.
“Iya, adikmu ini sangat kurang ajar. Tadinya aku ingin memberinya pelajaran agar dia bisa menjaga mulut. Tapi setelah kau meminta maaf, aku memaklumi.”
Jenedith mengulas senyum lebar, “Terima kasih. Kau baik sekali, Tuan.”
Courtney memutar bola mata, memasang ekspresi ingin muntah begitu mendengar kakaknya memanggil pria itu dengan sebutan tuan.
Pria itu tak berkomentar lagi, dia lalu melenggang pergi, memilih menjauh daripada kembali terlibat pertengkaran dengan gadis barbar seperti Courtney.
“Kakak kenapa minta maaf padanya? Padahal dia yang salah.” Courtney mengutarakan protes tentu saja, masih tak terima dengan tindakan sang kakak yang merendahkan diri di hadapan rakyat jelata.
“Justru kau yang salah. Kau yang mendorongnya. Kau juga yang menyulut emosinya dengan mengejeknya sembarangan. Wajar jika dia marah.”
Courtney terkikik begitu mengingat bagaimana ekspresi marah pria itu menurutnya sangat lucu karena wajah bulat pria itu sehingga leher dan dagunya menyatu terlihat memerah bagai buah tomat. “Aku mengatakan kebenaran, Kak. Dia itu kan memang seperti gajah dan ikan paus. Selain itu, salah dia menghalangi jalan kita. Padahal aku sudah bilang permisi tadi.”
“Mungkin dia tidak dengar suaramu. Sudah, ayo kita pergi dari sini.”
“Eh? Kenapa pergi?” Courtney melebarkan mata, terkejut karena kakaknya tiba-tiba mengajaknya pergi padahal mereka belum melihat sumber keramaian ini apa sehingga banyak orang berkerumun.
“Ingat, tujuan kita datang ke pasar ini. Kita disuruh Ibu membeli aksesoris. Jadi, tentu saja kita akan pergi ke toko aksesoris.”
“Sebentar saja aku ingin melihat ada apa di depan sana,” pinta Courtney, berusaha membujuk sang kakak.
Namun, yang dia dapati adalah gelengan tegas dari Jenedith. “Tidak. Aku tidak ingin berlama-lama di sini. Kita harus cepat pulang karena ibu pasti sudah menunggu di rumah.”
Merasa tak memiliki pilihan, Courtney pun menuruti kakaknya. Mereka berjalan menjauhi kerumunan. Setelah berkeliling dari satu toko ke toko yang lain, akhirnya mereka menemukan toko aksesoris yang dicari.
Awalnya, Courtney membantu Jenedith mencari aksesoris yang cocok untuk ibu mereka. Namun, karena keramaian di depan sana masih mengundang minat dan rasa penasaran Courtney, gadis itu pun diam-diam mengendap pergi tanpa sepengetahuan Jenedith yang sedang fokus melihat-lihat aksesoris yang terpajang di rak-rak.
Courtney berjalan keluar dari toko sehingga tak menunggu lama dia pun kembali bergabung di tengah-tengah kerumunan. Gadis itu mencoba menerobos, melewati orang-orang yang menghalangi jalan. Saat itulah seseorang tiba-tiba menabraknya dengan cukup keras dari samping, membuat Courtney nyaris terjengkang, beruntung si pelaku yang menabraknya berhasil menahannya tepat waktu sehingga posisi mereka kini bagai orang yang sedang berpelukan.
Di detik pertama, Courtney dan orang itu saling berpandangan. Mengerjapkan mata sebelum suara teriakan keduanya berhasil menarik atensi semua orang menjadi tertuju pada mereka berdua.
“Hah? Kauuuuuuu!”
***
Northcliff berlari secepat yang dia bisa karena khawatir Aezar akan mengejarnya. Pria itu tertawa terbahak-bahak begitu mengingat untuk kesekian kalinya dia berhasil menipu sang mentor malang itu. Tapi dia memang serius saat mengatakan tak tertarik mengikuti peperangan karena itu dia memilih kabur daripada harus mengikuti latihan karena sedang bersiap-siap untuk menghadapi perang besok.
Bagi Northcliff, tak masalah dirinya dijuluki prajurit terlemah atau seorang pecundang sekalipun karena yang terpenting dia bisa menjalani hidup sesuai dengan keinginannya. Dia tak ingin terbebani oleh hal apa pun, apalagi oleh sesuatu yang menurutnya tidak berguna dan hanya membuang-buang waktu seperti berperang.
Seiring dengan langkah kakinya, Northcliff tanpa sadar tiba di tempat yang ramai. Tidak salah lagi itu merupakan sebuah pasar. Pria itu menggulirkan mata ke sekeliling, berharap bisa menemukan sesuatu yang menarik minatnya.
Ketika tatapannya tertuju pada kerumunan orang, dia pun tanpa ragu menghampiri dan bergabung dengan orang-orang itu. Northcliff merasa antusias begitu menyadari pusat dari keramaian itu karena sedang diadakan lelang. Harga barang-barang menjadi sangat murah dalam pelelangan itu. Karena Northcliff sedang membutuhkan sebuah pedang, begitu melihat sang pelelang sedang mengumumkan sebuah pedang yang sedang dilakukan penawaran, dia pun bergegas mendesak maju tanpa memperhatikan sekitar. Dengan terburu-buru dia menerobos kerumunan dan tindakan kasarnya itu membuat dirinya tanpa sengaja bertabrakan dengan seseorang.
Orang itu nyaris terjatuh setelah bertabrakan dengannya, beruntung Northcliff memiliki refleks tubuh yang bagus. Dengan sigap dia menahan tubuh orang itu dengan memegangi pinggangnya yang ramping. Namun, rupanya akibat perbuatannya itu membuat posisi mereka saling berhadap-hadapan bagai orang yang sedang berpelukan.
Awalnya, dia sedang menelisik wajah orang itu. Namun, begitu menyadari siapa orang yang baru dia selamatkan, suara pekikan terkejut Northcliff dan orang itu mengalun secara bersamaan.
“Hah? Kauuuuuuu!”
Northcliff merasakan tubuhnya terdorong dengan amat kuat begitu Courtney mendorong dadanya menggunakan kedua tangan. Gadis itu menepuk-nepuk pinggangnya yang dipegang Northcliff seolah sentuhan pria itu teramat menjijikkan baginya. Melihat tingkahlaku Courtney yang secara terang-terangan menunjukkan raut tak suka karena sudah disentuh olehnya, Northcliff pun melakukan tindakan yang sama. Dia meniup kedua tangannya yang baru saja memegang pinggang Courtney sembari menggesek-gesek kedua telapak tangan seolah sedang membersihkan debu yang menempel di sana.
“Heh, pria lemah belagu, sedang apa kau di sini? Jangan bilang kau mengikutiku sampai ke sini?”
Northcliff melongo mendengar tuduhan Courtney, dia lalu mendengus keras, tak terima tentu saja. “Hah? Kau sedang mimpi ya, wanita bermulut terompet? Memangnya siapa yang mengikutimu? Idiiih … aku tidak sudi. Seperti tidak ada kerjaan saja membuang-buang waktu mengikuti wanita berisik sepertimu.”
Mendengar ejekan Northcliff yang menyebutnya bermulut seperti terompat, Courtney mulai tersulut emosi. Ya, walau ini bukan pertama kalinya dia mendengar ejekan seperti itu mengalun dari mulut pria yang menjadi musuh bebuyutannya sejak kecil itu, tetap saja dia selalu kesal setiap kali bertemu dengannya. Bagi Courtney, bertemu dengan Northcliff di mana pun itu, entah sengaja atau tidak disengaja merupakan kesialan untuknya.
“Terus kau mau apa ke sini? Wajahmu itu hanya menghalangi pemandangan. Aku ingin muntah melihatnya,” balas Courtney seraya memasang gesture seolah-olah dirinya ingin memuntahkan isi perut.
“Menghalangi pemandangan? Ah, yang benar?” goda Northcliff sambil menaik-turunkan kedua alisnya. “Aku pikir kau rindu padaku karena itu membuntuti aku ke sini. Apa sebegitu rindunya sehari saja tidak bertemu denganku?”
Courtney melebarkan mata dengan mulut yang menganga karena jengkel mendengar ucapan Northcliff yang terlalu percaya diri. “Jangan gila ya. Aku lebih baik mati daripada merindukanmu. Idiiih … maaf-maaf saja. Aku justru berdoa setiap hari agar tidak bertemu denganmu.”
Northcliff mendengus, bertengkar dengan Courtney sudah menjadi rutinitas biasa baginya. Karena sekarang dia sedang malas meladeni gadis itu, terlebih karena dia juga sedang mengincar pedang yang masih dalam proses lelang, dia pun memutuskan untuk mengabaikan keberadaan Courtney. Dia lalu kembali melanjutkan niat untuk maju ke barisan depan karena dia akan ikut menawar.
“Siapa lagi yang mau menawar? Harga pedang ini baru sampai 35 perak!” teriak si pelelang yang merupakan pria paruh baya dengan janggut panjang dan kumis lebat.
Northcliff bergegas mengangkat tangan kanan, “40 perak!” teriaknya. Dia begitu menginginkan pedang itu untuk mengganti pedangnya yang patah karena kecerobohannya pernah digunakan untuk mencungkil batu besar. Salah satu alasan dia tak pernah bergabung saat latihan karena takut dimarahi sang ayah jika mengetahui pedang pemberiannya patah karena kecerobohan Northcliff yang sudah mencapai level maksimal.
“40 perak! Ada lagi yang mau menawar?!” Si pelelang kembali bertanya. Namun, tak ada yang menyahuti seolah harga yang baru disebutkan sudah tak ada lagi yang berani menawar lebih tinggi.
“Masih ada yang ingin menawar? Jika tidak ada, penghitungan akan dimulai dan pedang ini akan terjual dengan harga 40 perak!”
Northcliff sudah memasang seringaian karena yakin pedang itu sebentar lagi akan menjadi miliknya. Namun …
“50 perak!”
Suara seseorang tiba-tiba menginterupsi. Northcliff tahu persis siapa pemilik suara itu meskipun dia tak menatap wajah si pemilik suara. Begitu menoleh ke samping dan mendapati musuh bebuyutannya sedang memasang seringaian menyebalkan, pria itu tahu Courtney memang sedang mencari gara-gara dengannya.
“55 perak!” Northcliff balas berteriak, tak mau kalah.
Courtney mendengus pelan, sebelum teriakannya kembali mengalun, “70 perak!”
Suara decak kagum kini terdengar bersahut-sahuran dari orang-orang yang sedang berkerumun di sana. Harga yang ditawarkan Courtney menurut mereka terlampau tinggi hanya untuk sebuah pedang yang paling mahal dihargi 50 perak di kota mereka.
“75 perak!”
Suara decak kagum semakin terdengar kencang karena rupanya Northcliff belum mau menyerah menghadapi Courtney yang jelas-jelas sedang menantangnya.
“100 perak!”
Kini, bukan hanya semua orang yang tercengang karena mendengar teriakan Courtney, Northcliff pun ikut tercengang mendengar gadis itu yang menurutnya terlalu nekat. Sebenarnya bagi Northcliff, dia tak tertarik mengeluarkan uang sebanyak itu hanya demi sebuah pedang biasa. Dia ingin mengalah dan mengurungkan niat membeli pedang itu. Tetapi mengingat lawannya dalam memperebutkan pedang itu adalah Courtney, gengsinya yang tinggi jelas tersentil. Dia tak mau kalah dengan gadis itu.
“110 perak!”
“Wah, berani juga pria miskin sepertimu menawar harga setinggi itu. Masih sanggup melawan seorang bangsawan sepertiku?”
Ini yang membuat Northcliff tak pernah mau kalah dari Courtney, tidak lain karena gadis itu selalu merendahkannya.
“Kenapa memangnya? Apa Nona bangsawan ini sudah kehabisan uang karena Kaum Paladin selalu kalah perang dari Prajurit Guardian? Mengaku bangsawan, tapi bagaimana ceritanya kalah terus setiap berperang?” balas Northcliff. Dia tersenyum miring begitu melihat Courtney menggeram karena emosinya tengah memuncak.
“1 coin emas!” teriak Courtney final dan kali ini sukses membuat Northcliff tak berkutik. Dia tentu tak memiliki uang sebanyak itu. Pria itu berdecak, mau tak mau harus mengaku kalah jika dalam urusan memamerkan kekayaan dengan gadis itu.
“Bagaimana? Apa kau masih mau menawar, Anak Muda?” tanya si pelelang karena suara Northcliff yang kembali menawar, tak terdengar lagi.
Keadaan ini sungguh menjatuhkan harga dirinya, tapi apa mau dikata … dia memang kalah telak kali ini. Northcliff mengangkat tangan kiri, “Tidak, Pak. Berikan saja pada Nona ini,” katanya sebelum dia melenggang pergi, tentu saja setelah melayangkan tatapan luar biasa tajam pada Courtney.
“Ck, si mulut terompet itu. Padahal aku yakin dia tidak membutuhkan pedang. Gadis sepertinya yang hanya tahu cara berpesta dan menari-nari di lantai dansa dengan sembarang pria, mana mungkin membutuhkan pedang. Sedang mencari gara-gara denganku rupanya. Awas saja, akan kubalas dia nanti,” gerutu Northcliff, tentu saja hanya dirinya yang bisa mendengar. Dia berjalan menjauhi kerumunan, sebisa mungkin secepatnya pergi sebelum Courtney yang besar kepala karena merasa keluar sebagai pemenang, akan kembali mencari gara-gara dengannya.
Namun, sepertinya usaha Northcliff untuk segera pergi berakhir sia-sia karena dia harus menghentikan langkah begitu merasakan sesuatu mengenai kepalanya. Sebuah batu kecil yang dia yakini dilemparkan oleh seseorang di belakang. Dia pun bergegas berbalik badan, memelotot begitu melihat Courtney sedang tertawa puas karena lemparannya tepat sasaran. Dengan langkah cepat, Northcliff kembali menghampiri gadis itu.
“Kau ini kenapa? Selalu mencari gara-gara denganku?!” tanya Northcliff, seperti biasa bicara dengan nada tinggi jika lawan bicaranya adalah sang musuh bebuyutan.
“Karena aku tidak suka melihat wajahmu. Sudah kubilang jangan muncul lagi di depanku, apa kau tuli? Atau tidak mengerti bahasaku?”
Northcliff berdecak, “Memangnya siapa yang ingin bertemu denganmu, hah? Aku juga heran padahal bumi ini luas tapi kenapa aku harus selalu bertemu denganmu? Menyebalkan. Di muka bumi ini kau manusia yang paling aku benci!”
Sambil bertolak pinggang, Courtney membalas, “Dan kau serangga pengganggu yang paling ingin aku singkirkan dari muka bumi. Aku membencimu!”
“Aku lebih membencimu, mulut terompet!”
“Aku lebih lebih lebih membencimu, pria lemah belagu!”
Tak ada yang mau mengalah setiap mereka bertatap muka di mana pun itu. Mungkin orang yang sudah mengetahui permusuhan mereka tak akan heran lagi dengan pemandangan di mana mereka sedang beradu mulut sambil saling melempar tatapan tajam. Seperti Jenedith yang hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkahlaku mereka berdua.
“Kalian berdua ini seperti suami istri ya? Pernah dengar tidak kalau benci dan cinta itu perbedaannya sangat tipis?”
Mendengar suara yang tiba-tiba mengalun itu, baik Northcliff maupun Courtney yang sejak tadi saling memelotot kini dengan serempak menoleh ke arah Jenedith yang baru saja berkata demikian.
“Hah, Kakak ini bilang apa? Aku dan dia seperti suami istri? Apa Kakak sudah tidak waras?” Courtney menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan sang kakak yang sudah jelas sesuatu yang paling mustahil bisa terjadi.
“Aku lebih baik jadi perjaka tua daripada memiliki istri sepertinya,” kata Northcliff sembari menunjuk Courtney dengan jari telunjuk. Pria itu memilih melenggang pergi, tak berminat lagi berkeliling pasar karena suasana hatinya seketika menjadi buruk akibat pertemuannya dengan Courtney.
Sekilas jika melihat betapa saling membencinya mereka, tak akan ada yang percaya bahwa di kehidupan lampau mereka merupakan pasangan kekasih yang rela melakukan pelanggaran berat hanya agar bisa menjalin hubungan secara sembunyi-sembunyi. Mereka saling mencintai yang membuat keduanya mendapat hukuman berat dari sang penguasa alam semesta dengan harus bereinkarnasi menjadi manusia dan turun ke bumi dari tempat asal mereka yaitu Caelum.
Ya, kita lihat akan jadi seperti apa kisah mereka setelah ini.