Pemandangan di mana dua kubu sedang bertemu dan beradu kekuatan bukan lagi sesuatu yang baru terjadi di Earthland Kingdom. Karena seperti peperangan-peperangan sebelumnya yang terjadi antara Kaum Paladin dan Prajurit Guardian yang selalu memakan banyak korban jiwa, kali ini pun demikian.
Banyak jasad yang bergeletakan dengan kondisi yang mengenaskan. Luka nyaris di sekujur tubuh. Luka akibat terkena serangan senjata musuh. Bahkan tak jarang kondisi jasad sudah tak utuh, entah kepala atau bagian anggota tubuh yang lain tertebas hingga putus dan terpisah dari tubuh utama.
Genangan darah dan bau anyirnya yang menyengat membuat padang pasir itu seolah berubah menjadi lautan darah. Meskipun pemandangan itu terlihat menyeramkan tapi rupanya tak menyurutkan semangat para pasukan untuk terus bertarung di medan perang seolah mereka sudah siap untuk mati demi menjaga harga diri masing-masing.
Labhrainn tak turun langsung ke medan perang dalam peperangan kali ini. Putranya, Leicester yang dia pilih untuk memimpin pasukan. Dari camp yang didirikan tak jauh dari medan perang, dengan menggunakan teropong, pria itu mengawasi peperangan yang sedang berlangsung. Banyak Prajurit Guardian yang berdiri di belakangnya, mereka sudah siap sedia menunggu perintah semisal Labhrainn memerintahkan mereka untuk bergabung dengan pasukan perang jika kondisi rekan mereka sedang terdesak.
“Bagaimana kondisi di sana, Ayah?”
Teropong yang sejak tadi terpasang di kedua matanya, Labhrainn turunkan. Dia lalu menoleh ke arah samping, pada putra keduanya … Therion, yang baru saja menanyakan kondisi di medan perang.
Labhrainn tiba-tiba menyeringai dan hanya dengan melihat ekspresi itu, Therion sudah bisa menebak apa yang terjadi di medan perang, tentu pasukan mereka seperti biasa selalu unggul dan pada akhirnya akan keluar sebagai pemenang.
“Kau lihat sendiri agar kau mengerti, Therion.”
Therion menerima teropong yang diulurkan sang ayah, lalu menggunakan teropong itu untuk menyaksikan medan perang. Sekarang dia mengerti alasan ayahnya terlihat senang dan puas, rupanya pasukan dari kubu mereka memang lebih unggul. Dari jumlah jasad yang tergeletak di tanah, terlihat jasad-jasad itu sebagin besar berasal dari kubu musuh. Dalam pertarungan jarak dekat seperti ini tentu saja pasukan mereka tak akan terkalahkan.
“Sepertinya perang ini akan berakhir seperti biasanya, Ayah. Kita akan keluar lagi sebagai pemenang.”
Labhrainn terkekeh, “Tentu saja. Lambat laun Kaum Paladin akan punah di tangan kita. Tapi itu bagus karena dengan begitu kita tidak perlu repot-repot lagi berurusan dengan mereka.” Labhrainn tertawa kali ini diikuti sang putra dan seluruh Prajurit Guardian ikut menertawakan kekalahan dari kubu Kaum Paladin yang tinggal menunggu waktu pasti akan terjadi.
Jika di camp pasukan Prajurit Guardian tampak sedang merayakan kemenangan mereka yang sudah di depan mata, rupanya berbanding terbalik dengan camp yang berada di kubu Kaum Paladin. Sang pemimpin Kaum Paladin, Maksimus terlihat beberapa kali menggeram kesal karena melihat kondisi pasukannya di medan perang yang sudah dipastikan akan kalah dalam peperangan kali ini. Ini bukan kejadian pertama, melainkan hal yang selalu terjadi setiap kali peperangan terjadi.
Untuk meluapkan amarahnya, Maksimus melempar benda apa saja di camp yang dia tempati, membuat tak ada seorang pun yang berani mendekatinya. Namun, rupanya ada satu orang yang memberanikan diri menghampiri pria yang tengah mengamuk karena pasukannya kalah perang tersebut, dia adalah Romulus, adik kandung dari Maksimus.
“Kak, tenangkan dirimu.”
Maksimus berdecak, mendengar ucapan adiknya, dia semakin murka sehingga sebuah guci yang diletakkan di bawah meja, tanpa ragu dia lemparkan ke tanah hingga hancur berkeping-keping.
“Tutup mulutmu, Romulus. Kau tidak akan mengerti bagaimana perasaanku sekarang. Kita sudah berusaha melatih pasukan kita agar lebih kuat. Senjata kita pun diperbanyak dan lebih canggih dibanding senjata milik musuh, tapi kenapa hasilnya selalu seperti ini? Padahal aku sempat optimis peperangan kali ini pasukan kita yang akan menang. Tapi ternyata …. Aaaarrrghh … ini sangat mengesalkan!” Kali ini dengan kepalan tangannya, dia menggebrak meja teramat keras sehingga suara gebrakannya membahana di camp tersebut.
“Tidak ada gunanya marah-marah karena tidak akan mengubah apa pun.”
Maksimus mendelik tajam, ucapan sang adik sepertinya semakin menyulut emosinya yang tengah memuncak. “Jika kau datang ke sini hanya untuk menambah amarahku, lebih baik kau pergi saja, Romulus.”
“Tidak. Aku datang ke sini karena ingin mendiskusikan sesuatu dengan Kakak. Tapi aku mohon tenangkan dirimu dulu karena apa yang akan kita diskusikan ini sangat penting.”
Maksimus tidak bisa menerka apa yang ingin disampaikan adiknya, tapi melihat raut wajahnya yang serius, dia tahu adiknya itu memang bersungguh-sungguh. Meskipun amarah masih mengusai dirinya, Maksimus mencoba menenangkan diri dengan menarik napas panjang berkali-kali dan mengembuskannya dengan perlahan. Dia sadar harus berbicara dengan kepala dingin, dia harus menenangkan diri.
Setelah merasa tenang, dia pun mendudukan diri. “Duduk,” pintanya pada Romulus, yang langsung dituruti.
Tatapan Maksimus kini begitu tajam ditujukkan pada adiknya, dia sudah siap mendengarkan apa pun yang akan disampaikan sang adik. “Jadi, kau mau mendiskusikan apa denganku?”
“Seperti yang Kakak lihat, setiap berperang dengan Prajurit Guardian, kita selalu kalah.”
Maksimus mengepalkan tangan di atas meja karena setiap membahas ini maka amarahnya akan kembali meluap-luap hingga terasa mendidih di ubun-ubunnya.
Mencoba mengabaikan reaksi sang kakak yang kembali tersulut emosi, Romulus melanjutkan ucapannya, “Sebenarnya ini hal yang wajar mengingat pasukan dari Prajurit Guardian merupakan orang-orang yang terlahir memang untuk menjadi prajurit. Sejak kecil mereka sudah dilatih bela diri dan cara menggunakan senjata jadi sangat wajar jika mereka kuat dan keluar sebagai pemenang setiap berperang dengan pasukan kita yang sebenarnya hanya kaum bangsawan yang dipaksa turun di medan perang. Kemampuan mereka tidak sepadan, Kak.”
Maksimus kembali menggebrak meja, “Sebenarnya kau ini ingin mengatakan apa padaku? Jika kau hanya ingin memuji kekuatan musuh, lebih baik kita akhiri diskusi tidak berguna ini karena aku sama sekali tidak ingin mendengar omong kosongmu.”
Dengan tegas, Romulus menggelengkan kepala karena dia tahu sang kakak belum memahami maksud ucapannya. “Bukan begitu maksudku, Kak. Aku hanya ingin memperingatkan bahwa secanggih apa pun senjata yang kita gunakan jika penggunanya memang bukan seorang prajurit terlatih, sampai kapan pun tidak akan bisa menang.”
Kening Maksimus mengernyit dalam, “Kau ini kenapa? Sejak tadi aku dengarkan kau terus saja memuji kekuatan lawan dan meremehkan kekuatan pasukan kita.”
“Aku hanya sedang mengingatkan, Kak. Jika kita terus-terusan seperti ini maka Kaum Paladin lambat laun akan punah karena semua mati di medan perang.”
Maksimus tertegun, hal ini sebenarnya sudah dia sadari sejak dulu. Dia tahu pasukan Kaum Paladin lama-kelamaan akan habis jika terus terbunuh dalam perang.
“Kita harus menghentikan peperangan agar tidak pernah terjadi lagi.”
Maksimus yang sedang menundukkan kepala, seketika mendelik pada sang adik. “Jadi, apa? Kau menyuruhku mengaku kalah dan merendahkan diri di hadapan Labhrainn sang sombong itu?”
Romulus mengangguk, yang detik itu juga membuat Maksimus tertawa terbahak-bahak. “Kau sudah gila, Romulus. Mana mungkin aku mau merendahkan diriku sampai seperti itu di hadapan orang yang kubenci.”
“Tapi ini demi kebaikan dan kelangsungan Kaum Paladin. Apa bagi Kakak harga diri jauh lebih penting daripada garis keturunan Kaum Paladin? Ingat, Kak, konsekuensinya bangsa kita akan punah jika terus-terusan kalah dalam perang. Jadi mana yang Kakak pilih, membiarkan Kaum Paladin punah atau tetap mempertahankannya tapi Kakak harus rela berbaikan dengan Prajurit Guardian? Hentikan permusuhan kita dengan mereka.”
Maksimus tak mengatakan apa pun, pria itu hanya menundukan kepala seolah sedang mencerna semua yang dikatakan Romulus dan kini sedang menimbang-nimbang apa yang harus dia lakukan. Keputusan apa yang harus dia ambil.
Menyadari sang kakak membutuhkan waktu untuk memikirkan hal ini, Romulus pun bangkit berdiri. “Lebih baik Kakak pikirkan baik-baik saranku ini. Aku tahu Kakak butuh waktu sendiri sekarang, aku pamit dulu. Panggil saja aku jika Kakak sudah mengambil keputusan.”
Meskipun suara sahutan dari Maksimus tidak terdengar, Romulus tetap tak mengurungkan niatnya untuk pergi. Dia berbalik badan dan mulai melangkah menuju pintu keluar. Sesaat lagi dia akan melewati pintu keluar ketika suara Maksimus yang memanggil namanya berhasil membuatnya mengurungkan niat untuk pergi. Romulus kembali berbalik badan menghadap sang kakak yang kini sedang menatapnya tajam di kursinya.
“Memangnya menurutmu dengan cara apa kita bisa mengajak mereka berdamai?”
Romulus menyempatkan diri untuk mengulas senyum karena dia begitu lega kakaknya yang keras kepala itu akhirnya menyadari satu-satunya jalan terbaik demi kelangsungan Kaum Paladin memang dengan berdamai.
“Ada satu cara, Kak. Kita bisa melakukan gencatan senjata dan mengajukan perdamaian dengan membuat kesepakatan dengan mereka.”
Kedua alis Maksimus menyatu, dia masih belum paham sepenuhnya ucapan sang adik, “Maksudnya?”
Romulus pun melangkah mendekati kakaknya, membungkuk saat sudah berdiri tepat di sampingnya, Romulus lantas mendekatkan mulut ke telinga sang kakak dan membisikkan sesuatu yang sukses membuat kedua mata Maksimus terbelalak sempurna, terkejut bukan main karena tak menyangka ide gila seperti itu terlintas di benak adiknya.
***
Suara tawa dan gelas yang saling beradu terdengar di dalam camp Prajurit Guardian yang baru saja merayakan kemenangan mereka. Peperangan telah berakhir dan seperti yang sudah mereka prediksi pasukan dari kubu lawan yang menarik mundur pasukan.
“Untuk kemenangan kali ini kita harus merayakannya untuk Leicester karena dia sudah berhasil membawa pasukannya keluar sebagai pemenang. Aku bangga padamu, Nak,” ujar Labhrainn sembari mengangkat tangan berisi gelas yang sudah penuh dengan cairan wine.
“Terima kasih, Ayah. Tapi kemenangan ini murni berhasil kita raih berkat semangat juang dari semua prajurit yang sangat luar biasa. Aku tidak mungkin berhasil memberikan kemenangan ini tanpa kegigihan dan perjuangan mereka dalam menyerang musuh.”
“Walau begitu aku tetap bangga padamu. Kau sudah membuktikan kelak di masa depan kau sangat layak untuk menggantikan posisiku sebagai pemimpin Prajurit Guardian.” Labhrainn menggulirkan mata ke sekeliling, pada beberapa petinggi Prajurit Guardian yang sedang berada di camp bersamanya. “Mari kita bersulang untuk merayakan kemenangan pasukan kita sekaligus sebagai penghargaan dan ungkapan terima kasih pada Leicester yang sudah berjuang dengan keras hari ini!”
Secara serempak, mereka semua ikut mengangkat gelas yang sudah penuh dengan cairan memabukkan tersebut.
“Bersulang!” teriak mereka seraya mengangkat gelas masing-masing, suara gelas yang saling beradu terdengar nyaring sebelum digantikan suara air yang diteguk dan mengalir di tenggorokan terdengar cukup keras.
Namun, kegembiraan itu seketika terhenti saat seorang Prajurit Guardian menerobos masuk ke dalam camp, menghadap pada Labhrainn dan menyampaikan sebuah kabar yang membuat seisi camp menjadi heboh.
“Apa kau bilang? Maksimus dan Romulus meminta izin bertemu denganku?” Satu alis Labhrainn terangkat naik saat mengatakan ini, terlihat terkejut sekaligus heran.
“Benar, Tuan. Mereka sudah menunggu di luar camp.”
“Apa yang mereka inginkan?”
“Mereka bilang ingin mendiskusikan sesuatu dengan anda.”
Labhrainn dan kedua putranya … Leicester dan Therion, saling berpandangan seolah-olah sedang berkomunikasi melalui tatapan mata.
“Temui saja mereka, Ayah. Lagi pula, tadi aku heran karena mereka tiba-tiba menarik mundur pasukan dari medan perang secepat itu.” Leicester yang memberikan saran karena menurutnya ada yang tidak beres sampai pemimpin Kaum Paladin mendatangi camp mereka apalagi sampai meminta izin untuk bertemu karena mengajak berdiskusi.
“Baiklah. Izinkan mereka masuk,” titah Labhrainn pada sang Prajurit Guardian yang memberikan laporan mengejutkan tersebut.
“Baik, Tuan.”
Tak lama berselang setelah sang prajurit meninggalkan camp, dua orang yang begitu berpengaruh untuk Kaum Paladin itu pun benar-benar menampakan diri. Mereka memasuki camp dan tanpa ragu menghampiri Labhrainn.
“Aku terkejut kau berani mendatangi camp kami, Maksimus? Ada apa? Apa kalian berdua datang untuk ikut merayakan kemenangan pasukan kami?”
Semua orang tertawa mendengar ucapan Labhrainn, tentu saja pengecualian untuk Maksimus dan Romulus yang masih mempertahankan raut serius mereka walau tahu semua orang di dalam camp tengah mengejek dan menertawakan mereka.
“Apa prajurit tadi tidak menyampaikan kedatangan kami kemari karena ingin mendiskusikan sesuatu denganmu?”
“Justru itu yang membuatku merasa aneh, Maksimus. Tidak biasanya kau mau berbaik hati mengajakku diskusi di saat biasanya kau selalu menghina dan menantang kami berperang. Apa sekarang kau kewalahan menghadapi kami dan mengaku kalah telak karena itu kau putus asa dan mengajak berdiskusi?”
Mendengar ucapan Labhrainn yang terang-terangan sedang menyindir, kembali suara tawa yang membahana di dalam camp.
Menyadari kakaknya sedang tersulut emosi karena Maksimus kini tak bersuara lagi melainkan kedua tangannya terlihat saling mengepal, Romulus segera mengambil alih pembicaraan atau rencana mereka akan gagal jika dia tak cepat-cepat bertindak.
“Kami memang ingin mengajukan gencatan senjata dengan kalian. Kami mengakui kalian sangat kuat dan lebih unggul dari kami. Kami ingin mengakhiri permusuhan dan peperangan yang sudah ribuan tahun terjadi di antara Kaum Paladin dan Prajurit Guardian. Kami menawarkan perdamaian.”
Suara tawa pun seketika terhenti digantikan oleh keheningan dan raut terkejut dari semua orang di dalam camp, termasuk Labhrainn.
“Apa maksudmu ingin mengakhiri permusuhan di antara kita? Memangnya kau pikir aku percaya? Padahal selama ini kalian selalu menghina dan meremehkan kami. Selalu memaksa kami untuk melindungi kastil kalian seperti kami melindungi istana dan keluarga inti kerajaan.”
“Kami berjanji tidak akan melakukan hal itu lagi. Kami serius mengajak untuk berdamai. Tidak ada lagi permusuhan di antara kubu kita, bagaimana?” Romulus bertanya dengan serius seraya menatap secara bergantian orang-orang yang berada di dalam camp. Walau setelah itu fokusnya tetap pada Labhrainn yang menjadi kunci tujuan dari diskusi ini bisa tercapai.
“Kenapa kalian tiba-tiba mengajak berdamai? Kalian tidak sedang merencanakan sesuatu, bukan?” tanya Labhrainn, tatapannya memicing penuh ciriga. Tentu saja dia tak mungkin semudah itu mempercayai ucapan orang-orang yang selama ini dia klaim sebagai musuh bebuyutan.
“Kami menyadari peperangan ini hanya memberikan kerugian. Bukan hanya untuk pihak kami tapi untuk pihak kalian juga. Bukan hanya kami yang kehilangan banyak anggota keluarga, kalian juga kehilangan banyak rekan, bukan? Karena itu kami ingin mengakhiri peperangan yang sebenarnya tidak memberikan keuntungan untuk pihak mana pun ini. Terlebih kami sadar sebagai sesama penghuni Earthland Kingdom, bukankah seharusnya kita saling bahu-membahu menjaga perdamaian kerajaan dan rakyat? Bukan justru membuang-buang waktu dan tenaga dengan melakukan peperangan. Kami serius ingin menawarkan perdamaian pada kalian. Jadi bagaimana? Apa kalian bersedia?”
Untuk kesekian kalinya Labhrainn saling berpandangan dengan kedua putranya seolah tengah meminta pendapat pada mereka.
“Sebenarnya aku setuju dengan pemikiran kalian karena peperangan memang tidak akan memberikan keuntungan apa pun, justru hanya memberikan kerugian. Tapi kami tidak bisa mempercayai ucapan kalian begitu saja. Kami butuh bukti kalian memang bersungguh-sungguh ingin berdamai dengan kami.” Dengan lantang Leicester memperlihatkan dirinya memang pantas menyandang sebagai calon pemimpin selanjutnya.
Maksimus mendengus mendengar penuturan putra dari musuhnya tersebut. Ya, musuh yang sepertinya akan segera berubah menjadi anggota keluarganya sebentar lagi jika kesepakatan ini berhasil dibuat.
“Sebagai bukti bahwa kami serius menawarkan perdamaian. Kami menyarankan bagaimana jika melakukan perjodohan untuk menyatukan dua kubu kita yang selalu bermusuhan agar menjadi anggota keluarga?”
Kini semua orang tercengang mendengar jawaban Maksimus yang di luar dugaan, terutama Labhrainn yang tidak pernah menyangka pihak Kaum Paladin akan menawarkan perjodohan seperti ini.
“Perjodohan? Maksudnya perjodohan siapa dengan siapa?” tanya Labhrainn, memastikan sekali lagi dia tak salah menangkap maksud ucapan Maksimus.
“Menjodohkan putramu dan putriku. Kita nikahkan mereka dengan begitu kita akan menjadi keluarga, bukan? Dengan begitu tidak akan ada lagi permusuhan di antara kita.
Labhrainn tersenyum miring, menurutnya ini kesepakatan yang cukup menarik. Dia mulai percaya dengan keseriusan lawan bicaranya. “Menikahkan putra putri kita memang ide bagus. Tapi sayangnya kedua putraku sudah menikah. Leicester dan Therion sudah memiliki istri dan keturunan. Aku yakin kau tidak mungkin mau menikahkan putrimu pada putraku yang sudah beristri, bukan? Kecuali jika kau tidak keberatan putrimu dijadikan sebagai selir atau istri kedua?”
Maksimus berdecak, “Bukankah kau masih memiliki satu putra lagi, Labhrainn? Northcliff … setahuku anak itu belum menikah.”
Labhrainn tercengang mendengar nama putra ketiganya yang dia anggap tak berguna itu yang ingin dijodohkan dengan putri Maksimus. “Northcliff? Kau yakin ingin menikahkan putrimu dengannya? Kau pasti tahu bagaimana reputasi anak itu?”
Maksimus mengangkat kedua bahu, “Ya, aku tidak keberatan karena tujuan pernikahan ini untuk menyatukan keluarga kita dan sebagai simbol perdamaian antara Kaum Paladin dan Prajurit Guardian.”
Labhrainn terkekeh, karena Maksimus sendiri yang meminta hal ini, dia tak bisa menolak lagi. “Aku pikir ini ide yang bagus. Baiklah, aku menyetujui kesepakatan ini. Aku setuju untuk menikahkan putraku … Northcliff dengan putrimu. Jadi, putrimu yang mana yang akan kau nikahkan dengannya?”
Pertanyaan ini menjadi satu-satunya pertanyaan yang bercokol di benak semua orang yang berada di camp tersebut. Jenedith atau Courtney … siapa yang akan dijodohkan dengan Northcliff?