Satu
Dentuman musik yang mengalun kuat di sebuah pub terkemuka New York seakan tak menyurutkan langkah kaki para pengunjung tempat itu untuk berdansa. Suasana gelap dan meremang sengaja diciptakan untuk semakin memanaskan tempat itu. Beberapa dari mereka tampak b******u mesra bersama pasangan ataupun pelacurnya. Ya, tidak diragukan lagi jika tempat itu memanglah tempat yang akan dicari oleh semua pria New York untuk melepaskan kepenatan setelah seharian bekerja. Apa lagi kalau bukan bercinta dan memuaskan hasrat serta gairah yang mereka miliki.
John Simpson, seorang pria yang memiliki banyak gadis untuk diperjual belikan kepada para pelanggannya. Pria itu selalu dicari beragam pria yang datang kesana untuk memenuhi nafsu liar mereka. Pria berperawakan keras dan kejam, pemilik tempat itu tersenyum senang melihat perkembangan bisnisnya berjalan lancar.
“Ini sempurna.” Desisnya menyeringai sembari memagut bibir gadis yang duduk disebelahnya.
“Sir, ada seorang tamu yang mencari anda.” Intrupsi seorang pria yang bekerja sebagai anak buahnya. John melirik kebelakang bahu pria itu, lalu erkesiap melihat seorang pria yang berdiri tegak di belakang punggungnya.
“Oh, Mr. William.” Sapanya tersanjung. Ia segera melepaskan diri dari gadisnya dan bergerak menghampiri pria yang menatapnya tak berekspresi.
Pria itu berdiri santai dengan kedua tangan yang tenggelam dalam saku celana, melirik sekelilingnya dingin. Dibelakangnya tampak seorang pria yang sedari tadi setia menemani dirinya. Pria berperawakan tampan itu memiliki postur tubuh sempurna; tinggi, otot-otot yang sempurna di sekitar tubuhnya, kulit putih yang hampir mirip warna pucat namun tampak bersinar dalam kegelapan. Rambut pria itu tampak sedikit acak namun tak mengurangi kadar ketampanannya.
“Senang bertemu denganmu.” Ujar John dengan tatapan berbinar. Pelanggan besar, batinnya bersorak.
Richard Wiiliam, pria tampan dan kaya raya. Memiliki perusahaan maskapai penerbangan terbesar di Eropa diumurnya yang sudah mencapai tiga puluh dua tahun. Perusahaannya tersebar luas dimana-mana, selalu maju dengan pesat setiap saat sehingga menambahkan keuntungan pundi-pundi sahamnya.
“Mr. Simpson, aku butuh seorang gadis.” Ucapnya singkat tanpa ekspresi namun selalu menampakkan garis tegas disekitar rahangnya.
John menyeringai lebar dengan mata yang menunjukkan kegembiraan, “Oh, tentu saja. Aku memiliki banyak gadis disini.” John melirik kesudut ruangan, menyipitkan kedua matanya pada sekumpulan gadis-gadis yang tampak menunggu panggilannya. “Nah, kau bisa lihat kesana, ada begitu banyak gadis yang menunggumu.” Tunjuknya pada sekumpulan gadis itu.
Richard melirik kesana, menatap sebentar kemudian kembali membuang wajahnya. “Yang lain, itu terlalu membosankan.” ucapnya tak berselera. Matanya mulai menyusuri setiap sudut Bar, menghela napas gusarnya karena belum juga menemukan gadis yang tepat untuk temannya malam ini. Bercinta, itu sudah pasti. Ia membutuhkan seorang gadis untuk menemaninya bercinta malam ini dan gadis itu harus sesuai dengan apa yang ia inginkan.
Semuanya persis seperti sampah, makinya kesal dalam hati.
John tampak gugup melihat raut wajah kesal Richard, otaknya berikir cepat. Tamu besar tak boleh lari, batinnya. Kemudian matanya menangkap seorang gadis yang tampak tertawa lebar bersama beberapa gadis lainnya. “Oh, tunggu sebentar, Mr. William.” Ujarnya bersemangat. John menyuruh salah satu anak buahnya mendekat, membisikkan sesuatu padanya, kemudian anak buahnya terlihat mendekati wanita yang duduk di depan meja Bar dengan gaya anggunnya.
“Mungkin kau akan menyukai gadis ini, dia produk unggul milikku yang selalu digilai para pria.” Jelas John sumringah.
Richard tampak mendengus malas mendengarnya, namun matanya mengikuti kemana anak buah John berjalan. Kepalanya sedikit memiring untuk melihat wajah gadis itu. Namun sayang, tubuh tegap anak buah John menghalangi pengelihatannya.
Gadis itu tampak mengintip sedikit dari celah tubuh tegap pria dihadapannya. Sebelah mata yang bening tampak terlihat oleh Richard, membuat ia mulai merasa penasaran pada gadis itu, “Bisakah kau mempercepat waktu?” tegurnya pada John dengan wajah yang mulai tak sabar.
John ingin menjawab namun mulutnya kembali terkatup saat gadis itu tampak mendekati mereka, “Nah, dia datang.” Gumamnya penuh kemenangan.
Richard menoleh kesana, memperhatikan seorang gadis yang tampak berjalan anggun mendekati mereka. Gadis itu nmengenakan gaun berwarna putih selutut, dengan kerah baju bermodel V, menunjukkan sedikit belahan dadanya. Rambutnya tergerai indah kebawah, menutup punggung mulusnya yang tidak tertutupi oleh gaunnya. Sama sekali tak tampak seperti p*****r murahan, pikir Richard.
“Hai,” sapa gadis itu dengan senyuman kecil yang memukau. Ia menoleh pada John, “Ada yang bisa kubantu?” tanya gadis itu.
Richard tak melepas tatapannya dari sang gadis, merasa cukup tertarik dengan aura gadis bertubuh kecil itu. Tubuhnya tidak tinggi namun tampak seksi, berisi di bagian-bagian tertentu yang memang diperlukan setiap pria.
“Mr. William, perkenalkan. Dia adalah Olivia Sinlcair dan Olivia, dia adalah Mr. Richard William.” Ucap John memperkenalkan.
Olivia menatap Richard dengan seulas senyum, “Senang bertemu denganmu, Mr. William.” Sapanya sopan.
Richard hanya mengangguk kecil dan melirik John, “Berapa harganya?” tanya Richard tanpa berbasa-basi. Wajah Olivia tampak tersentak, ia menatap Richard tak percaya. Sementara John tersenyum senang bercampur gugup.
“Kau, ingin dia?” tanya John memastikan.
“Ya, dan aku tidak suka terlalu lama berbasa-basi.” Jawabnya cepat.
“Oke, kalau begitu kita akan mempercepat segalanya,” ujar John senang. Ia melirik Olivia sejenak, gadis itu tampak memutar bola matanya kesal. Ya, malam ini John sudah berjanji padanya agar ia bebas memilih pelanggannya sendiri, mengingat ini adalah malam terakhirnya untuk bekerja disana, sebagai p*****r. Tapi sepertinya ia harus melanggar janji itu demi mendapat keuntungan besar, “Ini terlalu mahal untuk dilewatkan, Oliv. Dia salah satu pria terkaya di negara ini,” bisik John membujuk. Kemudian kembali tersenyum cerah pada Richard, “20 ribu Dollar.” Ujar John memberi harga.
“Sampai matahari terbit.”
“Itu memang pelayanan kami.”
“Dan tanpa kondom.”
Wajah John seketika memucat, ia melirik Olivia yang terang-terangan menunjukkan wajah tak setujunya, “Oh-oh, Mr. William, tapi gadis ini tidak akan bisa disentuh tanpa benda itu.” Jelas John gugup. Tentu saja, jika Richard menolak, maka hilanglah sudah mangsa besarnya malam ini.
“50 ribu Dollar.” Tawar Richard menatap tajam Olivia, matanya berkilat menujukkan ketertarikan besar pada gadis itu.
“Sebesar apa pun kau menawar, aku tidak akan menerimanya jika kau tidak mengikuti peraturanku.” Jelas Olivia, masih dengan senyum anggunnya.
Sial, maki Richard. “Kau ada disini untuk ditiduri, bukan untuk membuat peraturan.” cela Richard, wajahnya mulai mengeluarkan raut tak ingin dibantah.
Senyuman anggun itu mulai menghilang dari wajah Olivia, ia menatap tegas pada pria itu, “Tidak denganku, Mr. William. Aku tidak akan membiarkan satu pria manapun memasukiku tanpa benda itu, tak terkecuali kau.” Ujarnya tajam.
Richard tersenyum, senyuman miring dan dingin. Ia melirik John yang tampak menegang, takut jika tamu besarnya lolos begitu saja. Pria itu juga sadar jika Olivia adalah tipe gadis yang tak menyukai pelanggaran aturan main, sama sepertinya, “20 ribu Dollar, aku ambil.” Richard menoeh kebelakang, pria tegap yang sedari tadi menemaninya maju selangkah. “Dia yang akan melakukan pembayaran padamu.” Ucapnya pada John. Setelah itu menatap Olivia yang tampak mengerjap.
“Dan kau Nona, aku menunggumu di mobilku.”
***
“Kau tidak menepati janjimu, John!” desis Olivia kesal, ia menatap pria bertubuh tegap itu yang tampak berbinar menatap sebuah cek digenggamannya. Gadis itu mengerang kesal, namun mencoba bersabar mengingat setelah ini ia akan kembali bebas dari pekerjaan yang selama dua tahun sudah ia geluti.
“Maaf, Oliv. Tapi kau tahu siapa pria itu, bukan? Lihat, dalam sekejap kita sudah untung besar,” ujarnya girang. “Dan bukankah ini adalah hari terakhirmu? Anggap saja ini penghormatan besar untukmu, pria kaya dengan wajah tampan.” Gumamnya.
Oh, yang benar saja, cibir Olivia dalam hati. “Kalau begitu, aku minta bagianku. Tidak perlu mengirimnya ke rekening Bank karena aku butuh uang cash.” Rutuknya.
Setelah mendapatkan bagiannya, Olivia segera keluar dari sana dengan langkah ringan. Senyuman tak henti-hentinya merekah dibibirnya. Hidup normal, sebentar lagi ia akan kembali merasakannya. Saat-saat seperti ini sudah lama ia tunggu. Menggeluti pekerjaan rendah seperti ini memang bukan keinginannya, melainkan kebutuhan hidupnya.
Olivia adalah punggung keluarga bagi adik perempuannya setelah Ayah dan Ibunya meninggal. Ia selalu bekerja keras untuk membiayai seluruh kebutuhan mereka.
Mata Olivia menyipit ketika melihat seorang pria melambai padanya, pengawal si pria kaya, batinya. Lalu ia menghampiri pria itu.
“Silahkan masuk, Miss Sinclair.” Pria itu membuka pintu mobil dengan sopan, tubuhnya sedikit menunduk.
“Terima kasih,” balas Olivia lembut dengan senyuman tipisnya dan masuk. Richard sudah duduk nyaman disampingnya, kakinya terlipat keatas. Olivia melirik penampilan pria itu sekilas. Richard mengenakan celana jeans hitam dengan atasan kemeja putih yang ujung bajunya ia biarkan diluar. Terkesan urakan namun tetap tidak mengurangi kadar ketampanannya, “Lalu, kemana kau akan membawaku?” tanya Olivia ringan.
“Dream Downtown.”
***
Olivia POV
Sepertinya John benar, pria ini bukan pria sembarangan. Lihat saja kemana ia membawaku, Hotel Dream Downtown. Salah satu Hotel termewah di Chealsae, New York. Letaknya tidak jauh dari Broadway dan Grand Central Terminal. Oke, malam yang cukup indah, malam penutup pekerjaan sialan ini dengan pria kaya yang tampan, Oh! Sepertinya aku tertular sikap serakah John.
“Terima kasih, Alex.”
Aku tersadar mendengar suara lembut pria ini. Richard William, ternyata memiliki suara lembut dan mendayu. Kulirik dia yang tampak sibuk dengan ponselnya, sesaat dahinya sedikit berkerut kemudian gigi atasnya menggigit bibir bawahnya pelan. Ya Tuhan, dia tampak seksi.
“Ayo.”
Aku melirik telapak tangannya yang terulur kearahku, mengajakku untuk keluar dari mobil Maybach Landaulet mewahnya. Aku mengulurkan tanganku padanya dan dia menggenggamnya. Hangat, telapak tangannya hangat.
“Aku akan menghubungimu besok pagi.” Ucapnya singkat pada pria yang bernama Alex. Alex mengangguk patuh padanya, kemudian melirikku dan memberikan anggukan kecil. Segera kubalas dengan senyuman kecilku, lagi.
Tanganku kembali ditarik oleh Richard, satu hal yang aku rasakan dari genggamannya. Protektif, genggaman ini terlalu protektif dan posesif, seakan tidak membiarkan aku lari. Cih, aku rasa dia tidak perlu cemas, aku dibayar untuk ini dan pastinya akan aku selesaikan dengan baik.
Kami memasuki sebuah lift, kulihat ia menakan tombol 10 disana. Dahiku mengerut, tidakkah sebelumnya ia melakukan registrasi pada resepsionis dulu?
“Hotel ini milikku.”
Gumamnya pelan tanpa menatapku. Wah, sepertinya dia memiliki kelebihan membaca pikiran orang lain. Aku hanya mengangguk mengerti dan memalingkan wajah. Hotel ini miliknya. Oke, sepertinya aku harus berbangga hati mendapatkan pelanggan terakhir yang kaya, tampan dan uh… aku sulit menjelaskannya. Dia sempurna, meski aku masih terlalu penasaran dengan senyumnya yang sama sekali belum terlihat olehku.
Pintu lift terbuka, dia kembali menarik tanganku keluar. Kakinya melangkah ringan memasuki lorong-lorong hotel ini. Kami berhenti disebuah pintu berwarna coklat tua, ia membuka pintu itu dan mempersilahkanku masuk. Kamar ini tidak seluas yang kuduga, bahkan seakan diatur memang hanya untuk ditempati oleh dua orang. Mataku menyorot ranjang besar di dudut ruangan, besar namun tidak tinggi. Mungkin aku akan pas tidur disana, lalu bagaimana dengannya? Tubuhnya tinggi dan aku yakin ia tidak akan tidur dengan nyaman disana.
“Kau ingin menggunakan kamar mandi lebih dulu?” tanya pria ini, seperti biasa, suaranya terdengar tenang dan lembut. Seperti lantunan lagu sendu pengantar tidur.
“Oh, tidak.” Jawabku.
“Oke, kalau begitu aku yang pakai. Kau bisa langsung bersiap-siap.”
Aku mengangguk sekali sebelum ia masuk kedalam kamar mandi. Kulangkahkan kedua kakiku mengitari ruangan ini dan kusentuh sprei ranjang empuk ini. Lembut, lebih lembut tiga kali lipat dari sprei ranjangku. Kakiku kembali melangkah mendekati jendela kamar, disini terpampang jelas pemandangan indah yang tersaji dari kota ini. Lampu malam yang berkelap-kerlip menerangi kota sibuk ini.
Hei, ini indah. Jarang sekali aku dapat melihat keindahan kota seperti ini. Dan jika dipikir-pikir, selama ini aku memang tidak pernah sekalipun benar-benar menyadari keindahan di sekelilingku. Hidupku sudah terlalu sibuk mengurusi beragam masalah. Dan sukurlah, malam ini akan menjadi malam terakhir semua masalah hidupku.
“Apa yang sedang kau lakukan?”
Suara lembut itu kembali terdengar olehku, kepalaku menoleh begitu saja kebelakang. Dia sudah berdiri bertelanjang d**a disamping ranjang. Dan tubuhnya, oh Tuhan, benar-benar memukau. Aku sudah terlalu banyak melihat tubuh pria selama ini dan demi Tuhan, ini yang terhebat. Tubuh itu six pack, dan hanya dengan melihatnya saja sudah mampu membangkitkan gairahku. s**t, Olivia, jangan bodoh.
“Kau ingin aku yang kesana atau kau yang kemari?” Tanyanya lagi, ekspresinya begitu dingin dan tak pernah menghangat.
Aku tersenyum kecil, mengedutkan sudut bibirku, “Tetap disana, Mr. William.” Aku melangkah perlahan ketempatnya. Menatapnya sededuktif mungkin. Aneh, pria ini sama sekali tidak tersenyum kearahku. Dan ini untuk pertama kalinya dalam masa kerjaku menemukan pria seperti ini.
Tangannya bergerak cepat menarik pinggangku ketubuhnya, hingga dadaku dan dadanya bersentuhan, menciptakan sensasi panas bagi tubuhku. Oh, tidak! Jangan katakan jika disini aku yang b*******h. Romaku bergedik naik saat tangannya membelai leher jenjangku, mengibaskan rambut yang masih menutupinya, “Lehermu indah.” kudengar dia menggumam.
Aku kembali tersenyum kecil, pujian yang selalu diberikan oleh setiap pelangganku. Tanganku merambat naik, menyururi rambut coklatnya, meremasnya pelan ketika bibirnya menyentuh permukaan kulitku. Oh, bibirnya teramat lembut. Tangannya tak diam, merambat kebelakang punggungku, meraba kulit mulusku dengan ibu jarinya. Desahan kecil keluar dari bibirku yang masih berada dalam bibirnya. Aku merasakan ibu jarinya semakin turun, mencari resleting gaun untuk segera melepaskannya dari tubuhku.
Amat perlahan bibir dan ibu jarinya bergerak hingga aku cukup tak fokus dengan keduanya. kurasakan gaun itu telah merosot di kakiku dan bibirnya terlepas dari bibirku, erangan terengah terdengar dari bibir kami. Mataku masih terpejam, menikmati gelombang gairah yang menyuluti tubuhku. Dan hal pertama yang aku temukan saat membuka mata adalah mata coklatnya yang tajam. Ia menatapku penuh kilatan gairah dan demi Tuhan, aku benar-benar terhanyut didalamnya. Mulutnya tak terkatup sempurna ketika mata coklatnya menjelajahi tubuhku, menelanjanginya dengan tatapan deduktif.
Aku seperti terbakar diperlakukan seperti ini, pria ini tak menyentuhku, hanya menelisik tubuh indahku dengan kedua matanya, namun aku benar-benar sudah tak sabar untuk menariknya ketubuhku. “Bisa kita mulai?” bisiknya pelan. Kepalaku mengangguk begitu saja seiring tangannya mendorong tubuhku hingga terhempas diatas ranjang.
Ia menindihku, melumat bibirku dengan rakus, menjelajahi isinya. Lidahnya begitu lihai bermain disana hingga aku tak menyadari tangannya yang sedang mencoba melepas pengait Braku. Kulengkungkan tubuhku kedepan agar ia mudah menelusupkan tangannya kepunggungku, dan tanganku tak henti mengitari punggung kokohnya. Dia hangat dan aku suka itu.
Braku terlepas dan ia melemparkannya kebawah, bibirnya beranjak turun kebawah, menyapa dadaku yang baru saja hadir dihadapannya. Sekali lagi, bibirnya benar-benar menghanyutkan tubuhku hingga aku tidak dapat melakukan apapun. Aku terlalu terlena dalam sentuhan intimnya. Sentuhannya tidak lembut namun tidak juga kasar, aku belum pernah menemukan pria yang menyentuhku seperti ini, benar-benar pintar mengobarkan gairahku.
“Jangan hanya diam.” bisiknya tegas ditelingaku, daun telingaku menjadi sasaran gigitan kecil giginya.
Aku yang mengerti jika ia menungguku, segera memepekerjakan kedua tanganku. Merambat kebawah tubuhnya, melepaskan ikat pinggang Gucinya dan segera menurunkan resleting celana jeansnya. Sentuhan pertama yang aku lakukan menimbulkan desisan tak terhankan darinya, aku tersenyum kecil melihat erangannya. Kulakukan hal itu sekali lagi hingga ia tersadar jika aku tengah mempermainkannya.
“You wanna play?” desisinya tanpa ekspresi, Ya Tuhan! Kapan dia akan mengeluarkan senyumannya? Aku kembali tersenyum geli melihatnya, kakiku menurunkan celana jeansnya hingga celana itu terlepas dari dirinya. Dia sudah sangat… besar.
“Tergantung, permainan apa yang ingin kau lakukan,” balasku, jari telunjukku mengitari d**a bidangnya, menyelusuri garis tengah d**a itu hingga kepusat tubuhnya. “Kau sangat siap ternyata.” cemo’ohku.
“Ya, begitu juga dengan kau.” balasnya, aku merasakan tangan hangatnya membelai dadaku lembut, meremasnya perlahan dan membuat aku mendesah tak sadar.
Dimulai dari sini, segalanya terasa indah, panas dan menyenangkan. Aku terlalu terbawa oleh suasana panas yang ia ciptakan. Richard William, pria terakhir yang menjadi pelangganku.
***